KABARBURSA.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa selama sepuluh tahun kepemimpinannya, sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.
Jokowi mengatakan bahwa sejak tahun 2014, sektor ini telah menyumbangkan sekitar Rp1.800 triliun kepada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pada tahun 2022, sektor ESDM tercatat menyetorkan PNBP sebesar Rp348 triliun, sedangkan untuk tahun 2023, angkanya menurun menjadi Rp229 triliun. Jokowi menyebutkan bahwa kontribusi tahunan ini menunjukkan betapa besarnya peran sektor ESDM dalam menopang pendapatan negara.
Jokowi pun menekankan pentingnya mengoptimalkan potensi yang ada di sektor ESDM, khususnya dalam bidang pertambangan.
Menurutnya, hilirisasi menjadi strategi kunci untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas tambang yang dihasilkan. Ia menegaskan bahwa Indonesia harus beralih dari hanya mengekspor bahan mentah ke produksi barang jadi yang lebih bernilai.
“Nilai tambah harus ada di dalam negeri, added value harus ada di dalam negeri. Kita tidak bisa lagi mengirim mentahan, raw material, yang kemudian dinikmati negara lain,” tegas Jokowi dalam acara perayaan Malam Puncak HUT ke-79 Pertambangan dan Energi yang berlangsung di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2024
Pernyataan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendorong industri dalam negeri agar lebih kompetitif di pasar global.
Jokowi juga menyebut bahwa hilirisasi tidak hanya akan meningkatkan nilai tambah produk, tetapi juga berpotensi menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan. Dalam konteks ini, hilirisasi menjadi langkah strategis untuk mengatasi tantangan pengangguran di Indonesia.
“Program hilirisasi harus terus berjalan. Ini adalah bagian dari upaya kita untuk meningkatkan daya saing dan menciptakan peluang bagi masyarakat,” ujarnya.
Dia menekankan bahwa semua pihak harus berkomitmen untuk tidak mundur dalam pelaksanaan program hilirisasi, meskipun ada berbagai tantangan yang mungkin dihadapi.
Dalam rangka mencapai tujuan hilirisasi, Jokowi mengajak semua stakeholder untuk berinvestasi dan berinovasi di sektor ESDM. Hal ini penting agar Indonesia bisa mengolah sumber daya alamnya secara optimal dan menghasilkan produk yang tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga siap bersaing di pasar internasional.
“Dengan investasi dan inovasi, kita bisa memperkuat fondasi ekonomi nasional. Kita harus mampu mengolah sumber daya kita sendiri dan tidak bergantung pada negara lain,” ucap Jokowi.
Ia percaya, dengan pengelolaan yang tepat, sektor ESDM dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap perekonomian.
Namun, Jokowi juga menyadari bahwa perjalanan menuju hilirisasi dan optimalisasi sektor ESDM tidaklah mudah. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi, mulai dari masalah regulasi, teknologi, hingga kapasitas sumber daya manusia. Untuk itu, pemerintah perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk sektor swasta dan lembaga penelitian, untuk mencari solusi yang tepat.
“Kesuksesan hilirisasi tergantung pada kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kita perlu membangun ekosistem yang kondusif agar inovasi dapat berkembang,” katanya. Jokowi berharap dengan adanya kerjasama yang solid, semua tantangan bisa diatasi dan sektor ESDM bisa berkembang lebih pesat.
Dengan visi yang jelas mengenai hilirisasi dan pengelolaan sumber daya alam, Jokowi optimis untuk masa depan sektor ESDM di Indonesia. Dia meminta semua pihak bersatu dalam mencapai tujuan bersama demi kesejahteraan masyarakat.
“Ini adalah waktu yang tepat untuk bertransformasi. Mari kita bersama-sama membangun industri yang kuat dan berkelanjutan untuk generasi mendatang,” pungkas Jokowi.
Indonesia masih sangat bergantung pada kegiatan ekonomi ekstraktif, yaitu aktivitas yang mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun sektor ini dianggap menjadi salah satu motor penggerak ekonomi, berbagai kalangan menilai bahwa ketergantungan ini justru lebih banyak membawa dampak negatif bagi perekonomian Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa kegiatan ekstraktif erat kaitannya dengan volatilitas pasar global yang tinggi. Harga komoditas yang dihasilkan dari aktivitas ini ditentukan oleh mekanisme pasar internasional, yang sering kali di luar kendali pemerintah. Ketidakpastian harga inilah yang membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap gejolak pasar.
“Ekonomi berbasis ekstraktif selalu membuat kita waspada. Sensitivitasnya sangat tinggi dan tidak berada di bawah kontrol pemerintah,” kata Bhima dalam peluncuran buku ‘Ekonomi Era Krisis Iklim’ yang diadakan di Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2024.
Bhima menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia kerap mengklaim mampu mengendalikan harga komoditas unggulan, seperti nikel. Argumen pemerintah didasarkan pada fakta bahwa Indonesia memiliki cadangan dan produksi nikel terbesar di dunia, sehingga diasumsikan dapat mempengaruhi harga komoditas tersebut di pasar global. Namun, klaim ini hingga saat ini belum terbukti, karena harga nikel terus mengalami fluktuasi yang signifikan.
Sebagai contoh, pada 2022 harga nikel sempat melonjak hingga lebih dari USD40.000 per ton, tetapi kemudian turun drastis menjadi sekitar USD17.000 per ton pada tahun 2024.
“Cadangan terbesar tidak serta merta menjamin kendali harga di pasar internasional. Apa yang terjadi saat ini cukup mengejutkan,” ujar Bhima.
Penurunan harga nikel tersebut juga berdampak pada penerimaan negara dari sektor ini. Pada 2022, penerimaan pajak dari sektor nikel mencapai Rp 18 triliun, sementara pajak bumi dan bangunan dari aktivitas hilirisasi berkontribusi sebesar Rp 7 triliun. Namun, seiring penurunan harga komoditas nikel, setoran pajak ini juga mengalami penurunan tajam pada 2023 dan diperkirakan akan terus merosot pada 2024.
“Volatilitas harga yang sangat tinggi ini jelas memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Tidak hanya pendapatan negara yang turun, tetapi juga berdampak pada aspek lingkungan dan sosial,” tegas Bhima.
Ia menambahkan bahwa kegiatan ekstraktif berisiko memicu kerusakan lingkungan yang semakin meluas, yang pada gilirannya akan memberikan dampak negatif berantai terhadap berbagai sektor, termasuk kesehatan masyarakat.
Hasil riset Celios mengungkapkan bahwa desa-desa yang pendapatannya bergantung pada sektor ekstraktif cenderung sulit mengakses fasilitas kesehatan yang memadai. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas ekstraktif tidak hanya mengancam keseimbangan ekosistem, tetapi juga membahayakan kesehatan penduduk yang tinggal di sekitar wilayah tersebut.
Bhima menilai bahwa kerusakan alam dan volatilitas ekonomi yang dihasilkan dari ketergantungan pada sektor ekstraktif menunjukkan bahwa model ekonomi ini tidak lagi relevan untuk jangka panjang. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah untuk segera beralih dari ekonomi berbasis ekstraktif menuju ekonomi restoratif.
Ekonomi restoratif adalah pendekatan yang menekankan keseimbangan antara kegiatan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Pendekatan ini berfokus pada pemulihan ekosistem yang rusak akibat aktivitas manusia, sambil tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam pandangan Bhima, model ekonomi restoratif lebih menjanjikan dibandingkan ekonomi ekstraktif yang telah terbukti menyebabkan berbagai masalah.
“Kita perlu melihat bahwa ekonomi ekstraktif belum bisa dijadikan solusi jangka panjang. Malah, ekonomi ekstraktif justru berpotensi memicu krisis, baik krisis ekonomi maupun krisis lingkungan,” ujar Bhima.
Ia menambahkan bahwa pengalihan fokus ekonomi ke sektor yang lebih ramah lingkungan, seperti energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, serta industri berbasis inovasi teknologi hijau, merupakan langkah penting untuk menciptakan ekonomi yang lebih stabil dan tangguh terhadap guncangan global.
Bhima juga menekankan pentingnya investasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D) untuk mendukung transisi ini, sehingga Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya pada sektor ekstraktif dan menciptakan sumber-sumber pertumbuhan baru.
Pada akhirnya, Bhima menegaskan, bahwa pergeseran dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi restoratif tidak hanya penting untuk menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga untuk melindungi keberlanjutan sumber daya alam Indonesia bagi generasi mendatang. Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk mengurangi dampak negatif dari sektor ekstraktif dan mempercepat transisi ke ekonomi yang lebih ramah lingkungan.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini bukan hanya terletak pada bagaimana mengelola sumber daya alam, tetapi juga bagaimana mengembangkan model ekonomi yang lebih berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.
Jika pemerintah mampu merumuskan kebijakan yang tepat, Indonesia bisa menjadi pionir dalam menciptakan ekonomi restoratif yang tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menjaga keberlanjutan ekosistem alam yang menjadi penopang kehidupan.
Pergeseran paradigma ini juga membutuhkan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, masyarakat, dan komunitas internasional, untuk bersama-sama menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi Indonesia. (*)