Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ini Kegagalan Jokowi di Bidang Ekonomi Selama 10 Tahun Menjabat

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 16 October 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Ini Kegagalan Jokowi di Bidang Ekonomi Selama 10 Tahun Menjabat

KABARBURSA.COM - Bright Institute merilis hasil asesmen terbaru yang mengevaluasi berbagai aspek kebijakan ekonomi selama sepuluh tahun terakhir sepanjang pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi). Lembaga riset ini menyimpulkan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi gagal di bidang ekonomi.

Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky mengungkapkan hal yang paling inronis adalah kegagalan tersebut berasal dari indikator yang sebelumnya ditentukan oleh pemerintah sendiri. Bahkan pertumbuhan ekonomi di era Jokowi ternyata tidak sesuai dengan target yang direncanakan dalamRencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun oleh pemerintahannya sendiri.

“Pertumbuhan ekonomi era Jokowi tidak mencapai target RPJMN yang ditetapkan dia sendiri” jelas Awalil Rizky, Ekonom Senior Bright Institute dalam diskusi webinar yang bertajuk Kegagalan Jokowi dibidang Ekonomi di Jakarta, Selasa 15 Oktober, 2024.

Diketahui, Bright Institute menilai setidaknya ada 13 alasan ekonomi selama sepuluh tahun yang gagal membaik dan bahkan memburuk: (1) PDB tumbuh melambat; (2) struktur produksi makin rapuh; (3) produksi pangan makin tidak mencukupi; (4) separuh pekerja dalam kondisi rentan; (5) transaksi internasional semakin dalam ketergantungan; (6) kondisi keuangan pemerintah selalu dalam kesulitan; (7) kondisi investasi dan pelaku usaha tidak stabil; (8) industri keuangan belum optimal; (9) sumber daya, mineral, dan energi belum optimal; (10) kemiskinan dan ketimpangan masih besar; (11) defisit APBN yang terus menerus dan makin besar; (12) kebijakan fiskal, terutama pengelolaan utang, bertambah mengkhawatirkan; serta (13) koordinasi moneter dan perbankan yang kurang efektif.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan jika dibandingkan dengan target RPJMN 2015—2019 dan 2020—2024 yang ditetapkan oleh pemerintah di awal masing-masing periode, realisasi pertumbuhan ekonomi tidak ada yang pernah menyentuh target tersebut.

Menurut Awalil target pertumbuhan tahun 2024 yang berkisar di 6,2 hingga 6,5 persen, juga bisa dipastikan tidak akan tercapai tahun ini.

Awalil juga menjabarkan target-target indikator lainnya dalam RPJMN seperti PDB per kapita, GNI per kapita metode atlas, pertumbuhan konsumsi rumah tangga, pertumbuhan investasi yang diukur dari Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB),  pertumbuhan sektor pertanian, target penurunan porsi sektor pertanian dalam PDB, skor Global Food Security Index (GFSI), tingkat pengangguran terbuka, tingkat kemiskinan, posisi cadangan devisa, pendapatan negara, rasio perpajakan, defisit anggaran, semuanya tidak ada yang memenuhi target.

"Padahal target-target ini banyak yang diturunkan di RPJMN periode kedua, namun tetap gagal mencapai target,” ujar Awalil.

Gagal Target RPJMN 

Kenyataan atas target-target yang sebenarnya tidak tercapai ini berkebalikan dengan narasi pencapaian pemerintah yang umum digaungkan ke publik. Awalil menilai hal inilah yang membuat kebanyakan masyarakat merasa data-data atas klaim pencapaian pemerintah tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang kini dialami.

Seperti misalnya dalam klaim turunnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) secara persentase memang sedikit menurun dari 5,94 persen di 2014 menjadi 5,32 persen di 2023, namun secara target tingkat ini masih jauh dari RPJMN, yakni 3,9 persen di 2024. Selama sepuluh tahun terakhir, TPT tidak pernah mencapai target di tiap tahunnya.

Lalu secara jumlah, pengangguran masih bertahan cukup besar, bahkan bertambah selama era pemerintahan Jokowi. Ini mengindikasikan penciptaan lapangan kerja hanya setara tambahan angkatan kerja.

“Begitu pula dengan klaim perbaikan terhadap ketimpangan,” tambah Awalil.

Kendati indeks Gini era Jokowi sedikit membaik, tapi kondisinya sekarang masih di bawah era sebelum reformasi. Namun dari indikator lain yang mengukur ketimpangan bukan dari pengeluaran tetapi harta kekayaan. "Kita bisa melihat misalnya ketimpangan simpanan masyarakat yang diukur dari Dana Pihak Ketiga (DPK) ini meningkat semakin jauh di era Jokowi,”

Diketahui berdasarkan data BPS, rekening dengan dana di bawah Rp100 juta yang jumlahnya mencapai 569,37 juta rekening per April 2024 totalnya bernilai Rp1.053 triliun, atau naik 78 persen dari Oktober 2014.

Sedangkan rekening dengan dana lebih dari Rp5 miliar, yang jumlahnya hanya 137.603 rekening, nilainya mencapai Rp4.628 triliun atau naik semakin jauh 154 persen.

“Pertumbuhan kekayaan kelas atas jauh lebih tinggi dibandingkan kelas bawah yang membuat ketimpangan hartanya semakin melebar menjauh,” kata awalil.

Awalil juga menyebutkan selain dari target-target RPJMN yang sebenarnya tidak terpenuhi, banyak pula klaim keberhasilan pemerintah yang bertentangan dengan data pemerintah lain yang berkorelasi terhadap pencapaian tersebut.

Misalkan dalam data nilai aset jalan, irigasi, bendungan, dan jaringan yang nyatanya cenderung menurun setelah direvaluasi di tahun 2019.

"Opini utang pemerintah besar karena dipakai untuk infrastruktur tak didukung oleh data ini. Ironisnya, data mengenai panjang jalan yang tergolong Rusak Berat inilah yang bertambah pada era Jokowi.” ujarnya.

Begitu pula dengan kebermanfaatan dari hal-hal yang digolongkan sebagai pencapaian oleh pemerintah. Awalil menilai pembangunan seharusnya tidak dinilai dari berapa jumlah proyek yang selesai, namun dari seberapa besar ukuran manfaatnya.

Contohnya dengan klaim pencapaian pembangunan dari banyaknya jumlah bandara yang diresmikan, namun dari datanya justru kenaikan jumlah penumpang angkutan udara era Jokowi lebih rendah dari era presiden sebelumnya. Sama dengan pelabuhan.

"Banyak pelabuhan diresmikan, namun nyatanya data barang yang dimuat atau untuk ekspor lebih rendah dari tahun 2014. Berbalik dengan data barang yang dibongkar atau impor lebih banyak. Jadi secara kebermanfaatan, banyaknya pelabuhan yang dibuat selama ini lebih banyak berdampak pada keperluan impor dibandingkan ekspor,” ucapnya.(*)