KABARBURSA.COM - Dalam sepuluh tahun terakhir, program Tol Laut yang digagas Presiden Joko Widodo menunjukkan perkembangan dan tantangan dalam mendukung konektivitas dan menekan disparitas harga di Indonesia. Program ini dirancang untuk mengatasi ketimpangan logistik dan distribusi barang, terutama di wilayah Indonesia Timur yang sebelumnya terpinggirkan oleh ketidakseimbangan akses transportasi laut. Dengan masa pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto, Kementerian Perhubungan baru-baru ini menyatakan akan melanjutkan dan meningkatkan program ini guna mendorong pemerataan ekonomi di seluruh Nusantara.
Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, mengatakan program Tol Laut tidak hanya akan dipertahankan, tetapi juga diperluas. Budi menekankan pentingnya program ini dalam meningkatkan keterjangkauan harga barang di wilayah Indonesia Timur. Selain itu, Kementerian Perhubungan juga mengajukan anggaran sebesar Rp1,1 triliun untuk tahun 2025 guna memastikan kelanjutan program ini, meskipun persetujuannya masih harus menunggu persidangan di DPR.
“Dari Kementerian Perhubungan khususnya Direktorat Jenderal dan Perhubungan Laut bahwa Tol Laut ini akan kami mohonkan untuk tetap dipertahankan," ujarnya saat diskusi dengan media di Jakarta, Selasa, 8 Oktober 2024, lalu.
Sejak diluncurkan pada 2015, program Tol Laut telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam hal kapasitas dan jangkauan. Berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan, muatan Tol Laut meningkat dari 30 ton dengan 88 TEU’s pada 2015 menjadi 851,7 ton dengan 24.556 TEU’s pada 2024. Ini menunjukkan lonjakan yang luar biasa dalam hal distribusi logistik dan volume barang yang diangkut melalui jalur laut.
Selain itu, jumlah pelabuhan singgah juga mengalami kenaikan dari 11 pelabuhan pada tahun 2015 menjadi 109 pelabuhan pada 2024. Hal ini menunjukkan peningkatan aksesibilitas dan konektivitas di berbagai wilayah, terutama di daerah terpencil yang sebelumnya sulit dijangkau. Kapal trayek yang digunakan dalam program ini juga bertambah dari 3 kapal pada 2015 menjadi 37 kapal pada 2024, dengan rute trayek yang juga naik dari 3 trayek menjadi 39 trayek.
Namun, meskipun pencapaian ini sangat positif, ada tantangan yang perlu diperhatikan. Budi menyoroti adanya keterbatasan dari sisi fiskal dan infrastruktur pelabuhan yang belum merata. Tantangan ini memerlukan perhatian khusus agar program Tol Laut bisa tetap berjalan efektif dan bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama di era pemerintahan baru.
“Program ini masih menghadapi tantangan seperti keterbatasan fiskal, armada kapal, serta infrastruktur pelabuhan sehingga evaluasi dan pengawasan harus terus dilakukan,” kata Budi dalam Rapat Koordinasi Nasional Penyelenggaraan Kegiatan Pelayanan Publik Kapal Perintis, Rede Transport, dan Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang di Laut Tahun Anggaran 2024 bertema “Merajut Konektivitas Terpadu Untuk Indonesia Maju”, di Bandung, Rabu, 2 Oktober 2024.
Budi mengatakan di tengah keberhasilan program ini, masih ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah keterbatasan fiskal yang mempengaruhi anggaran untuk program Tol Laut dan Kapal Perintis. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, subsidi untuk angkutan tol laut sejatinya terus mengalami peningkatan. Tahun 2015, misalnya, anggaran untul Țol Laut sebanyak Rp71,8 miliar, kemudian angkanya melonjak pada 2023 sebesar Rp586,3 miliar. Total keseluruhan anggaran subsidi tol laut selama sembilan tahun mencapai Rp2,82 triliun yang şemuanya bersumber dari APBN.
Adapun selama hampir satu dekade terakhir, program Kapal Perintis tercatat mengalami perkembangan. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, dari tahun 2016 hingga 2024, pencapaian program ini terus meningkat, meskipun beberapa target belum sepenuhnya tercapai.
Dalam kurun waktu tersebut, jumlah lintas perintisbmengalami fluktuasi, dimulai dengan 224 lintas perintis pada tahun 2016, hingga mencapai puncaknya pada 2022 dengan 289 lintas perintis. Namun, angka ini sedikit menurun pada 2024, dengan jumlah lintasan sebesar 269.
Berikut rincian jumlah kapal perintis dan lintas perintis dari tahun 2016 hingga 2024:
Jumlah Lintas Perintis
Jumlah Kapal Perintis
Dari data di atas, terlihat bahwa baik jumlah lintas perintis maupun kapal perintis mengalami peningkatan signifikan pada tahun-tahun tertentu, terutama pada 2020 hingga 2022. Namun, pada 2023 dan 2024, jumlah lintas perintis mengalami penurunan, meskipun jumlah kapal perintis relatif stabil.
Pencapaian lainnya adalah pembangunan armada kapal perintis, di mana dari target 229 unit kapal yang diharapkan, realisasi hingga saat ini baru mencapai 103 unit. Meski demikian, berbagai tipe kapal telah dikembangkan, seperti kapal dengan kapasitas 750 DWT sebanyak 13 unit, kapal 500 DWT sebanyak 2 unit, dan kapal 200 DWT juga sebanyak 2 unit. Tipe lain yang juga signifikan dalam mendukung distribusi logistik di perairan adalah GT 2000 dengan 25 unit kapal dan GT 1200 dengan 20 unit kapal.
Namun, dalam hal trayek, realisasi jumlah trayek setiap tahun sedikit menurun sejak tahun 2020. Dari target 113 trayek per tahun, jumlah trayek yang terealisasi mencapai 118 trayek pada tahun 2020, tetapi menurun menjadi 107 trayek pada 2024. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi lebih lanjut dalam perencanaan dan implementasi trayek untuk mengoptimalkan jangkauan transportasi laut di wilayah-wilayah terpencil Indonesia.
Selain soal fiskal dan Kapal Perintis, tantangan tol lainnya adalah soal pelayaran rakyat (pelra). Pelra telah lama menjadi bagian penting bagi masyarakat kepulauan yang bergantung pada jalur laut untuk kehidupan sehari-hari. Namun, potensi besar ini belum dimaksimalkan. Padahal, pelra memiliki peran strategis dalam menjangkau wilayah-wilayah tertinggal, terdepan, terluar, dan perbatasan (3TP). Meski telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2021 tentang Pemberdayaan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat, kenyataannya, implementasi dari regulasi ini belum dirasakan oleh para pelaku pelra.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Pelra, Sudirman Abdullah, mengatakan para pengusaha pelra masih menghadapi berbagai tantangan, seperti kesulitan mendapatkan bahan baku. Armada kapal semakin berkurang, dan muatan yang bisa diangkut juga kian terbatas. Belum lagi masalah infrastruktur pelabuhan yang belum memadai, seperti kedalaman yang kurang memadai.
Selain itu, pelra juga belum dilibatkan dalam program tol laut, meski program ini telah menjadi agenda utama pemerintah selama satu dekade terakhir. Padahal, pelra bisa menjadi penghubung (feeder) yang mengantarkan barang-barang ke pulau-pulau kecil yang tak dapat dijangkau oleh kapal besar. "Pelra belum dilibatkan. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di pulau-pulau kecil dan terpencil yang tidak bisa dilayani oleh kapal besar, di situlah kapal pelra berperan," kata Sudirman pada Jumat, 11 Oktober 2024, lalu.
Dosen maritim di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, pelra memiliki potensi besar dalam mendukung distribusi barang hingga ke titik terakhir (last mile). Namun, selama ini, peran mereka belum dioptimalkan. Kapal besar yang berlayar dari pelabuhan besar, seperti Tanjung Perak di Surabaya, kerap kali tidak memanfaatkan kapal-kapal kecil untuk distribusi di wilayah Indonesia Timur. "Masih banyak ruang untuk itu. Beberapa studi kami, universitas-universitas lain dan Badan Kebijakan Transportasi memang punya rekomendasi yang sama, memanfaatkan kapal-kapal kayu yang nanti diangkat ke sana,” kata Saut.
Meski ada kekhawatiran soal kelaikan kapal rakyat, seperti kualitas kapal, biaya, keandalan rute, dan jadwal, Saut yakin hal tersebut bisa diatasi dengan standar operasional yang baik serta kolaborasi dengan berbagai pihak. Ia juga menyoroti bahwa saat ini, operator tol laut yang ditunjuk pemerintah masih terbatas, sehingga sulit untuk menyediakan kontainer dan peralatan pendukung lainnya.
Saut juga menekankan bahwa model kolaboratif seharusnya menjadi solusi untuk mengatasi berbagai masalah ini. Namun, saat ini ego sektoral masih mendominasi dibandingkan pendekatan kolaboratif. Meskipun Kementerian Perhubungan telah memiliki anggaran yang cukup, ia menilai sering kali sulit mengatasi masalah ketika program-program sampai ke tahap implementasi di hilir.