KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencatat dalam 10 tahun terakhir, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menghibahkan Barang Milik Negara (BMN) dengan total nilai Rp374,66 triliun. Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, dianggap telah membagikan BMN tersebut layaknya Sinterklas.
"Selama 10 tahun terakhir, Pak Bas (Menteri PUPR) sudah menghibahkan BMN dengan total Rp374,66 triliun," kata Sri Mulyani dalam acara Serah Terima BMN Kementerian PUPR di Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2024.
Pada acara tersebut, Kementerian PUPR menyerahkan BMN senilai Rp19,26 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp5,8 triliun diserahkan kepada kementerian dan lembaga (K/L), sedangkan Rp13,36 triliun disalurkan ke pemerintah daerah, yayasan, perguruan tinggi, desa, dan berbagai pihak lainnya.
Sri Mulyani menegaskan bahwa BMN ini dibangun menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan setelah selesai diserahkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, seperti kementerian atau lembaga, instasi pendidikan, pemerintah daerah, dan desa.
Adapun BMN yang dihibahkan meliputi berbagai bidang, seperti sumber daya air senilai Rp113,99 miliar, infrastruktur jalan nasional dan jembatan sebesar Rp2,79 triliun, serta proyek di bidang Cipta Karya, termasuk jaringan air minum, rehabilitasi sekolah dan pasar, serta pembangunan kawasan pariwisata senilai Rp9,53 triliun.
Selain itu, di sektor perumahan, BMN yang diserahkan mencakup rumah susun, rumah khusus, dan sarana prasarana umum dengan total nilai Rp6,82 triliun.
Di kesempatan itu, Menkeu Sri Mulyani juga menekankan pentingnya mengomunikasikan kepada masyarakat bahwa pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang terkumpul digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan penyebab menurunnya jumlah kelas menengah di Indonesia.
Mantan Direktur Bank Dunia (World Bank) ini menyebut penurunan jumlah kelas menengah karena tertekan oleh kenaikan harga atau inflasi yang sempat tinggi.
“Penurunan kelas menengah biasanya karena inflasi. Dengan inflasi tinggi, maka garis kemiskinan naik, mereka tiba-tiba akan jatuh ke bawah,” kata Sri Mulyani saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Kamis, 4 Oktober 2024.
Meski begitu, lanjut Sri Mulyani, ada juga dari kelompok miskin yang naik menjadi kelompok menuju kelas menengah atau aspiring middle class.
“Jadi dalam hal ini kita melihat adanya dua indikator, yang miskin naik, tapi yang kelas menengah turun,” ujarnya.
Namun, Sri Mulyani, tidak menyebutkan secara rinci berapa jumlah atau persentase kelas menengah yang turun dan berapa jumlah kelas miskin yang naik menuju kelas menengah.
Dirinya melihat, kondisi ekonomi saat ini telah mengalami transformasi. Meski banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di suatu sektor, tapi banyak juga lowongan kerja terbuka di sektor lainnya.
"Menurut statistik, 11 juta lebih dalam kurun waktu tiga tahun terakhir angkatan kerja baru atau lapangan kerja baru terbuka, tapi ada PHK. Jadi ini semuanya harus dilihat secara keseluruhan," ujarnya.
"Kalau sekarang banyak FDI pada area hilirisasi, itu mungkin area yang job creation-nya berbeda dengan area di mana labour intensive seperti alas kaki, tekstil, garmen, yang dulu memang menjadi area penciptaan kesempatan kerja. Another think munculnya kesempatan kerja baru karena sektor digital," jelas Sri Mulyani menambahkan.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono mengatakan masalah penurunan kelas menengah akan menjadi pekerjaan rumah (PR) besar pemerintahan mendatang. Katanya, sampai saat ini pemerintah terus mencermati fenomena ini.
“Ini memang menjadi suatu hal yang harus benar-benar dicermati. Saya rasa ini menjadi PR pemerintahan Pak Prabowo. Utamanya bagaimana kita mencari solusi jangka panjang untuk kembali ke level pra pandemi,” kata Thomas dalam acara Media Gathering di Anyer, Banten, Kamis, 26 September 2024.
Menurut Tommy, panggilan akrab keponakan Prabowo ini, fenomena merosotnya kelas menengah tidak terlepas dari dampak pandemi COVID-19 yang menyebabkan peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Saya mau menggarisbawahi bahwa tantangan yang dihadapi kelas menengah bukan karena kebijakan yang kurang, kita harus melihat ini dari konteks pandemi,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 47,85 juta jiwa pada 2024 atau setara dengan 17,13 persen proporsi masyarakat di Tanah Air. Jumlah itu menurun dibandingkan 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa atau setara 21,45 persen dari total penduduk. Artinya terjadi penurunan sebanyak 9,48 juta jiwa. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.