KABARBURSA.COM - Ada dua skema baru yang diluncurkan People's Bank of China (PBOC) untuk menjaga stabilitas pasar modal dan memperkuat ekonomi yang sedang melemah. Skema tersebut merupakan bagian dari kebijakan moneter baru.
PBOC diketahui sudah memulai skema tersebut pada Jumat, 18 Oktober 2024. Salah satunya dengan menyuntikkan 800 miliar yuan (USD112,38 miliar) ke pasar saham China. Terkait rinciannya, PBOC telah mengumumkan hal tersebut di akhir September lalu.
Upaya ini menandai langkah nyata untuk menyeimbangkan pasar modal yang baru-baru ini menghadapi tekanan akibat euforia stimulus yang semakin menurun dan munculnya kekhawatiran tentang implementasi kebijakan stimulus Beijing.
Skema swap yang baru saja diluncurkan memiliki nilai awal sebesar 500 miliar yuan. Melalui skema ini, PBOC memberikan likuiditas kepada perusahaan pialang, perusahaan manajemen dana, dan perusahaan asuransi. Institusi-institusi ini dapat menggunakan aset sebagai agunan untuk mendapatkan pendanaan dari bank sentral dan menginvestasikannya dalam saham.
Sampai saat ini, 20 perusahaan telah disetujui untuk mengikuti program tersebut dengan aplikasi awal telah melampaui 200 miliar yuan, sebagaimana diungkapkan oleh PBOC dalam pernyataan resmi mereka. Skema ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas pasar saham, terutama dengan likuiditas baru yang disuntikkan oleh institusi-institusi keuangan besar tersebut.
Selain skema swap, PBOC juga meluncurkan program pinjaman ulang dengan nilai awal sebesar 300 miliar yuan. Program ini memberikan pinjaman kepada lembaga keuangan untuk mendanai pembelian saham oleh perusahaan-perusahaan tercatat atau pemegang saham utama mereka. Langkah ini bertujuan untuk memberikan dukungan langsung kepada perusahaan dalam memperkuat nilai saham mereka di pasar modal.
Suku bunga satu tahun untuk program pinjaman ulang ini ditetapkan pada tingkat rendah sebesar 1,75 persen, memberikan insentif bagi lembaga keuangan untuk mengajukan pinjaman. PBOC menyatakan bahwa 21 lembaga keuangan yang memenuhi syarat dapat mengajukan pinjaman pada awal setiap kuartal.
Adapun intervensi ini diluncurkan di tengah kekhawatiran yang meningkat mengenai pergerakan pasar China, yang belakangan ini kehilangan momentum.
Pasar saham China sebelumnya melonjak berkat optimisme terhadap stimulus yang dijanjikan Beijing. Namun, penurunan performa pasar dalam beberapa pekan terakhir mencerminkan sikap kehati-hatian investor terhadap ukuran dan kecepatan implementasi kebijakan ekspansif pemerintah.
Dalam pertemuan dengan regulator keuangan China, PBOC telah mendesak lembaga keuangan untuk mempercepat penerapan kebijakan ini guna memberikan dorongan kepada ekonomi dan stabilitas pasar modal. Kebijakan ekspansif ini juga diharapkan dapat mengurangi tekanan pada sektor swasta, yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi.
Langkah ini juga mencerminkan keprihatinan PBOC terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi yang lebih luas di China. Dengan berkurangnya kepercayaan investor dan penurunan permintaan global, intervensi moneter ini diharapkan dapat mendukung stabilitas harga saham dan mendorong investasi lebih lanjut. Dengan likuiditas baru, perusahaan akan memiliki kemampuan untuk meningkatkan operasional dan investasi di pasar yang lebih stabil.
Menanggapi kebijakan moneter China tersebut, ternyata tidak membawa banyak pengaruh pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada Jumat, 18 Oktober 2024 perdagangan bursa Indonesia bergerak datar meski tetap berada di zona positif. Indeks penutup IHSG mencatat angka 7.735, mencerminkan stagnasi di tengah volume perdagangan yang mencapai 137,95 juta lot saham dengan total nilai transaksi sebesar Rp5,53 triliun.
Sektor konsumsi non-primer menjadi sektor paling kuat dengan kenaikan 0,93 persen, sementara sektor kesehatan mengalami pelemahan terbesar dengan penurunan 1,12 persen.
Saham-saham seperti MLPL, LPPS, MPPA, HADE, MLPT, CNKO, dan DWGL menjadi top gainers hari ini, sedangkan saham yang paling banyak diperdagangkan termasuk MLPL, BSBK, PSAB, BRMS, LPKR, BTEK, dan PNLF.
Meski IHSG tidak mengalami perubahan signifikan, ada tekanan dari dinamika pasar global. Pasar Asia, secara keseluruhan menunjukkan pergerakan yang bervariasi. Investor global mencermati data ekonomi terbaru dari China, yang menunjukkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal ketiga sebesar 4,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, sedikit di atas ekspektasi.
Namun, pertumbuhan ini menurun dibandingkan kuartal kedua yang mencatatkan 4,7 persen. Angka tersebut juga menambah kekhawatiran karena semakin jauh dari target pertumbuhan tahunan Beijing sebesar 5 persen.
Selain itu, data bulan September memperlihatkan beberapa sektor ekonomi China yang mengalami peningkatan. Penjualan ritel tumbuh 3,2 persen year-on-year, lebih tinggi dari estimasi, sementara output industri naik 5,4 persen. Namun, pasar properti China masih berada dalam tekanan berat dengan harga rumah turun 5,8 persen pada bulan September, lebih besar dari penurunan bulan sebelumnya yang sebesar 5,3. persen
Indeks saham unggulan Tiongkok, CSI-300, mencatat kenaikan 0,78 persen, mencerminkan respons positif terhadap data pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari perkiraan. Pasar lainnya di Asia bergerak campuran, dengan Shanghai Composite naik 0,67 persen dan Shenzhen Component melonjak 1,64 persen, sementara Nikkei 225 di Jepang hanya naik tipis 0,03 persen.
Di sisi lain, Kospi Korea Selatan melemah 0,76 persen, dan S&P/ASX 200 Australia mencatat penurunan 1,08 persen, tertekan oleh kekhawatiran terhadap potensi perlambatan permintaan global dan dinamika domestik.
Sementara itu, inflasi Jepang pada bulan September tercatat sebesar 2,5 persen, dengan CPI inti (yang mengecualikan harga makanan segar) tumbuh 2,4 persen year-on-year, sedikit lebih tinggi dari estimasi.
Sementara, di Amerika Serikat, Dow Jones Industrial Average mencapai rekor penutupan baru, naik 161 poin atau 0,37 persen menjadi 43.239,05. Indeks ini bergerak positif setelah data ekonomi yang kuat meredakan kekhawatiran akan potensi resesi. Namun, S&P 500 turun tipis 0,02 persen, sedangkan Nasdaq Composite naik tipis 0,04 persen, terdorong oleh penguatan saham-saham produsen chip.
Di pasar komoditas, harga minyak mentah global stabil setelah laporan penjualan ritel AS yang kuat. Minyak Brent naik 8 sen menjadi USD74,53 per barel, sedangkan WTI AS ditutup pada USD70,82 per barel, naik 15 sen. Meskipun ada kenaikan ini, harga minyak secara mingguan masih berada di jalur penurunan terbesar dalam lebih dari sebulan, di tengah kekhawatiran tentang permintaan global yang dipengaruhi oleh data ekonomi Tiongkok yang beragam.
Penurunan tajam stok minyak mentah, bensin, dan sulingan di Amerika Serikat sebagaimana dilaporkan oleh Badan Informasi Energi (EIA) pada Kamis, memberikan dorongan terhadap harga minyak setelah beberapa sesi pelemahan berturut-turut.
Pergerakan IHSG yang stagnan di tengah pasar Asia yang variatif mencerminkan ketidakpastian yang tengah dihadapi pasar global. Investor tampaknya menunggu lebih banyak kepastian terkait kebijakan ekonomi, baik dari Beijing maupun dari negara-negara lainnya.
Sementara itu, harga minyak yang tetap stabil memberikan sedikit ruang bagi investor energi, meskipun kekhawatiran tentang permintaan global tetap menjadi ancaman. Dengan dinamika ekonomi global yang berubah-ubah, investor di Indonesia dan Asia cenderung lebih berhati-hati dalam mengambil langkah di pasar modal.
Untuk ke depannya, investor akan terus memantau kebijakan stimulus China, perkembangan ekonomi global, dan bagaimana pasar global merespons inflasi yang meningkat, khususnya di negara-negara maju. IHSG sendiri diprediksi akan terus bergerak dengan volatilitas terbatas, setidaknya sampai ada sinyal yang lebih kuat dari pasar global atau perkembangan ekonomi domestik yang signifikan.(*)