Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pertumbuhan Kredit UMKM Turun, OJK Beri Penjelasan

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 14 October 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Pertumbuhan Kredit UMKM Turun, OJK Beri Penjelasan

KABARBURSA.COM - Penyaluran kredit perbankan ke sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengalami perlambatan, terlihat dari pertumbuhan kredit UMKM yang semakin menurun.

Hingga Agustus 2024, total penyaluran kredit perbankan mencapai Rp1.474 triliun dengan pertumbuhan tahunan sebesar 4,42 persen, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 5,16 persen pada Juli 2024.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan bahwa penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama kondisi makroekonomi.

Di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat menjadi pendorong utama dalam pertumbuhan kredit UMKM.

“Situasi geopolitik juga berpengaruh pada berbagai aspek perekonomian domestik,” kata Dian Rae, Senin, 14 Oktober 2024.

Meskipun tantangan ini ada, Dian tetap optimis bahwa bank dapat meningkatkan penyaluran kredit kepada UMKM. Pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya mendukung upaya ini melalui koordinasi dan evaluasi terhadap kondisi UMKM serta efektivitas kebijakan yang ada untuk mendorong kredit UMKM yang berkelanjutan.

Dian menambahkan, bahwa langkah-langkah seperti perluasan jaringan agen bank, program subsidi Pemerintah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan insentif likuiditas sedang diimplementasikan.

Selain itu, OJK juga mendorong bank pembangunan daerah (BPD) dan Bank Perekonomian Rakyat (BPR) untuk meningkatkan penyaluran kredit kepada sektor ini.

Namun, Dian mengingatkan agar bank tetap mengutamakan kehati-hatian untuk mencegah kerugian dalam operasional mereka.

“Risiko gagal dan pertimbangan lainnya tetap harus diperhatikan,” pungkasnya.

Perbankan Harus Terapkan Sistem Pinjaman Berbasis Proyek

Sementara itu, Founder Asian Tiger Mardigu Wowiek Prasantyo menyoroti persoalan sistem perbankan yang dianggap kurang mendukung pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia.

Menurut Mardigu, ke depannya pemerintah harus bisa menciptakan perubahan aturan perbankan agar lebih berpihak pada UKM.

Salah satu langkah yang disarankan adalah mengganti sistem aset-based loan (pinjaman berbasis aset) dengan project-based loan (pinjaman berbasis proyek).

“Karena kita lihat, mudah-mudahan ke depannya pemerintah bisa merubah sistem perbankan agar lebih mendukung UKM. Sistem aset-based loan kalau bisa diganti dengan project-based loan,” kata Mardigu kepada Kabar Bursa, Sabtu, 12 Oktober 2024.

Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan mendapatkan kontrak proyek senilai Rp10 miliar, yaitu pengerjaan pengelasan pagar untuk PLN, bank seharusnya bisa memberikan pinjaman berdasarkan nilai proyek tersebut, bukan hanya berdasarkan aset yang dimiliki perusahaan.

“Jadi misalnya dapet kontrak Rp10 miliar untuk pengelasan pagar PLN. Belum modal kerja 25 persen. Kalau sekarang atau kemarin ditanya ada jaminan enggak? Kan ada kontrak nih. Nah kontrak itu harusnya udah bisa jadi project, loan berbasis project. Jangan selalu aset,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, sistem seperti ini sudah diterapkan di Singapura, sehingga memungkinkan perusahaan untuk lebih mudah mendapatkan modal kerja tanpa harus menyediakan jaminan aset.

“Di Singapura itu bisa aset-based loan, bisa project-based loan,” jelas.

Dampaknya, lanjut Mardigu, banyak orang di Indonesia mendirikan perusahaan di Singapura karena mendapatkan kemudahan mendapatkan pinjaman berbasis proyek.

Katanya, meski proyek dijalankan di Indonesia, namun pembayaran pajak dan keuntungan lebih banyak mengalir ke Singapura. Hal ini merugikan Indonesia karena negara kehilangan potensi pendapatan pajak yang signifikan.

“(Misalnya), saya bikin perusahaan di Singapura. Saya akusisi perusahaan itu 100 persen. Saya pinjam duit di Singapura, jadi yang dapat pajak Singapura. Indonesia enggak dapet apa-apa,” terang Mardigu.

Menurutnya, selama ini banyak pengusaha Indonesia memanfaatkan pinjaman di luar negeri, seperti dari Singapura atau Amerika Serikat (AS) untuk mendanai proyek-proyek di dalam negeri.

“Nah itu yang terjadi di selama ini. Jadi project itu tetap jalan. Tapi kita ambil pinjaman dari Amerika Serikat atau Singapura,” pungkasnya.

Pemerintah tidak Fokus Perhatikan UKM

Pengusaha nasional, Mardigu Wowiek Prasantyo, menyoroti masalah pelik yang dihadapi pengusaha di Indonesia, terutama di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

“Pemerintah tidak fokus memperhatikan UKM. Itu sudah terbukti,” kata Mardigu kepada Kabar Bursa, Minggu, 14 Oktober 2024.

Padahal, masalah utama UKM hanya dua saja, yaitu bagaimana menjual produk dan mendapatkan modal.

“Sayangnya, dua aspek ini seolah tidak menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah,” ujarnya.

“Karena syarat untuk mendapatkan pinjaman modal harus punya jaminan. Itu kan hukumnya bank di Indonesia,” sambung Mardigu.

Lalu, dia menyinggung soal Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang selama ini menjadi andalan pemerintah. Menurutnya, plafon KUR yang maksimal hanya Rp500 juta justru hanya bermanfaat bagi pengusaha mikro. Padahal, pengusaha yang benar-benar bisa mendongkrak perekonomian Indonesia adalah yang berada di level menengah, yang membutuhkan pinjaman lebih besar.

“Padahal pengusaha yang bagus itu pengusaha yang tengah. Butuhnya bukan Rp500 juta, butuhnya itu Rp5 miliar sampai Rp15 miliar. Nah untuk di level itu mereka pakai jaminan, jaminannya tidak punya,” jelas Founder Asian Tiger ini.

Lebih jauh, Mardigu menekankan, bahwa UKM kelas menengah adalah penggerak utama tenaga kerja di Indonesia. UKM menengah ini membutuhkan banyak pegawai, berbeda dengan UKM kecil yang hanya mempekerjakan dua atau tiga orang.

UKM menengah bisa mempekerjakan ratusan hingga ribuan orang. Sayangnya, merekalah yang justru kesulitan mendapatkan akses pendanaan.

“Kalau kelas kecil, dia self-employee, paling dua pegawai. Yang sampai ratusan, ribuan pegawai yang kelas menengah,” kata Mardigu.

Dia pun menyarankan pemerintah agar segera fokus pada UKM menengah jika ingin menyelamatkan ekonomi Indonesia.

“Itu yang terkadang kita kritik atau kita berteriak, bukan sekedar mengkritik, tapi berteriak,” ungkapnya.

Dia menegaskan fokus pada penguatan kelas menengah merupakan hal yang penting, karena melalui pengembangan sektor ini, penataan tenaga kerja dapat berjalan lebih optimal.

“Kalau mau menyelamatkan ekonomi Indonesia, gemukkan kelas menengah. Ini yang bisa membuat tenaga kerja kita tertata dengan baik,” serunya.

Ia juga mengingatkan bahwa 97 persen tenaga kerja di Indonesia bergantung pada UKM, bukan pada perusahaan-perusahaan besar yang dikuasai oleh oligarki.

“Jadi, apa solusi pemerintah untuk UKM menengah ini?” pungkas Mardigu. (*)