KABARBURSA.COM - Dalam visi dan misi pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, konsep "Ekonomi Pancasila" digadang-gadang sebagai landasan utama dalam menggerakkan roda perekonomian nasional. Prabowo dan Gibran menekankan prinsip-prinsip ekonomi yang berakar pada Pancasila dengan harapan dapat menciptakan ekonomi yang adil, berkelanjutan, serta menjamin kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Berdasarkan dokumen resmi visi dan misi mereka, Ekonomi Pancasila mencakup lima prinsip utama:
Prinsip ekonomi yang disebutkan dalam dokumen visi-misi pasangan ini sekilas terdengar mulia. Mereka menggambarkan Ekonomi Pancasila sebagai sintesis dari kapitalisme dan sosialisme, yang memberikan kebebasan pasar sekaligus menjaga jaring pengaman sosial. Hal ini seperti ditegaskan Prabowo Subianto dalam sebuah diskusi virtual pada Rabu, 8 November 2024, lalu.
"Ekonomi Pancasila adalah ekonomi gabungan antara yang terbaik dari kapitalisme dan yang terbaik dari sosialisme, itulah jalan tengah. Indonesia selalu memilih jalan tengah," kata Prabowo.
Ketua Umum Partai Gerindra ini menjelaskan, kebijakan ekonomi harus berlandaskan pada UUD 1945. “Pasal 33 (UUD) adalah blueprint Indonesia. Bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan," kata Prabowo.
Prabowo menyebut Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang sangat besar dan bisa dimaksimalkan untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Menurut Prabowo, untuk mencapai Indonesia Emas, mulai tahun 2025 dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di angka 6 persen hingga 7 persen. “Pertumbuhan ini perlu didukung dengan penguatan peran pemerintah dalam roda ekonomi dan pembangunan bangsa sesuai falsafah Ekonomi Pancasila,” ujarnya.
Ia menuturkan Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, cadangan timah terbesar kedua, cadangan bauksit terbesar keenam, serta cadangan tembaga terbesar ketujuh di dunia.
Ia pun menyoroti potensi energi terbarukan sebesar 437 gigawatt dan potensi sektor perikanan, dengan produksi ikan tangkap lestari yang mencapai 12 juta ton per tahun serta potensi budi daya laut sebesar 50 juta ton per tahun. Menurutnya, kekayaan alam ini bisa menjadi modal kuat bagi bangsa Indonesia, asalkan dikelola dengan baik dan bijaksana.
Dengan kata lain, Ekonomi Pancasila diharapkan dapat menyatukan kepentingan nasional, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Namun, meskipun ide tersebut terdengar ideal, terdapat pertanyaan besar mengenai sejauh mana konsep ini akan mampu direalisasikan dalam konteks ekonomi global yang penuh dengan tantangan geopolitik, ketidakpastian pasar, dan kebutuhan pembangunan yang mendesak.
Dalam program kerja yang ditawarkan, Prabowo dan Gibran menekankan pentingnya meningkatkan daya saing Indonesia melalui pembangunan berkelanjutan. Ekonomi Pancasila, menurut mereka, akan menjadi jalan tengah yang memungkinkan kebebasan pasar tanpa melupakan perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang rentan. Dalam skema ini, negara diharapkan berperan besar dalam mengatur dan menjaga keseimbangan ekonomi agar tidak ada ketimpangan sosial yang tajam.
Selain itu, visi ini juga mendorong agar kedaulatan Indonesia dalam bidang pangan, energi, dan air bisa terwujud. Mereka menyebutkan swasembada pangan, energi hijau, dan air sebagai pilar penting dalam menopang kemandirian bangsa. Namun, hingga kini, tidak ada penjelasan detail mengenai bagaimana Ekonomi Pancasila ini akan diterapkan secara teknis dalam kebijakan fiskal, moneter, maupun regulasi lainnya..
Meskipun konsep ini terlihat utopis dan menjanjikan, realisasinya menghadapi berbagai tantangan besar. Salah satu yang paling signifikan adalah ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh perang dagang, perubahan iklim, serta ketegangan geopolitik yang meningkat. Prabowo dan Gibran sendiri mengakui bahwa tantangan ini tidak bisa dianggap remeh, bahkan mungkin akan semakin berat dalam lima tahun ke depan.
Misalnya, tantangan yang mereka soroti terkait perubahan iklim adalah ancaman terhadap ketahanan pangan akibat kekeringan, hujan ekstrem, dan bencana alam lainnya. Ditambah lagi, konflik bersenjata di wilayah seperti Ukraina, Palestina, dan Laut Natuna Utara juga dapat mengganggu rantai pasok energi dan pangan, yang pada akhirnya menambah beban ekonomi.
Pengamat politik Pieter C. Zulkifli mengatakan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan datang harus berhati-hati dalam merumuskan kebijakan ekonomi, terutama di tengah situasi geopolitik global yang semakin memanas. "Dinamika global yang kian mengkhawatirkan menciptakan tantangan berat bagi pemerintahan baru yang segera terbentuk," kata Pieter, Rabu, 11 September 2024.
Pieter menjelaskan ketegangan geopolitik internasional, khususnya di Timur Tengah, masih berlanjut tanpa tanda-tanda mereda, menjelang pelantikan Prabowo dan Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029. Ketegangan ini berdampak pada kenaikan harga minyak dunia yang akhirnya memperparah inflasi global.
“Bank sentral negara-negara maju pun enggan menurunkan suku bunga, menambah ketidakpastian ekonomi global yang berpengaruh pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," kata Pieter.
Selain itu, dalam visi Prabowo-Gibran juga dibahas mengenai bonus demografi yang akan habis dalam waktu sekitar 13 tahun. Prabowo dan Gibran memproyeksikan Indonesia harus segera keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah sebelum populasinya menua tanpa menjadi kaya. Semua ini membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan berkelanjutan di angka 6-7 persen per tahun.(*)