Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Investor Soroti Data Inflasi-Pengangguran, Wall Street Berakhir Melemah

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 11 October 2024 | Penulis: Syahrianto | Editor: Redaksi
Investor Soroti Data Inflasi-Pengangguran, Wall Street Berakhir Melemah

KABARBURSA.COM - Indeks utama Wall Street berakhir lebih rendah pada perdagangan Kamis, 10 Oktober 2024. Penurunan ini disebabkan oleh investor yang memerhatikan data inflasi dan pengangguran di Amerika Serikat (AS).

Seperti dikutip dari Reuters, indeks Dow Jones Industrial Average turun 57,88 poin atau 0,14 persen menjadi 42.454,12, S&P 500 kehilangan 11,99 poin atau 0,21 persen menjadi 5.780,05, dan Nasdaq Composite turun 9,57 poin atau 0,05 persen menjadi 18.282,05.

Baik S&P 500 dan Dow Jones, mencatatkan penutupan tertinggi sepanjang masa pada sesi sebelumnya. Hanya tiga dari 11 sektor utama S&P 500 yang menguat perdagangan Kamis, 10 Oktober 2024, dengan sektor energi naik 0,8 persen dan mengungguli yang lainnya karena harga minyak meningkat.

Adapun data inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan tampak dari Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) yang naik 0,2 persen secara bulanan (month on month/mom) pada September 2024 dan 2,4 persen secara tahunan (year on year/yoy). Kedua angka ini sedikit lebih tinggi dari perkiraan para ekonom yang disurvei oleh Reuters. Angka inti, yang mengecualikan harga makanan dan energi yang bergejolak, naik 3,3 persen secara tahunan, dibandingkan dengan perkiraan 3,2 persen.

Selain inflasi, dalam laporan terpisah data klaim pengangguran juga mengalami kenaikan menjadi 258.000 untuk pekan yang berakhir pada 5 Oktober 2024. Perkiraannya jauh lebih rendah yakni sebanyak 230.000.

"Investor terpecah antara laporan CPI yang lebih kuat dari perkiraan dan laporan klaim pengangguran yang lebih lemah dari perkiraan," kata Jack Ablin, kepala investasi di Cresset Capital di Chicago.

"Satu menunjukkan inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan, dan yang lain menunjukkan ekonomi tampak lebih lemah dari perkiraan. Ini adalah skenario terburuk dari kedua sisi," tambah Ablin.

Setelah data ekonomi tersebut, para investor memperkirakan kemungkinan sekitar 80 persen bahwa Federal Reserve (The Fed) akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuannya di bulan November mendatang. Sementara, ada kemungkinan sekitar 20 persen bahwa suku bunga akan tetap tidak berubah, menurut CME's FedWatch.

Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic, pada Kamis, 10 Oktober 2024 mengatakan dia akan "sangat nyaman" melewatkan penurunan suku bunga pada pertemuan mendatang bank sentral AS, menambahkan bahwa "kegoncangan" dalam data terbaru tentang inflasi dan ketenagakerjaan mungkin membenarkan untuk mempertahankan suku bunga di bulan November.

Presiden The Fed Chicago, Austan Goolsbee, mengatakan dia melihat penurunan suku bunga secara bertahap selama satu setengah tahun ke depan, sementara John Williams dari Fed New York mengatakan dia masih melihat adanya penurunan suku bunga di masa depan.

Lebih lanjut, harga minyak berjangka melonjak karena penggunaan bahan bakar di AS meningkat menjelang Badai Milton, yang menghantam pesisir barat Florida pada Rabu, 9 Oktober 2024 malam. Harga minyak juga naik didukung oleh kekhawatiran pasokan terkait konflik di Timur Tengah.

Investor juga bersiap untuk musim laporan pendapatan kuartal ketiga, dengan bank-bank besar dijadwalkan melaporkan hasil pada Jumat, 11 Oktober 2024. Tingkat pertumbuhan pendapatan kuartal ketiga untuk S&P 500 diperkirakan mencapai 5 persen secara tahunan, menurut perkiraan yang dikumpulkan oleh LSEG.

Sementara dari lantai bursa AS, beberapa saham individu mengalami pergerakan yang signifikan. Saham Delta Air Lines, salah satu maskapai penerbangan terbesar di dunia, mengalami penurunan sebesar 1 persen. Penurunan ini terjadi setelah perusahaan tersebut memperkirakan bahwa pendapatan kuartalan akan berada di bawah ekspektasi para analis.

Hal ini sebagian besar disebabkan oleh proyeksi bahwa pengeluaran untuk perjalanan, khususnya perjalanan udara, akan melambat dalam beberapa bulan mendatang. Kondisi ekonomi global yang tidak pasti serta fluktuasi harga bahan bakar juga turut menjadi faktor yang mempengaruhi performa maskapai ini.

Perlambatan dalam permintaan perjalanan berdampak negatif pada maskapai penerbangan lain, termasuk American Airlines yang juga mencatatkan penurunan sebesar 1,4 persen pada hari yang sama. Maskapai ini, yang juga beroperasi di pasar internasional, menghadapi tantangan serupa terkait penurunan permintaan perjalanan serta meningkatnya biaya operasional.

Selain itu, saham Pfizer, salah satu produsen obat terbesar di dunia, turun lebih tajam sebesar 2,8 persen. Penurunan ini dipicu oleh mantan eksekutifnya yang secara terbuka menjauhkan diri dari kampanye yang digalakkan oleh investor aktivis Starboard.

Starboard, yang dikenal sebagai investor aktivis agresif, telah menekan Pfizer untuk melakukan perubahan besar dalam strategi bisnisnya, termasuk melakukan restrukturisasi atau mungkin menjual sebagian asetnya. Namun, mantan eksekutif Pfizer tampaknya tidak setuju dengan pendekatan tersebut, dan ketidakpastian ini memberikan tekanan pada saham perusahaan, membuat investor khawatir akan prospek jangka panjang produsen obat ini.

Secara keseluruhan, volume perdagangan di bursa AS mencapai 11,02 miliar saham yang berpindah tangan. Angka ini sedikit di bawah rata-rata perdagangan selama 20 sesi terakhir, yang berada di kisaran 12,06 miliar saham.

Kondisi pasar pada hari itu menunjukkan tekanan jual yang cukup besar, dengan saham-saham yang mengalami penurunan jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan saham yang mengalami kenaikan.

Rasio saham yang turun terhadap yang naik di New York Stock Exchange (NYSE) mencapai 1,39 banding 1, mengindikasikan adanya tekanan jual yang lebih kuat. Di NYSE, tercatat 185 saham yang mencapai level tertinggi baru, sementara 55 saham mencatatkan level terendah baru.

Di Nasdaq, bursa teknologi yang sering kali lebih volatil, situasinya lebih suram. Sebanyak 1.616 saham berhasil naik, namun 2.576 saham mengalami penurunan. Rasio penurunan saham di Nasdaq bahkan lebih besar, yakni 1,59 banding 1, menunjukkan bahwa lebih banyak saham yang berada dalam tekanan jual.

Meskipun begitu, indeks S&P 500 mencatatkan 22 saham yang mencapai titik tertinggi dalam 52 minggu terakhir, sebuah sinyal bahwa meskipun ada tekanan di pasar, masih ada perusahaan-perusahaan yang menunjukkan performa kuat. Namun, 2 saham di indeks ini juga mencatat level terendah baru.

Di Nasdaq Composite, 60 saham berhasil mencapai level tertinggi baru, sementara 163 saham mengalami penurunan ke level terendah baru dalam 52 minggu terakhir, menambah gambaran yang cukup bervariasi tentang kondisi pasar saat ini. (*)