Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Tantangan Ekonomi Kabinet Prabowo: Utang Jatuh Tempo dan Program Sosial

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 17 October 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Tantangan Ekonomi Kabinet Prabowo: Utang Jatuh Tempo dan Program Sosial

KABARBURSA.COM – Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bakhrul Fikri, menyoroti beberapa isu ekonomi dan sosial mendesak yang akan dihadapi oleh pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto. 

Menurutnya, investasi di sektor infrastruktur dan hilirisasi industri ekstraktif akan menjadi strategi utama, namun perlu kehati-hatian mengingat terbatasnya ruang fiskal yang tersedia.

"Pak Prabowo kemungkinan besar akan meningkatkan investasi di sektor infrastruktur dan hilirisasi industri ekstraktif. Namun, harus diingat bahwa ruang fiskal kita semakin sempit," ungkap Bakhrul kepada Kabarbursa.com, Kamis, 17 Oktober 2024.

Bakhrul menjelaskan bahwa tantangan terbesar adalah beban utang yang akan jatuh tempo pada tahun depan, mencapai Rp1.300 triliun, yang terdiri dari Rp800 triliun utang pokok dan Rp500 triliun bunga utang. Hal ini mengancam stabilitas fiskal, terutama jika pemerintah memilih untuk menambah utang guna menutupi beban tersebut.

"Strategi yang mungkin dilakukan adalah menambah utang dan meningkatkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 50 persen. Namun, ini akan kontraproduktif karena menambah beban utang dalam jangka panjang, serta berpotensi mengurangi daya tarik investasi," ujar Bakhrul.

Selain itu, Bakhrul juga menyoroti rencana pemerintah Prabowo untuk meluncurkan program makan bergizi gratis (MBG), yang ditujukan untuk mengurangi ketimpangan sosial. Menurutnya, program ini harus dirancang dengan hati-hati agar tidak membebani anggaran negara yang terbatas.

"Jika program MBG ini tetap dipaksakan, diperlukan rancangan distribusi yang efisien untuk menghindari korupsi dan memastikan program ini tepat sasaran. Salah satu caranya adalah dengan langsung menyalurkan dana ke sekolah tanpa melalui rantai birokrasi yang panjang," kata Bakhrul.

Ia juga menambahkan bahwa alokasi anggaran untuk program MBG sebaiknya dialihkan untuk subsidi pendidikan. "Indonesia saat ini lebih membutuhkan pendidikan murah atau bahkan gratis. Ini penting agar lebih banyak generasi yang bisa berinovasi, demi mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045," tutupnya.

Utang Pemerintah Membengkak

Utang pemerintah Indonesia terus mengalami peningkatan. Terbaru, utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) per Juni 2024 sudah menembus Rp8.444,87 triliun.

Dengan begitu, terjadi kenaikan utang pemerintah sebesar Rp91,85 triliun atau 1,09 persen jika dibandingkan dengan bulan Mei 2024.

Jika mengutip dokumen APBN Kita edisi Juni 2024, posisi utang pemerintah per Mei 2024 tercatat sebesar Rp8.353,02 triliun.

Dengan perkembangan tersebut rasio utang pemerintah terhadap PDB turut terkerek naik. Rasio utang terhadap PDB pada Juni sebesar 39,13 persen, lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 38,71 persen.

Meskipun meningkat, realisasi rasio utang terhadap PDB masih di bawah dari batas rasio utang dan target strategi pengelolaan utang jangka menengah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023, batas rasio utang sebesar 60 persen, sementara mengacu Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah periode 2023-2026 targetnya adalah 40 persen.

Jika melihat komposisinya, utang pemerintah didominasi oleh surat berharga negara (SBN) dengan denominasi rupiah.

Tercatat nilai utang pemerintah dalam bentuk SBN sebesar Rp7.418,76 triliun, atau setara 87,85 persen dari total utang pemerintah.

Secara lebih rinci, nilai SBN domestik sebesar Rp5.967,70 triliun, terdiri dari surat utang negara (SUN) sebesar Rp4.732,71 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) sebesar Rp1.234,99 triliun.

Kemudian, SBN dengan denominasi valuta asing (valas) nilainya sebesar Rp1.451,07 triliun, dengan komposisi SUN sebesar Rp1.091,63 triliun dan SBSN sebesar Rp359,44 triliun.

Warisan Utang dari Jokowi

Menjelang akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), utang pemerintah kembali meroket, menembus angka Rp8.444,87 triliun per Juni 2024.

Pemerintahan baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dipastikan akan mewarisi beban utang yang besar dari pendahulunya.

Menurut laporan APBN Kita edisi Juli 2024, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) mengalami kenaikan sepanjang semester pertama tahun 2024. Dari posisi akhir Desember 2023 sebesar 38,59 persen rasio ini naik menjadi 39,13 persen. Artinya jumlah utang pemerintah yang mencapai Rp8.444,87 triliun ini setara dengan 39,13 persen dari PDB.

Meskipun hampir mencapai batas 40 persen, Kementerian Keuangan mengklaim bahwa rasio utang tersebut masih berada dalam batas aman di bawah 60 persen PDB, sesuai dengan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Kementerian yang dipimpin oleh Sri Mulyani Indrawati tersebut menyatakan bahwa komposisi utang pemerintah dioptimalkan dengan menggunakan sumber pembiayaan dalam negeri, serta memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap. Lantas, apa saja komposisi utang pemerintah di era Jokowi?

Kemenkeu mencatat bahwa mayoritas utang pemerintah berasal dari dalam negeri dengan proporsi sebesar 71,12 persen. Berdasarkan instrumen, sebagian besar utang pemerintah berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 87,85 persen.

Pemerintah juga fokus pada pengadaan utang dengan jangka waktu menengah hingga panjang, serta aktif dalam mengelola portofolio utang.

Per akhir Juni 2024, profil jatuh tempo utang pemerintah dianggap cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) selama 7,98 tahun. (*)