Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Insentif vs Perlindungan: Dilema Industri dalam Negeri

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 16 October 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Insentif vs Perlindungan: Dilema Industri dalam Negeri

KABARBURSA.COM – Andry Satrio, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengungkapkan bahwa dalam mendorong industrialisasi berkelanjutan di Indonesia, pemerintah masih menghadapi beberapa hambatan struktural yang signifikan. 

Menurut Andry, masalah utama terletak pada keberadaan dua kelompok institusi yang memiliki kebijakan yang saling bertentangan. Di satu sisi, terdapat institusi yang memberikan insentif kepada sektor industri, seperti program restrukturisasi mesin dan peralatan yang sudah usang, serta insentif fiskal dan non-fiskal yang bertujuan meningkatkan daya saing industri domestik.

"Masalah sekarang adalah di institusi, ada institusi (pemerintah) yang memberikan insentif seperti memberikan restrukturisasi mesin yang sudah outdated, pemberian insentif fiskal dan non fiskal," ujar Andry kepada Kabarbursa.com, Rabu, 16 Oktober 2024.

Kebijakan ini, menurut Andry, sangat penting untuk membantu industri lokal beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar yang semakin kompetitif. Namun, di sisi lain, ada institusi pemerintah yang justru memberikan tekanan terhadap sektor industri.

Salah satunya adalah kebijakan yang tidak melindungi pasar domestik dengan baik, yang berakibat pada ketidakadilan bagi industri dalam negeri. Hal ini menyebabkan sektor industri Indonesia terancam dengan produk impor yang sering kali lebih murah, mengurangi daya saing produk lokal.

Menurutnya, solusi untuk masalah ini terletak pada sinergi yang lebih baik antara kebijakan insentif dan perlindungan pasar domestik. Pemerintah perlu mengevaluasi dan menyatukan kebijakan-kebijakan yang ada agar tidak ada lagi kontradiksi yang justru merugikan industri dalam negeri. 

"Kebijakan harus pro terhadap industri, bukan malah memberikan disinsentif dengan tidak melindungi pasar dalam negeri," tegas Andry.

Penting untuk diingat bahwa keberhasilan industrialisasi berkelanjutan tidak hanya bergantung pada insentif finansial semata, tetapi juga pada kebijakan yang melindungi sektor industri dari tekanan yang datang dari pasar global. Andry mengingatkan bahwa untuk mencapai tujuan ini, perlu ada konsistensi kebijakan yang mendukung industri dan menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia ke depan.

Data Kemenperin

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan bahwa sektor manufaktur Indonesia terus menjadi penggerak utama ekonomi nasional.

Buktinya, pada triwulan II tahun 2024, pertumbuhan PDB Indonesia mencapai 5,05 persen, lebih tinggi dibandingkan banyak negara anggota G20, seperti China, Rusia, dan Brasil. Industri pengolahan nonmigas tetap menjadi kontributor terbesar PDB nasional dengan 16,70 persen dan pertumbuhan sektor ini mencapai 4,63 persen.

Sementara itu, berdasarkan data World Bank, menunjukkan bahwa nilai Manufacturing Value Added (MVA) Indonesia menempati peringkat ke-12 dunia dengan nilai USD255 miliar pada tahun 2023. Capaian ini menjadikan Indonesia unggul dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Thailand dan Vietnam, juga melampaui beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Prancis, dan Inggris.

“Performa sektor manufaktur yang prima tersebut juga dipacu oleh akselerasi penerapan peta jalan Making Indonesia 4.0. Ini merupakan strategi kunci bagi Indonesia untuk menjadi negara 10 ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2030,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita.

Selain itu, Kemenperin mengungkap data, di tengah tantangan geoekonomi dan geopolitik global, industri manufaktur Indonesia tetap berperan signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Pada triwulan III 2023, kontribusi sektor ini mencapai 16,83 persen. Pertumbuhan industri manufaktur menembus angka 5,02 persen, melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di angka 4,94 persen.

Selain itu, industri manufaktur konsisten menjadi kontributor terbesar dalam nilai ekspor. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), periode Januari-November 2023 mencatat ekspor produk manufaktur mencapai lebih dari USD171,23 miliar.

Laporan safeguardglobal.com menyebut Indonesia masuk 10 besar penyumbang produk manufaktur dunia, satu-satunya negara ASEAN dalam daftar tersebut. Indonesia berkontribusi sebesar 1,4 persen kepada produk manufaktur global, naik dari posisi 16 empat tahun lalu.

Menperin optimistis performa industri manufaktur akan semakin menjulang di tahun naga kayu. “Kami memproyeksi pertumbuhan industri pengolahan nonmigas 2023 sebesar 4,81 persen, dan menargetkan 5,80 persen di 2024,” ujarnya.

Untuk mencapai target pertumbuhan 5,80 persen di 2024, Kemenperin menyiapkan berbagai strategi. Fokusnya adalah program prioritas seperti pendidikan dan pelatihan vokasi berbasis kompetensi, restrukturisasi mesin dan peralatan bagi industri kecil dan menengah (IKM), serta penumbuhan wirausaha baru dan pengembangan IKM startup berbasis teknologi.

Upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing industri dilakukan melalui program sertifikasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN), hilirisasi sumber daya alam di tiga sektor: industri berbasis agro, bahan tambang dan mineral, serta migas dan batubara. 

“Kami juga akan melaksanakan program bantuan pemerintah untuk pembelian KBLBB roda dua baru, pengembangan kawasan industri, serta fasilitasi sertifikasi industri hijau,” tambahnya. Anggaran Kemenperin dalam APBN 2024 sebesar Rp3,76 triliun.

Menperin bertekad mengoptimalkan penyerapan anggaran untuk program prioritas dalam pengembangan industri nasional. Pada 2023, anggaran Kemenperin mencapai Rp4,53 triliun, termasuk anggaran belanja tambahan (ABT) subsidi motor listrik sebesar Rp1,4 triliun. (*)