Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Konflik Timteng Memanas, AS Kirim Pasukan dan Sistem Anti-Rudal Canggih ke Israel

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 14 October 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Konflik Timteng Memanas, AS Kirim Pasukan dan Sistem Anti-Rudal Canggih ke Israel

KABARBURSA.COM - Amerika Serikat (AS) mengumumkan pada Ahad, 13 Oktober 2024, bahwa mereka akan mengirim pasukan beserta sistem pertahanan anti-rudal canggih ke Israel. Intervensi AS ini menambah panasnya konflik Timteng usai Israel diserang oleh rudal  Iran pada awal bulan ini.

Dikutip dari Reuters, Senin, 14 Oktober 2024, Presiden AS Joe Biden menyatakan langkah ini bertujuan "untuk melindungi Israel," yang sedang mempertimbangkan serangan balasan terhadap Iran setelah Teheran menembakkan lebih dari 180 rudal ke Israel.

Menurut sejumlah pejabat, Amerika Serikat telah mendesak Israel untuk merespons dengan hati-hati agar tidak memicu perang yang lebih luas di Timur Tengah. Biden secara terbuka menentang serangan Israel ke situs nuklir Iran serta menyampaikan kekhawatirannya terhadap serangan terhadap infrastruktur energi Iran.

Juru bicara Pentagon, Mayor Jenderal Patrick Ryder, menjelaskan pengerahan pasukan ini merupakan bagian dari penyesuaian lebih luas yang telah dilakukan militer AS dalam beberapa bulan terakhir untuk mendukung Israel dan melindungi personel AS dari serangan Iran serta kelompok-kelompok yang didukung negeri Mullah itu.

Pengerahan militer AS ke Israel sangat jarang dilakukan, kecuali dalam latihan, mengingat Israel memiliki kapabilitas militer yang mumpuni. Dalam beberapa bulan terakhir, pasukan AS telah membantu pertahanan Israel dari kapal perang dan jet tempur di Timur Tengah saat terjadi serangan dari Iran. Namun, mereka berbasis di luar Israel.

Sistem Terminal High Altitude Area Defense (THAAD), yang menjadi bagian penting dari sistem pertahanan udara berlapis milik AS, akan menambah kekuatan pertahanan rudal Israel yang sudah sangat tangguh. Satu baterai THAAD biasanya memerlukan sekitar 100 tentara untuk dioperasikan. Sistem ini memiliki enam peluncur yang dipasang di truk, masing-masing dengan delapan pencegat, serta radar canggih.

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, memperingatkan intervensi AS akan membahayakan nyawa tentaranya dengan menempatkan mereka di Israel untuk mengoperasikan sistem rudal tersebut.

"Meskipun kami telah berupaya keras dalam beberapa hari terakhir untuk mencegah perang besar di wilayah kami, saya tegaskan dengan jelas bahwa kami tidak memiliki batasan dalam membela rakyat dan kepentingan kami," tulis Araqchi di media sosial X, kemarin.

Namun, para pakar menyebutkan bahwa Iran berupaya menghindari perang langsung dengan Amerika Serikat. Pengerahan pasukan AS ke Israel menjadi faktor tambahan dalam kalkulasi Iran ke depan.

Iran sebelumnya meluncurkan rudal dan drone ke Israel pada April. Kemudian, pada 1 Oktober, Iran kembali menembakkan lebih dari 180 rudal balistik ke Israel di tengah eskalasi pertempuran antara Israel dan Hezbollah yang didukung Iran di Lebanon. Sebagian besar rudal itu menembus pertahanan rudal Israel.

Para pejabat AS tidak menyebutkan seberapa cepat sistem ini akan dikerahkan ke Israel. Pentagon mengungkapkan THAAD pernah ditempatkan di Israel bagian selatan untuk latihan pada 2019. Hal itu menjadi satu-satunya waktu sistem ini diketahui ada di sana.

Sistem THAAD, yang dibangun oleh Lockheed Martin, perusahan senjata terbesar di AS, dirancang untuk menghancurkan rudal balistik jarak pendek, menengah, dan menengah ke atas. Sementara itu, radar canggihnya dibangun oleh Raytheon di bawah bendera RTX.

Krisis Ekonomi Iran

Sebelum ketegangan dengan Israel meningkat, Iran sudah terhimpit oleh inflasi tinggi, pengangguran yang meroket, dan nilai tukar mata uang yang terus terjun bebas. Lalu, apakah ekonomi negara tersebut mampu bertahan jika konflik bersenjata berkepanjangan terjadi?

Eskalasi ketegangan antara Iran dan Israel semakin cepat ketika Teheran meluncurkan setidaknya 180 rudal ke Israel pada 1 Oktober 2024, yang memicu kenaikan harga minyak global sekitar lima persen, kenaikan terbesar dalam setahun terakhir.

Harga minyak mentah Brent kembali naik keesokan harinya, melampaui USD75 per barel setelah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bersumpah untuk membalas serangan tersebut. Hal ini semakin meningkatkan risiko terjadinya eskalasi timbal balik di kawasan yang memasok sepertiga dari kebutuhan minyak dunia.

Peningkatan aksi militer oleh Iran berisiko menyeret Amerika Serikat ke dalam konflik, tulis penyedia data Capital Economics dalam catatan kepada para investornya pada hari serangan terjadi. Ini akan mempengaruhi harga minyak, yang disebut sebagai “saluran utama transmisi ke ekonomi global.”

“Iran menyumbang sekitar empat persen dari produksi minyak global, tetapi yang perlu diperhatikan adalah apakah Arab Saudi akan meningkatkan produksinya jika pasokan minyak Iran terganggu,” tulis Capital Economics. Kenaikan harga minyak lima persen bisa menambah sekitar 0,1 persen terhadap inflasi di negara-negara maju.

Analis dan pedagang lainnya berpendapat pasar belum sepenuhnya menghitung risiko serangan terhadap fasilitas minyak Iran atau kemungkinan Iran menutup Selat Hormuz — ancaman yang sering dilontarkan tanpa pernah direalisasikan. Selat sempit di mulut Teluk Persia itu menangani hampir 30 persen perdagangan minyak dunia.

Kepala Ekonom di perusahaan komoditas Trafigura Group asal Swiss, Saad Rahim, mengatakan belum ada yang tahu seberapa jauh konflik Iran dengan Israeli akan berkembang. “Bagaimana reaksi Israel sekarang, lalu bagaimana tanggapan Iran? Apakah pemain lain juga akan terlibat?” ujarnya, dikutip dari DW, Kamis, 3 Oktober 2024.(*)