KABARBURSA.COM - Masyarakat Indonesia semakin banyak mengambil utang, baik melalui layanan pinjaman online (pinjol) maupun skema Buy Now Pay Later (BNPL). Fenomena ini terjadi di tengah pelemahan daya beli yang melanda.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa total utang outstanding dari layanan pinjaman online atau peer to peer (P2P) lending di Indonesia per Agustus 2024 mengalami peningkatan signifikan.
Tercatat, pinjaman tersebut meningkat 35,62 persen year on year (yoy), mencapai Rp71,03 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 23,97 persen yoy.
Sementara itu, piutang dari layanan Pay Later yang dikelola oleh perusahaan pembiayaan atau multifinance juga mengalami lonjakan. Hingga Agustus 2024, piutang tersebut naik 89,20 persen yoy menjadi Rp7,99 triliun. Peningkatan ini melanjutkan tren kenaikan yang terlihat pada bulan Juli 2024, di mana pertumbuhan mencapai 73,55 persen yoy.
Peningkatan penggunaan utang ini terjadi di tengah kondisi deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Mei 2024, deflasi mencapai 0,03 persen secara bulanan (month to month/mtm), yang kemudian memburuk pada Juni dengan deflasi sebesar 0,08 persen.
Tren ini terus berlanjut, dengan deflasi pada Juli 2024 yang semakin dalam, mencapai 0,18 persen. Pada Agustus 2024, deflasi sedikit mereda ke 0,03 persen, tetapi kembali meningkat pada September 2024 dengan angka 0,12 persen.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa peningkatan utang adalah indikasi dari melemahnya daya beli masyarakat.
Bhima menyatakan bahwa dalam enam tahun terakhir, total penyaluran pinjaman online di Indonesia mencapai lebih dari Rp700 triliun, dengan sebagian besar dana digunakan untuk konsumsi.
“Mayoritas pinjaman ini digunakan untuk konsumsi, yang berarti masyarakat semakin terdesak untuk meminjam uang karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup. Selain itu, deflasi yang terjadi menunjukkan bahwa tekanan inflasi dari sisi permintaan (demand pull inflation) masih rendah, sehingga permintaan belum cukup kuat untuk mendorong harga barang dan jasa naik,” kata Bhima, Jumat, 11 Oktober 2024.
Dia juga menunjukkan tanda-tanda lain dari menurunnya daya beli, seperti menurunnya disposable income terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita.
Menurutnya, penurunan ini mencerminkan bahwa uang yang tersedia untuk dibelanjakan oleh masyarakat rata-rata semakin berkurang.
Selain itu, Bhima menyoroti bahwa semakin banyak masyarakat yang bekerja di sektor informal, seperti ojek online atau kurir paket, sebagai tanda lain dari tantangan ekonomi. Peningkatan tenaga kerja di sektor informal ini terjadi karena berkurangnya lapangan kerja formal, khususnya di sektor industri.
“Menurut data Bank Indonesia (BI) per Juli 2024, rata-rata tabungan rumah tangga per rekening bank tercatat sebesar Rp4,28 juta. Jumlah ini mengalami penurunan sebesar 6,3 persen yoy dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Ini menjadi salah satu indikator bahwa masyarakat mulai menguras tabungan mereka,” jelas Bhima.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyatakan pendapat serupa. Menurutnya, tren pinjaman online, Pay Later, dan bahkan perjudian online mengalami lonjakan yang signifikan setelah pandemi.
“Setelah pandemi, kita melihat peningkatan tajam dalam transaksi pinjaman online, Pay Later, hingga judi online. Sulit untuk menyangkal bahwa saat ini daya beli masyarakat mengalami penurunan,” kata Faisal.
Faisal menambahkan, bahwa penurunan daya beli dapat dilihat dari jumlah tabungan yang menurun, terutama di rekening di bawah Rp100 juta. Menurut data yang ia paparkan, sekitar 99 persen tabungan masyarakat Indonesia berada di bawah Rp100 juta.
“Spending dari kelas menengah juga turun. Banyak orang yang sebelumnya berada dalam rentang pendapatan antara Rp2 hingga Rp10 juta kini jatuh ke kategori pendapatan di bawah Rp2 juta. Penurunan ini memengaruhi sekitar 10 juta orang,” ujar Faisal.
Ia juga mencatat bahwa pertumbuhan upah riil selama semester pertama tahun 2024 hanya mencapai 0,07 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi. Bahkan, pada tahun 2023, upah riil sempat mengalami kontraksi atau penurunan.
“Berdasarkan berbagai indikator ini, kita bisa menyimpulkan bahwa pemerintah perlu melakukan langkah-langkah untuk membalikkan keadaan,” tambah Faisal.
Secara keseluruhan, tren utang yang terus meningkat dan deflasi yang berkepanjangan mencerminkan tantangan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Peningkatan penggunaan pinjaman online dan Pay Later bukan hanya menunjukkan masalah konsumsi, tetapi juga semakin terbatasnya daya beli yang dialami oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pemerintah perlu mengambil tindakan untuk mengatasi masalah ini dan memulihkan perekonomian dengan lebih efektif, terutama dalam menciptakan lapangan kerja formal dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. (*)