Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Mimpi Swasembada Pangan Lewat Alat Modern dan Pompanisasi

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 13 October 2024 | Penulis: Pramirvan Datu | Editor: Redaksi
Mimpi Swasembada Pangan Lewat Alat Modern dan Pompanisasi

KABARBURSA.COM - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menegaskan bahwa modernisasi dalam sektor pertanian mampu memangkas biaya produksi hingga 70 persen, meningkatkan efisiensi, serta mempercepat proses budidaya. Langkah ini dianggap vital untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.

"Sudah saatnya kita menggunakan alat panen modern yang mampu menekan biaya hingga 60-70 persen. Selain itu, tingkat kehilangan hasil panen berkurang 20 persen. Biaya jadi lebih murah dan produksi jelas meningkat," ungkap Mentan dalam pernyataannya di Jakarta, Minggu 13 Oktober 2024.

Pernyataan ini disampaikan Mentan kepada para petani di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Menurutnya, modernisasi adalah kunci utama dalam meningkatkan produksi pertanian.

Namun, Amran tidak merinci secara detail berapa jumlah nominal penghematan yang bisa dicapai melalui modernisasi tersebut.

“Kita harus beralih ke pertanian modern. Ini akan membuat proses usaha tani jauh lebih efisien dan biaya produksinya lebih terjangkau,” tegasnya.

Amran pun tak hanya bicara, ia langsung menunjukkan cara penggunaan alat mesin pertanian (alsintan) modern, salah satunya combine harvester, saat melakukan panen di lapangan.

Ia meyakinkan bahwa dengan penggunaan alat-alat modern seperti combine harvester, produksi padi dapat meningkat secara signifikan.

Lebih lanjut, Mentan menjelaskan bahwa dalam upaya meningkatkan produksi guna mencapai swasembada pangan, pihaknya telah menginisiasi program pompanisasi di berbagai wilayah Indonesia.

Pompanisasi, tambahnya, merupakan langkah strategis Kementan untuk memperluas areal tanam (PAT) di daerah-daerah sentra produksi, termasuk Sulawesi Selatan, yang merupakan penghasil beras terbesar keempat di Indonesia.

Realisasi PAT di Sulsel telah mencapai 97,53 persen, dengan luas 106.710 hektare dari total target 109.412 hektare, berdasarkan data Kementan. Sementara itu, di Kabupaten Gowa, sebagai salah satu penopang pangan di bagian selatan Sulsel, luas tambah tanam (LTT) bahkan sudah melampaui 100 persen, yakni 71.230 hektare dari target 70.087 hektare.

Basri, seorang petani muda yang telah berkecimpung di dunia pertanian selama tiga tahun, mengakui manfaat besar dari penggunaan alat modern seperti combine harvester.

"Semenjak ada combine, proses panen jadi lebih cepat, gabah tidak banyak terbuang, dan biaya produksi bisa ditekan," ujar Basri.

Namun, Basri juga tidak merinci secara pasti berapa penghematan biaya yang dirasakannya.

Selain alsintan, program pompanisasi yang digencarkan Kementan untuk menjaga produksi padi dengan mengoptimalkan sumber air, dinilai Basri dan petani lainnya memberikan dampak besar.

"Sebelum ada pompanisasi, kami hanya bisa panen sekali dalam setahun. Sekarang, setelah mendapatkan bantuan pompa, Alhamdulillah kami bisa panen dua kali, bahkan setelah panen kali ini kami akan mulai tanam lagi untuk mengejar panen ketiga," jelasnya.

Kementan sendiri sebelumnya telah menyalurkan bantuan reguler hingga akhir tahun 2024 untuk wilayah Sulsel senilai Rp365,32 miliar.

Selain itu, alokasi pupuk subsidi untuk tahun 2024 mencapai 869.355 ton dengan nilai Rp4,8 triliun, meningkat dari sebelumnya yang hanya 417 ribu ton senilai Rp2,3 triliun. Tambahan 451.718 ton ini bernilai Rp2,57 triliun.

Bantuan benih reguler untuk Sulsel di tahun 2024 juga mencapai Rp82,89 miliar. Ditambah lagi, Kementan melalui Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) menyalurkan 4.010 unit alsintan dengan total nilai Rp123,60 miliar.

Rinciannya, Brigade Alsintan terdiri dari 2.016 unit pompa air senilai Rp48,38 miliar, 359 unit handsprayer senilai Rp350 juta, serta 1.133 unit pompa air dengan nilai Rp27,19 miliar. Selain itu, terdapat dua unit traktor Crawler senilai Rp70 juta, 411 unit traktor roda dua (TR-2) senilai Rp13,15 miliar, dan 89 unit traktor roda empat (TR-4) dengan nilai Rp33,82 miliar.

Hadapi Tantangan Terbesar

Selama hampir satu dekade terakhir, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mencapai swasembada berbagai komoditas pangan utama. Meski pemerintah telah meluncurkan sejumlah program ambisius, seperti upaya khusus padi hingga swasembada daging, upaya pemerintah dalam mencapai swasembada berbagai komoditas pangan selama periode 2014 hingga 2023 mengalami kegagalan.

Hal ini disampaikan Kepala Biotech Center IPB University, Dwi Andreas Santosa, dalam Webinar Dewan Guru Besar Universitas Indonesia dengan tema “Ketahanan dan Kedaulatan Pangan, Berbagai Permasalahan, dan Usulan Pemikiran”, pada Selasa, 16 Juli 2024.

Mengutip data yang dipaparkan dalam webinar tersebut, ketergantungan pada impor pangan semakin meningkat, dengan data terbaru menunjukkan impor gandum, bawang putih, dan kedelai mencapai hampir 100 persen.

Berbagai program swasembada yang diluncurkan, seperti Upaya Khusus Padi, Jagung, dan Kedelai (Upsus Pajale) pada 2015 hingga 2019, serta program swasembada bawang putih, gula, dan daging sapi, semuanya berakhir dengan hasil yang tidak memuaskan.

Santosa mengungkapkan program Upsus Pajale yang menargetkan swasembada padi, jagung, dan kedelai tidak berhasil mencapai tujuannya, dengan masing-masing program dinyatakan gagal.

Selain itu, program swasembada bawang putih yang dimulai pada 2017 hingga 2021 juga mengalami kegagalan serupa. Swasembada gula yang diupayakan dari 2015 hingga 2019, serta swasembada daging sapi, juga tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Semuanya berakhir dengan hasil yang mengecewakan.

Laporan ini didukung oleh data perkembangan volume impor delapan komoditas pangan utama yang terus meningkat dari tahun 2000 hingga 2022. Volume impor gabungan beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah menunjukkan tren peningkatan yang signifikan, dengan volume impor mencapai puncaknya pada tahun 2022 dengan total 29.013.579 ton.

Kegagalan berbagai program swasembada ini mengakibatkan ketergantungan Indonesia pada impor pangan semakin tinggi. Berdasarkan data tersebut, impor gandum dan bawang putih mencapai 100 persen, kedelai 97 persen, gula 70 persen, daging sapi/kerbau 50 persen, jagung 10 persen, dan beras 10-15 persen. Data ini mencerminkan bahwa upaya untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri belum berhasil mengurangi ketergantungan pada impor.

Food Estate yang digagas sejak 1996 hingga 2023 juga tidak menunjukkan hasil yang signifikan dalam mengurangi ketergantungan impor pangan. Kegagalan ini menyoroti perlunya evaluasi dan perbaikan kebijakan pertanian untuk mencapai kemandirian pangan yang berkelanjutan.(*)