KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai ekspor Indonesia pada September 2024 mencapai USD22,08 miliar, mengalami penurunan sebesar 5,80 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya, Agustus 2024.
Menurut Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, penurunan ini terutama disebabkan oleh menurunnya ekspor non-migas, yang turun 5,96 persen dari USD22,23 miliar menjadi $20,91 miliar. Sementara itu, ekspor migas juga mengalami penurunan sebesar 2,81 persen, dari USD1,20 miliar menjadi USD1,16 miliar. Seperti dalam pernyataannya di Jakarta, Selasa 15 Oktober 2024.
Amalia menjelaskan lebih lanjut bahwa penyebab penurunan ekspor migas adalah berkurangnya ekspor hasil minyak sebesar 12,90 persen, menjadi USD312,6 juta, dan penurunan ekspor gas alam yang turun 8,87 persen menjadi USD659,5 juta. Namun, ekspor minyak mentah mengalami kenaikan signifikan sebesar 63,39 persen, mencapai USD197,8 juta.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia selama periode Januari-September 2024 mencapai USD192,85 miliar, naik 0,32 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ekspor kumulatif non-migas selama periode yang sama mencapai USD181,15 miliar, naik 0,39 persen.
Dalam rincian lebih lanjut, dari sepuluh komoditas dengan nilai ekspor non-migas terbesar pada September 2024, terdapat penurunan pada komoditas lemak dan minyak hewani/nabati yang mencapai USD404,4 juta, sementara komoditas besi dan baja mengalami peningkatan nilai ekspor sebesar USD207,6 juta.
Menurut sektor, ekspor non-migas dari industri pengolahan meningkat 2,52 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan ekspor hasil pertanian, kehutanan, serta perikanan meningkat 17,58 persen. Namun, ekspor hasil pertambangan dan komoditas lainnya turun sebesar 8,79 persen.
Amalia juga menyampaikan bahwa negara tujuan ekspor terbesar Indonesia pada September 2024 adalah Tiongkok dengan nilai ekspor mencapai USD5,35 miliar, diikuti oleh Amerika Serikat sebesar USD2,22 miliar, dan Jepang sebesar USD1,55 miliar. Ketiga negara tersebut berkontribusi sebesar 43,57 persen terhadap total ekspor Indonesia. Ekspor ke negara-negara ASEAN mencapai USD3,91 miliar, sementara ke Uni Eropa (27 negara) mencapai USD1,56 miliar.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat nilai ekspor Indonesia pada Agustus 2024 yang tertinggi dalam 20 bulan terakhir.
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional, Bara Khrisna Hasibuan, mengatakan nilai ekspor Indonesia Agustus 2024 mencapai USD23,56 miliar.
“Ini nilai terbesar sejak akhir Desember 2022. tentunya ini merupakan pencapaian besar, khususnya di saat kondisi ekonomi global yang tidak menentu,” kata Bara saat konferensi pers di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin, 23 September 2024.
Dia menyebut, China dan Amerika Serikat (AS) menjadi dua negara tujuan ekspor pada Agustus 2024.
Dipaparkannya, nilai ekspor Indonesia ke China sebesar USD5,47 miliar dari total ekspor. Sedangkan nilai ekspor AS sebesar USD2,61 juta.
Bara menyebut, meski terjadi perlambatan ekonomi di dua negara tersebut, ekspor nonmigas ke China dan AS mengalami peningkatan jika dibanding dengan sebulan sebelumnya.
Sebagai informasi, China dan AS berkontribusi sebesar 35,50 persen dari total ekspor nonmigas nasional.
Adapun ekspor Indonesia pada Agustus 2024 naik 5,97 persen dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm) , dan naik 7,13 persen dibandingkan Agustus 2023 (year on year/yoy).
Capaian tersebut didorong kenaikan ekspor nonmigas sebesar 7,43 persen dan kontraksi migas 15,14 persen dibandingkan Juli 2024 (mtm).
Secara rinci, lanjut Bara, pada Agustus 2024, terjadi peningkatan kinerja ekspor nonmigas secara bulanan pada semua sektor.
Sektor dengan kenaikan tertinggi dibanding bulan sebelumnya yaitu sektor pertambangan dengan kenaikan sebesar 9,01 persen, diikuti sektor pertanian (8,70 persen), dan industri pengolahan (7,09 persen).
Ditinjau dari kawasannya, Bara mengatakan, beberapa kawasan tujuan ekspor menunjukkan peningkatan ekspor nonmigas yang signifikan (mtm). Kawasan tersebut antara lain Afrika Utara dengan kenaikan 74,73 persen, Afrika Selatan 35,97 persen, Eropa Utara 33,94 persen, Asia Tengah 26,28 persen, dan Amerika Tengah 24,44 persen.
“Peningkatan ekspor ke beberapa kawasan tersebut menunjukkan bahwa potensi pasar nontradisonal berpeluang besar untuk dikembangkan,” kata Bara.
Inflasi pada September 2024 berhasil terkendali dalam rentang target 2,5±1 persen, mencapai 1,84 persen secara tahunan (year on year/yoy), lebih rendah dari Agustus yang mencatat 2,12 persen.
Tren penurunan ini telah berlangsung sejak April 2024, dipicu oleh penurunan harga pangan dan bensin nonsubsidi. Stabilnya harga beras serta panen hortikultura menjadi faktor utama deflasi selama lima bulan berturut-turut, yang turut menjaga akses pangan bagi masyarakat.
Kerja sama antara Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Daerah (TPID) terus diperkuat untuk menjaga kestabilan harga, khususnya menghadapi risiko bencana dan perubahan cuaca ekstrem.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menyatakan inflasi yang terkendali ini diharapkan mendukung daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas harga.
“Meski begitu, pemerintah tetap waspada terhadap potensi kelebihan pasokan serta dampak cuaca ekstrem yang dapat memengaruhi harga pangan,” kata Febrio, Jumat, 4 Oktober 2024.
Meski inflasi pangan melambat, inflasi inti naik menjadi 2,09 persen (yoy), dipicu oleh kenaikan di sektor perawatan pribadi, pendidikan, perumahan, dan rekreasi. Kenaikan ini juga didorong oleh pertumbuhan kredit konsumsi yang mencapai 11,4 persen (yoy) pada Agustus.
Sementara itu, inflasi volatile food melambat menjadi 1,43 persen, didukung oleh panen cabai merah dan rawit yang melimpah. Penurunan harga BBM nonsubsidi juga mendorong inflasi harga yang diatur pemerintah melambat menjadi 1,40 persen (yoy).
Di sektor manufaktur, aktivitas masih berada dalam zona kontraksi dengan indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) sebesar 49,2, sedikit membaik dari Agustus yang mencatatkan 48,9. Pelemahan kinerja manufaktur global dan hambatan perdagangan internasional menjadi faktor yang menekan.
Kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi Tiongkok juga masih membayangi, meskipun stimulus dari pemerintah setempat sudah diterapkan. Namun, ekspor manufaktur Indonesia tetap kuat, terutama di sektor hilirisasi, seperti nikel, CPO, dan batu bara.
Beberapa negara mitra dagang Indonesia juga mencatatkan kontraksi PMI manufaktur, seperti Amerika Serikat (47,0), China (49,3), dan Jepang (49,6).
Meskipun demikian, negara seperti India dan Thailand masih mencatatkan pertumbuhan meski melambat.
“Pemerintah akan terus melakukan evaluasi kebijakan dan antisipasi tantangan global demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” ucap Febrio.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.