Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

DBH Nikel untuk Daerah Belum Adil, Bahlil Usulkan Naik Jadi 45 Persen

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 17 October 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
DBH Nikel untuk Daerah Belum Adil, Bahlil Usulkan Naik Jadi 45 Persen

KABARBURSA.COM - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyoroti ketidakadilan dalam distribusi Dana Bagi Hasil (DBH) dari hilirisasi nikel bagi pemerintah daerah. Ia berharap 45 persen dari penerimaan negara lewat DBH bisa disalurkan ke daerah.

Hal ini diungkapkan Bahlil saat menjalani Sidang Promosi Terbuka Doktor di Universitas Indonesia (UI), RabU, 16 Oktober 2024. Dalam disertasinya yang berjudul "Kebijakan Kelembagaan dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia", Bahlil menyoroti warga di daerah industri nikel yang belum sepenuhnya merasakan manfaat.

Kondisi ini, kata dia, terlihat jelas di Morowali, Sulawesi Tengah, dan Halmahera Tengah, Maluku Utara. Meski nilai ekspor nikel di kedua wilayah tersebut melonjak drastis setelah hilirisasi, namun DBH untuk kedua daerah itu hingga kini belum mencapai 30 persen.

Bahlil mencatat, ekspor nikel di Morowali dan Halmahera sebelum hilirisasi pada 2017 hanya mencapai USD3,3 miliar, sedangkan setelah hilirisasi pada 2023, angkanya naik menjadi USD34 miliar.

Namun, Ketua Umum Partai Golkar ini mengkritik minimnya porsi yang diterima pemerintah daerah. "Pemerintah pusat hanya memberikan mereka (Morowali dan Halmahera Tengah) tak lebih dari Rp1,1 triliun dan provinsi cuma Rp900 miliar," ujar Bahlil.

Ke depan, kata Bahlil, pemerintah akan mengusulkan agar DBH yang diberikan ke daerah diperbesar hingga 45 persen. “Kami sarankan adalah 30 persen hingga 45 persen kami ingin penerimaan negara harus dibagikan ke daerah," kata mantan Menteri Investasi ini.

Bahlil juga menekankan pentingnya keadilan bagi warga daerah dalam proses hilirisasi nikel, mengingat mereka telah menanggung dampak negatif. Ia menjelaskan lingkungan dan kesehatan warga di sekitar industri terganggu dengan banyaknya kasus ISPA di Morowali akibat debu industri.

Untuk Halmahera, Bahlil tidak memberikan angka spesifik, namun ia menyebut kondisi ISPA di sana lebih baik dibandingkan Morowali. Selain itu, ia menyoroti buruknya kualitas air di wilayah industri. "Air di sana untuk air di Morowali waduh itu minta ampun, tapi ini jauh lebih baik dari pada Halmahera Tengah," katanya.

Meski demikian, Bahlil meminta pemakluman atas dampak buruk tersebut karena hilirisasi masih merupakan program baru dan pemerintah masih belajar. Bahlil lantas berkata bahwa memulai suatu langkah meskipun dengan kekurangan lebih baik daripada tidak memulai sama sekali.

Bukan Untung, tapi Rugi

Sementara Bahlil menyoroti ketidakadilan distribusi DBH dari hilirisasi nikel, mendiang Faisal Basri sebelumnya mengungkapkan bahwa smelter yang merupakan bagian penting dari hilirisasi nikel tidak membawa keuntungan bagi Indonesia, bahkan merugikan. Kini, kritik ini diperkuat oleh komentar Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang menyoroti ketidakadilan distribusi Dana Bagi Hasil (DBH) dari hilirisasi.

Faisal mengungkapkan perusahaan pengelola smelter semuanya berasal dari dalam negeri, namun perusahaan tersebut sebenarnya dimiliki China. Ia mencoba meluruskan klaim pemerintah yang menyatakan berkat adanya smelter, ada nilai tambah dari nikel. Ia mengakui memang ada nilai tambah yang terjadi. Ia mencontohkan jika harga nikel itu 10, maka setelah ada smelter harga feronikel menjadi 25 sehingga nilai tambahnya menjadi 15.

“Betul itu terjadi, tapi pertanyaannya adalah nilai tambah tersebut tidak dinikmati Indonesia,” kata Faisal Basri dalam diskusi publik Jejak Bahlil dan Kepentingan Istana dalam Pusaran Korupsi Tambang Nikel AGK, Rabu, 21 Agustus 2024, lalu.

Mengenai pihak pengelola perusahaan smelter, kata dia, 100 persen berasal dari Tiongkok. Oleh karena itu, 100 persen keuntungannya bukan untuk Indonesia tapi justru dibawa ke China. Jika perusahaan umumnya membayar corporate income tax, perusahaan-perusahaan smelter China yang beroperasi di Indonesia mendapat tax holiday. Sementara Indonesia tidak mendapat apa-apa karena perusahaan tersebut ternyata tidak membayar BPN dan pajak ekspor.

Ia juga membantah klaim pemerintah jika adanya smelter nikel dapat menguntungkan dari sisi tenaga kerja. Menurutnya, perusahaan-perusahaan ini bisa mendatangkan tenaga kerja murah asal Tiongkok. Tenaga kerja tersebut, kata Faisal, tidak memiliki visa kerja dan segala kebutuhan para pekerja ini didatangkan dari China.

“Kebutuhan mereka (tenaga kerja) bisa diimpor dari China tanpa bea masuk. Jadi kita dapat nol,” tegasnya.

Indonesia juga kembali dirugikan karena teknologi yang digunakan di smelter tersebut semuanya milik China sehingga fee dari paten juga kembali ke China, bukan Indonesia. Bahkan perusahaan pembiayaan yang mengongkosi produksi smelter di tambang nikel pun berasal dari sejumlah bank di China. Sehingga bunga yang dibebankan dari pinjaman itu dinikmati oleh bank di China.

“Perusahaan smelter itu dibiayai oleh bank dari China dan tidak satu pun dari Indonesia, jadi bayar bunganya di China. Sementara Indonesia dapat kerusakan lingkungan. Itu tidak terperikan kerugiannya,” kata Faisal.(*)