KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) merilis perkembangan indikator stabilitas ekonomi Indonesia selama pekan kedua Oktober 2024, dengan fokus pada nilai tukar rupiah dan dinamika di pasar keuangan. Laporan ini mencerminkan kondisi ekonomi global dan domestik, serta dampaknya terhadap pergerakan rupiah dan instrumen keuangan utama seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan US Treasury (UST).
Pada penutupan perdagangan Kamis, 10 Oktober 2024, rupiah tercatat berada di level Rp15.660 per dolar Amerika Serikat (USD). Ini mencerminkan pergerakan yang dipengaruhi oleh dinamika di pasar global, termasuk penguatan indeks dolar AS (DXY) yang mencapai level 102,99.
DXY adalah indeks yang mencatat pergerakan dolar terhadap enam mata uang utama dunia: euro, yen Jepang, pound sterling Inggris, dolar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss.
Meskipun nilai tukar rupiah sempat menunjukkan volatilitas selama pekan ini, BI mencatat bahwa pada pagi hari Jumat, 11 Oktober 2024, rupiah dibuka menguat pada level Rp15.640 per USD. Kondisi ini memberikan harapan stabilisasi dalam beberapa hari ke depan.
Selain perkembangan nilai tukar, yield SBN tenor 10 tahun juga mengalami peningkatan. Pada akhir perdagangan 10 Oktober 2024, yield SBN mencapai 6,67 persen, sedikit lebih tinggi dari periode sebelumnya. Di sisi lain, yield UST Note tenor 10 tahun juga meningkat ke level 4,061 persen, mencerminkan tren kenaikan suku bunga global yang dipengaruhi oleh kebijakan moneter di Amerika Serikat.
Namun, pada Jumat pagi, 11 Oktober 2024, yield SBN sedikit menurun menjadi 6,65 persen, menunjukkan adanya perbaikan dalam persepsi risiko investor terhadap pasar keuangan Indonesia. Penurunan ini disambut positif, mengingat pentingnya stabilitas obligasi pemerintah dalam menjaga kepercayaan pasar.
Perkembangan signifikan lainnya yang dilaporkan BI adalah aliran modal asing selama pekan kedua Oktober 2024. Non-resident tercatat melakukan aksi jual neto sebesar Rp2,84 triliun dalam periode 7–10 Oktober 2024. Aksi jual ini terutama terjadi di pasar saham dengan nilai jual neto sebesar Rp4,47 triliun. Namun, pasar SBN mengalami beli neto sebesar Rp4,37 triliun, menunjukkan minat investor terhadap instrumen berisiko rendah.
Di sisi lain, pasar Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) mencatat jual neto sebesar Rp2,73 triliun. Secara kumulatif, selama semester II-2024, non-resident telah membukukan beli neto sebesar Rp46,33 triliun di pasar saham, Rp75,15 triliun di pasar SBN, dan Rp63,16 triliun di SRBI.
Credit Default Swap (CDS), yang mencerminkan persepsi risiko kredit Indonesia, turut mengalami kenaikan. Pada 10 Oktober 2024, premi CDS Indonesia tenor 5 tahun tercatat sebesar 68,30 bps, sedikit lebih tinggi dibandingkan 67,25 bps pada 4 Oktober 2024. Meskipun ada kenaikan, tingkat CDS masih dalam kisaran yang relatif stabil, mencerminkan keyakinan investor terhadap prospek ekonomi Indonesia.
Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi, khususnya di tengah ketidakpastian global. BI juga mengoptimalkan bauran kebijakan moneter dan fiskal untuk menjaga ketahanan eksternal ekonomi Indonesia, termasuk dengan intervensi pasar yang diperlukan untuk menjaga nilai tukar dan stabilitas keuangan.
Secara keseluruhan, indikator stabilitas ekonomi pekan ini mencerminkan tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia dalam menghadapi dinamika global. Stabilitas rupiah, kenaikan yield obligasi, serta pergerakan modal asing akan terus dipantau dengan cermat untuk memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi yang solid dan berkelanjutan.
Rupiah berhasil terapresiasi sebesar 0,64 persen di akhir pekan, Jumat, 11 Oktober 2024. Begitu pula dengan mata uang emerging Asia yang ikut terdongkrak, menguat terhadap dolar Amerika Serikat.
Kurs rupiah diprediksi ditutup menguat terhadap dolar AS, didorong oleh data inflasi Amerika Serikat yang menunjukkan kecenderungan melandai mendekati target 2 persen hingga September 2024. Rupiah ditutup di level Rp15.577 per dolar AS, menguat 100 poin atau 0,64 persen dibandingkan penutupan sebelumnya yang berada di level Rp15.677 per dolar AS.
Penguatan rupiah juga sejalan dengan pergerakan positif mata uang emerging Asia lainnya, yang mengalami penguatan karena dolar AS yang melemah. Saham di kawasan Asia, meskipun bervariasi, menunjukkan reaksi positif terhadap data ketenagakerjaan AS yang sedikit melemah. Data ini memicu spekulasi bahwa Federal Reserve AS akan memangkas suku bunga dalam skala yang lebih kecil.
Di antara mata uang emerging Asia, won Korea Selatan mencatatkan kenaikan sekitar 0,5 persen. Hal ini terjadi setelah Bank of Korea memulai siklus pelonggaran kebijakan dengan pemangkasan 25 basis poin. Langkah tersebut sejalan dengan kebijakan moneter yang diambil oleh Indonesia dan Filipina.
Sementara itu, rupiah, peso Filipina, baht Thailand, dan ringgit Malaysia juga diperdagangkan dengan peningkatan antara datar hingga 0,4 persen lebih tinggi.(*)