Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pemerintah Batal Naikkan Cukai Hasil Tembakau pada 2025

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 18 October 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Pemerintah Batal Naikkan Cukai Hasil Tembakau pada 2025

KABARBURSA.COM - Pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2025, sebuah keputusan yang disambut baik oleh petani tembakau.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Kusnasi Muhdi mengatakan bahwa keputusan tersebut memberikan harapan optimistis bagi petani. Ia menilai, di tengah banyaknya peraturan yang menekan sektor hilir, keputusan ini dapat membantu meringankan beban petani tembakau di hulu.

“Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan CHT tahun depan memberikan secercah harapan bagi kami. Namun, kami juga berharap langkah ini disertai dengan perlindungan dan pemberdayaan komoditas tembakau,” kata Muhdi dalam keterangannya, Jumat, 18 Oktober 2024.

Muhdi menekankan pentingnya pemerintah untuk melihat realitas di lapangan, di mana kualitas dan kuantitas perkebunan tembakau terus meningkat. Ia juga meyakini bahwa produktivitas petani dapat terserap dengan baik jika pemerintah mendukung secara konsisten.

“Tahun ini, beberapa daerah mengalami peningkatan luas lahan tanam tembakau. Di Lamongan, misalnya, luas lahan tembakau bertambah dari 8.337 hektare menjadi 9.638 hektare. Kualitas dan harga komoditas juga tetap kompetitif,” jelasnya.

Menurutnya, petani membutuhkan komitmen dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, baik melalui program pemberdayaan maupun kebijakan yang mendukung sektor ini, termasuk dalam hal CHT pada 2025. Muhdi menekankan bahwa setiap kebijakan, baik fiskal maupun non-fiskal, harus mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang saat ini sedang sulit, termasuk lapangan pekerjaan yang semakin terbatas.

Selain itu, Muhdi menegaskan pentingnya melibatkan petani dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan yang berdampak pada mereka. Ia juga mengingatkan agar tidak terjadi kenaikan CHT yang signifikan pada tahun-tahun berikutnya, karena hal tersebut akan membebani para petani.

“Jangan sampai cukai tahun depan tidak naik, tapi kemudian dinaikkan berkali-kali lipat di tahun berikutnya. Itu sama saja dengan membunuh mata pencaharian kami,” ujar Muhdi.

Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budhyman juga menyambut baik keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan CHT 2025. Ia menilai bahwa kebijakan ini merupakan langkah yang tepat karena menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap keberlangsungan dan stabilitas industri hasil tembakau (IHT).

“Keputusan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga keberlangsungan IHT dan mendukung 6 juta tenaga kerja di sektor ini,” ujar Budhyman.

Budhyman juga mengingatkan agar tidak ada kenaikan tarif cukai pada tahun-tahun berikutnya, karena hal tersebut dapat semakin menekan sektor manufaktur hasil tembakau. Ia mencatat bahwa kondisi ekonomi saat ini sudah cukup sulit, sehingga beban bagi sektor IHT semakin berat.

“Kepastian berusaha dan serapan tenaga kerja adalah dua faktor penting yang harus menjadi pertimbangan utama dalam penentuan kebijakan CHT,” imbuhnya.

Ia mengingatkan akan pengalaman pada tahun 2019 dan 2020, di mana tidak ada kenaikan cukai pada 2019, namun diikuti oleh lonjakan cukai lebih dari 20 persen pada 2020. Lonjakan ini disebut sebagai kompensasi dari tidak adanya kenaikan di tahun sebelumnya.

“Dampaknya cukup berat, terutama saat pandemi COVID-19. Kinerja IHT menurun drastis, serapan tenaga kerja minim, dan untuk bangkit kembali menjadi tantangan tersendiri,” jelas Budhyman.

Lalu dia menyoroti kompleksitas ekosistem pertembakauan di Indonesia, yang mencakup berbagai elemen dari hulu hingga hilir. Menurutnya, kebijakan yang menekan salah satu elemen dalam ekosistem ini akan berdampak pada elemen lainnya. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah mampu memitigasi dampak jangka panjang dari setiap kebijakan yang diambil.

“Petani tembakau, petani cengkeh, pekerja sektor manufaktur, pedagang, pabrik hingga konsumen akan terkena dampaknya jika ada ketidakpastian mengenai kebijakan cukai. Dampaknya sangat luas," pungkasnya.

Soal PPN Naik 12 Persen, Ditjen Pajak Tunggu Perintah Prabowo

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan bahwa keputusan untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen sepenuhnya berada di tangan Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti mengatakan, meski kenaikan ini telah diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan batas waktu penerapan pada 1 Januari 2025, realisasinya masih bergantung pada keputusan dari pemerintahan baru.

“Meski secara aturan kenaikan ini wajib diterapkan, arah kebijakan fiskal tersebut tetap akan disesuaikan dengan keputusan yang dibuat oleh pemerintahan (Prabowo Subianto) mendatang,” kata Dwi, Selasa, 15 Oktober 2024.

Menurut dia, pemerintah baru akan memberikan panduan lebih lanjut terkait kebijakan ini.

Dengan begitu, hingga saat ini belum ada kepastian mengenai penerapan tarif PPN 12 persen. Meskipun batas waktu penerapan sudah ditetapkan dalam UU HPP, implementasinya bisa saja ditunda atau dibatalkan, tergantung pada keputusan Prabowo begitu resmi menjabat sebagai Presiden RI pada 20 Oktober mendatang.

Namun, jika pemerintahan Prabowo memutuskan untuk tidak menaikkan PPN sesuai jadwal, maka akan ada konsekuensi hukum.

Wakil Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo-Gibran, Anggawira menyatakan bahwa penundaan atau pembatalan kenaikan PPN ini akan memerlukan revisi terhadap Undang-undang HPP.

“Kalau kenaikan PPN tidak dilaksanakan pada tahun depan, tentu perlu dilakukan revisi pada Undang-Undang HPP,” kata Anggawira, 14 Oktober 2024.

Dia menekankan bahwa meskipun kenaikan PPN telah diatur dalam Pasal 7, ayat (1), huruf b UU HPP, yang mengharuskan penerapan tarif PPN sebesar 12 persen selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025, keputusan akhir tetap membutuhkan proses politik yang melibatkan DPR.

“Ini keputusan politik, bukan hanya kehendak pemerintah. Harus ada dialog dengan DPR RI,” tegasnya.

Menurut Anggawira, perubahan dalam undang-undang adalah hal yang mungkin jika pemerintahan Prabowo memutuskan untuk tidak mengikuti kenaikan PPN yang telah direncanakan. Proses tersebut tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga memerlukan persetujuan dari DPR sebagai bagian dari penyesuaian kebijakan fiskal di masa depan.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen merupakan salah satu langkah yang dirancang dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sesuai dengan tujuan dari UU HPP yang mulai berlaku pada tahun 2021.

Peningkatan PPN ini diharapkan dapat membantu menutupi defisit anggaran dan memperkuat keuangan negara, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi global yang kian kompleks.

Namun, di sisi lain, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Beberapa pihak menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN dapat memberatkan masyarakat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Selain itu, kelompok pelaku usaha juga mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai dampak kenaikan PPN terhadap daya beli konsumen dan keberlangsungan bisnis, khususnya di sektor yang sensitif terhadap harga, seperti ritel dan konsumsi.

Menanggapi itu, Anggawira mengakui bahwa penyesuaian kebijakan pajak, termasuk kenaikan PPN, harus dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan sosial yang ada. Oleh karena itu, keputusan ini tidak bisa hanya datang dari satu pihak, melainkan harus melalui dialog antara pemerintah dan DPR untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan dapat diterima oleh semua pihak dan tidak membebani masyarakat secara berlebihan.

Keputusan terkait kebijakan pajak ini diharapkan akan segera diumumkan setelah Prabowo dilantik menjadi Presiden RI.

Pemerintahan Prabowo akan memiliki tanggung jawab untuk menyeimbangkan kebutuhan peningkatan pendapatan negara dengan upaya menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai bagian dari kebijakan fiskal yang lebih luas, kenaikan PPN ini juga akan terkait erat dengan program-program pemerintah baru yang mungkin memerlukan tambahan dana untuk pembiayaan pembangunan dan investasi di berbagai sektor.

Di bawah kepemimpinan Prabowo, arah kebijakan perpajakan di Indonesia dapat berubah, tergantung pada prioritas dan visi Prabowo Subianto dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Secara keseluruhan, isu kenaikan PPN menjadi salah satu topik penting yang harus ditangani oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Masyarakat dan pelaku usaha kini menunggu langkah-langkah konkret yang akan diambil oleh tim ekonomi Prabowo dalam menjawab tantangan ini.

Keputusan akhir terkait kenaikan PPN dipastikan akan menjadi salah satu kebijakan strategis yang akan berdampak pada kehidupan ekonomi Indonesia ke depan, baik dari sisi penerimaan negara maupun pengaruhnya terhadap masyarakat dan dunia usaha. (*)