Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Uni Eropa Tunda UU Antideforestasi, RI Siapkan Kampanye Hijau CPO

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 10 October 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Uni Eropa Tunda UU Antideforestasi, RI Siapkan Kampanye Hijau CPO

KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan kampanye hijau untuk minyak kelapa sawit (CPO) sebagai respons terhadap kebijakan regulasi baru Uni Eropa mengenai antideforestasi, yaitu EU Deforestation-Free Products Regulation (EUDR).

Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan Mardyana Listyowati mengatakan meski Indonesia menolak regulasi tersebut, pemerintah tetap mempersiapkan diri untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

“Dalam waktu setahun ini, kita harus siap, walaupun kita menolak, kita tidak tinggal diam. Kita beradaptasi agar dapat mengikuti regulasi EUDR yang dipersyaratkan,” kata Mardyana di acara pembukaan Trade Expo Indonesia (TEI) ke-39 di ICE BSD, Tangerang, Rabu, 9 Oktober 2024.

Sebagai bagian dari upaya tersebut, pemerintah sedang merancang dan mengembangkan National Dashboard yang akan digunakan untuk kampanye hijau CPO.

Kampanye ini bertujuan menunjukkan bahwa minyak kelapa sawit bukanlah produk berbahaya dan bahwa proses produksinya tidak selalu menyebabkan deforestasi.

“Kita sudah ke beberapa negara dan mempersiapkan kampanye hijau untuk menunjukkan bahwa sebenarnya minyak kelapa sawit ini aman dan tidak menyebabkan deforestasi,” ujar Mardyana.

Lebih lanjut, Mardyana menjelaskan, bahwa CPO merupakan produk yang lebih efisien dibandingkan minyak nabati lainnya. Menurutnya, kelapa sawit mampu memberikan hasil yang berkelanjutan tanpa harus menanam ulang setiap musim panen, seperti yang terjadi pada produk agrikultur lainnya.

“CPO itu lebih efektif dan efisien. Kenapa? Karena kelapa sawit tidak hanya dipanen sekali. Berbeda dengan produk agrikultur lainnya, yang dipanen sekali, selesai,” tuturnya.

Namun demikian, Mardyana juga menyoroti bahwa penerapan EUDR dianggap merugikan Indonesia dan mencerminkan adanya diskriminasi terhadap negara berkembang. Regulasi ini tidak hanya membatasi akses pasar produk sawit Indonesia ke Uni Eropa, tetapi juga menciptakan beban tambahan bagi eksportir dengan berbagai persyaratan ketat.

Komisi Uni Eropa sebelumnya telah memutuskan untuk menunda implementasi UU anti-deforestasi atau EUDR selama satu tahun. Undang-undang ini, yang awalnya dijadwalkan berlaku pada 30 Desember 2024, mewajibkan eksportir produk tertentu ke Uni Eropa, termasuk minyak kelapa sawit, untuk memastikan bahwa produk tersebut bebas dari keterlibatan dalam penggundulan atau degradasi hutan dalam rantai pasok mereka sejak 2020.

Selain memastikan produk bebas deforestasi, EUDR juga mengharuskan eksportir mematuhi standar hak asasi manusia (HAM) dan menghormati hak-hak masyarakat adat dalam proses produksinya. Hal ini menambah beban bagi negara-negara penghasil CPO, seperti Indonesia, yang harus menyesuaikan praktik produksinya untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Indonesia, sebagai salah satu produsen terbesar CPO di dunia, merasa dirugikan oleh regulasi ini. Pemerintah dan para pelaku industri telah menyuarakan bahwa regulasi tersebut tidak hanya mempersulit akses produk sawit ke pasar Uni Eropa, tetapi juga berdampak pada perekonomian nasional yang bergantung pada sektor sawit. Mardyana menegaskan bahwa meskipun Indonesia memiliki sikap yang tegas terhadap regulasi ini, pemerintah tetap berkomitmen untuk mematuhi standar internasional yang berlaku demi menjaga akses pasar.

Dalam beberapa tahun terakhir, minyak kelapa sawit telah menjadi salah satu komoditas yang paling diperbincangkan di tingkat global, terutama terkait isu lingkungan dan keberlanjutan. Tekanan dari kelompok advokasi lingkungan di Eropa dan Amerika terus meningkat terhadap penggunaan minyak sawit yang dianggap sebagai penyebab utama deforestasi, terutama di kawasan Asia Tenggara. Isu ini memicu serangkaian regulasi ketat seperti EUDR untuk memastikan bahwa minyak sawit yang diekspor ke Eropa tidak berkontribusi pada kerusakan lingkungan.

Namun, bagi Indonesia, CPO adalah salah satu produk unggulan yang memainkan peran penting dalam perekonomian, menciptakan lapangan kerja, serta menjadi sumber pendapatan bagi jutaan petani dan pelaku usaha. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia terus mencari jalan tengah untuk memenuhi tuntutan pasar global tanpa mengorbankan kepentingan nasional.

Sebagai bagian dari upaya tersebut, kampanye hijau yang diinisiasi oleh pemerintah diharapkan dapat meningkatkan citra positif CPO di mata dunia internasional. Pemerintah juga terus berkoordinasi dengan negara-negara produsen minyak sawit lainnya, seperti Malaysia, untuk memperkuat posisi bersama dalam menghadapi regulasi yang dianggap diskriminatif.

Mardyana juga menegaskan pentingnya kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta dalam menghadapi tantangan ini. Menurutnya, sinergi yang kuat diperlukan untuk memastikan bahwa industri sawit Indonesia mampu beradaptasi dengan perubahan regulasi global tanpa mengabaikan aspek lingkungan.

“Kita harus bekerja sama antara pemerintah dan pelaku industri, untuk memastikan bahwa minyak kelapa sawit kita tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga sesuai dengan standar internasional,” katanya.

Dengan menunda penerapan EUDR selama satu tahun, Uni Eropa memberikan waktu bagi negara-negara seperti Indonesia untuk beradaptasi. Namun, tantangan ke depan tetap besar. Pemerintah Indonesia harus mampu membuktikan bahwa minyak sawit yang diproduksi memenuhi standar keberlanjutan yang diinginkan oleh pasar internasional, sambil tetap mempertahankan pertumbuhan sektor ini sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. (*)