Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Dilema Regulasi Ojol: Menjaga Industri Tetap Tumbuh di Tengah Tekanan

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 10 October 2024 | Penulis: Pramirvan Datu | Editor: Redaksi
Dilema Regulasi Ojol: Menjaga Industri Tetap Tumbuh di Tengah Tekanan

KABARBURSA.COM - Pemerintah didesak untuk cermat dalam merumuskan kebijakan terkait ojek online (ojol) agar industri ini dapat berkembang lebih pesat serta terus berkontribusi positif.

Mengingat, saat ini ojol berperan besar dalam menyerap tenaga kerja dan turut menggerakkan roda perekonomian nasional. Kontribusi industri ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga signifikan, sehingga layak mendapat apresiasi dari pemerintah.

"Karena itu, perlu regulasi khusus yang disusun dengan kehati-hatian agar industri ini tetap tumbuh," kata Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus anggota DPR, Muhammad Hanif Dhakiri, dalam diskusi yang digelar Universitas Brawijaya di Jakarta, dikutip Kamis 10 Oktober 2024.

Diskusi yang bertema "Menavigasi Keberlanjutan Pekerja Gig di Indonesia" tersebut membahas pentingnya kebijakan yang tidak semata-mata membebankan tanggung jawab pada perusahaan aplikator. Hanif menegaskan bahwa negara harus hadir dan turut berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan para pekerja gig.

"Jangan hanya menuntut platform atau pekerja yang menanggung beban. Kesejahteraan adalah kewajiban pemerintah. Negara harus hadir, mulai dari akses pelatihan, jaminan sosial, hingga subsidi jika diperlukan," tegasnya.

Menurut Hanif, regulasi ideal harus mencakup pelatihan yang tidak hanya fokus pada kemampuan mengemudi, tetapi juga keahlian lain agar para pengemudi dapat meningkatkan status mereka menjadi wirausahawan. "Pelatihan yang diberikan sebaiknya mengarah pada peningkatan keterampilan untuk membangun entitas bisnis yang lebih mapan," ujarnya.

Budi Santoso, akademisi dari Universitas Brawijaya, menyebut bahwa hubungan antara ojol dan perusahaan aplikator memang bukan hubungan pekerja formal. Namun, dengan 81{6fb4e9191d3a368937c8efd0d66239a5ef26a13b97be884ddf8bd2ce9168b1d8} pengemudi yang menjadikan ojol sebagai pekerjaan utama, ada urgensi untuk mengembangkan keahlian mereka agar mampu masuk ke sektor formal.

"Rekomendasi dari ILO (International Labour Organization) menunjukkan bahwa pengemudi ojol adalah pekerja mandiri. Ini tantangan besar karena mayoritas dari mereka membutuhkan peningkatan kapasitas agar bisa bertransisi ke pekerjaan yang lebih layak," ungkap Budi.

Senada, Rani Septyarini, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), menekankan bahwa regulasi yang tepat tak hanya berdampak bagi para pengemudi, tetapi juga bagi masyarakat luas. Menurut hasil penelitian Celios, kabupaten yang memiliki layanan ojol cenderung memiliki tingkat pengangguran 37{6fb4e9191d3a368937c8efd0d66239a5ef26a13b97be884ddf8bd2ce9168b1d8} lebih rendah dan tingkat kemiskinan turun hingga 18{6fb4e9191d3a368937c8efd0d66239a5ef26a13b97be884ddf8bd2ce9168b1d8} dibandingkan dengan kabupaten tanpa layanan serupa.

"Kontribusi mereka terhadap ekonomi digital sangat besar, lebih dari Rp 900 triliun dari sisi transaksi. Namun, pekerjaan ini bersifat transisi. Jika tidak ada peningkatan keahlian, bagaimana nasib mereka dalam 10-15 tahun ke depan? Pemerintah harus merumuskan kebijakan yang tepat," tutur Rani.

Menanggapi hal tersebut, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) mengakui bahwa kontribusi ojol terhadap ekonomi nasional tidak dapat dipandang sebelah mata. Oleh karena itu, pemerintah tengah menyiapkan regulasi yang dapat menjawab tantangan hubungan kerja antara pekerja gig dan perusahaan aplikator.

"Tantangan ini harus diselesaikan melalui aturan Permenaker yang mengakomodasi keberadaan pekerja platform sebagai entitas tersendiri, terpisah dari mitra maupun pekerja formal. Maka, peraturan ini harus melibatkan Kemenhub dan Kemenkominfo," ujar Asisten Deputi Harmonisasi Ekosistem Ketenagakerjaan Kemenko Perekonomian, Nuryani Yunus.

Pemerintah kini menghadapi dilema: bagaimana menciptakan kebijakan yang melindungi tanpa menghambat, memberdayakan tanpa mengekang, serta memastikan kesejahteraan tanpa mengorbankan inovasi di industri ojek online.

Memformalkan Status Pekerjaan

Rencana pemerintah untuk memformalkan status pekerjaan ojek online (ojol) tengah menjadi sorotan. Langkah ini dipandang dapat mengubah secara mendasar sifat pekerjaan gig yang selama ini dikenal dengan fleksibilitasnya. Pekerja gig, seperti pengemudi ojol, telah lama menikmati kebebasan dalam mengatur jam kerja mereka.

Direktur Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan tuntutan ojol yang menginginkan adanya formalisasi status pekerjaan lewat surat keputusan bersama (SKB) beberapa kementerian akan mengekang kebebasan waktu kerja yang selama ini mereka jalankan.

“Formalisasi ini bisa menghilangkan unsur gig worker dengan segala kelebihan dan kekurangannya,” ujar Huda dalam Biweekly Brief Celios secara daring, Senin, 2 September 2024.

Formalisasi ojol merujuk pada tuntutan agar pemerintah memberikan kerangka hukum yang lebih jelas dan kuat terhadap status serta hak-hak para pengemudi ojol. Saat ini, ojol beroperasi dalam ranah yang kurang diatur oleh hukum, terutama dalam hal status pekerjaan mereka yang sering kali masih dianggap sebagai pekerja informal atau gig worker. Formalisasi ini bertujuan untuk mengatur berbagai aspek terkait ojol, mulai dari status ketenagakerjaan, jam kerja, hingga kesejahteraan para pengemudinya.

Upaya formalisasi ini dimulai dengan wacana untuk memasukkan pengaturan ojol dalam undang-undang, mengingat peraturan yang ada saat ini, seperti Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019, hanya bersifat sementara dan tidak memiliki kekuatan hukum yang setara dengan undang-undang. Undang-undang yang diusulkan untuk menjadi landasan hukum bagi ojol diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih baik kepada pengemudi, termasuk jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan hak-hak lain yang seharusnya diperoleh pekerja formal.(*)