KABARBURSA.COM - Sistem pengupahan nasional di Indonesia dinilai perlu direformasi untuk menciptakan keadilan bagi seluruh pekerja. Ukuran seperti tingkat pendidikan hingga pengalaman kerja dapat dipakai sebagai penilaian.
Menurut pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi, reformasi tersebut harus dilakukan mulai dari pendidikan pekerja tersebut. Tujuannya agar kompetensi dan pengalaman yang dimiliki oleh pekerja bisa dihargai dengan pantas.
"Sistem pengupahan nasional harus diatur secara adil mulai dari pekerja dengan tingkat pendidikan dan pengalaman rendah hingga tingkat yang lebih tinggi," ujar Tadjuddin kepada Kabarbursa.com, Rabu, 9 Oktober 2024.
Indonesia, tutur Tadjuddin, sebenarnya dapat belajar dari negara seperti Inggris dan Amerika Serikat (AS) dalam sistem pengupahan. Negara-negara ini telah mengembangkan sistem pengupahan yang lebih terstruktur, berdasar pada klasifikasi jabatan dan pengalaman kerja.
"Sebetulnya, kita sudah memiliki dasar yang baik di Indonesia, yaitu sistem klasifikasi jabatan. Dengan mengembangkan skala upah yang berdasarkan pendidikan, pengalaman kerja, dan tanggung jawab, kita bisa mencapai keadilan sosial yang lebih baik," tambahnya.
Komentarnya terhadap sistem pengupahan itu berangkat dari tuntutan para hakim untuk meminta gaji mereka naik. Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera membahas kenaikan gaji pokok dan tunjangan hakim.
Namun, Tadjuddin menilai jika gaji hakim dan jaksa dinaikkan tanpa reformasi sistem pengupahan nasional, hal ini dapat memicu ketidakadilan di kalangan pekerja sektor lain. "Jika hanya hakim yang dinaikkan gajinya, bagaimana dengan jaksa dan panitera? Beban kerja mereka mungkin sama, hanya tanggung jawab yang berbeda," katanya.
Ia menawarkan pendekatan untuk reformasi tersebut. Antara lain ialah pengupahan perlu mencakup semua sektor dan bidang hingga pekerja informal. "Semua profesi harus diatur sesuai dengan sistem pengupahan nasional. Hanya dengan cara ini kita dapat menciptakan keadilan sosial yang sejati," kata Tadjuddin.
Meskipun demikian, menurut Tadjuddin, salah satu tantangan besar dalam mencapai keadilan melalui sistem pengupahan nasional adalah perbedaan signifikan antara sektor-sektor tertentu. Ia mencontohkan bagaimana gaji di sektor keuangan sering kali jauh lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya, meskipun volume kerja mereka bisa saja sama.
"Orang di Kementerian Keuangan misalnya, gajinya tinggi, tetapi volume kerja mereka sama dengan sektor lain. Hal ini menciptakan ketidakadilan, dan reformasi sistem pengupahan harus menjadi prioritas," katanya.
Ia juga menegaskan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja sebenarnya sudah mencantumkan kewajiban perusahaan untuk menyusun struktur dan skala upah. Namun, menurutnya, aturan ini masih belum diterapkan dengan baik.
"Dalam Undang-Undang Cipta Kerja sudah disebutkan bahwa perusahaan harus membuat struktur upah yang adil. Tapi kenyataannya, upah minimum masih mendominasi tanpa adanya perbaikan skala upah yang sesuai dengan tanggung jawab dan pengalaman kerja," jelasnya.
Tadjuddin berharap bahwa pemerintahan yang akan datang dapat mendorong reformasi ini secara menyeluruh, bukan hanya di sektor-sektor tertentu saja. "Pancasila mengajarkan kita tentang keadilan sosial, dan ini harus tercermin dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pengupahan nasional," pungkasnya.
Adapun Koordinator SHI Rangga Desnata Lukita sebelumnya meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera membahas kenaikan gaji pokok dan tunjangan hakim sebesar 142 persen. “Kepada wakil rakyat, kami wakil Tuhan memohon kepada wakil rakyat agar gaji pokok kami dan tunjangan jabatan kami naik 142 persen,” kata Rangga.
Rangga menyebut, usul kenaikan gaji dan tunjangan hakim tidak semuluk upaya Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang hendak memperjuangkan kenaikan 300 persen bagi pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan. Menurutnya, 142 persen adalah angka yang masuk akal untuk menunjang kerja hakim.
Di sisi lain, Rangga juga meminta DPR RI untuk segera melakukan perancangan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012. Dia juga meminta agar Presiden terpilih, Prabowo Subianto, dapat menandatangani revisi PP tersebut.
“Apabila berkenan itu ditandatangani oleh Presiden terpilih, karena yang kami rasakan beliau sangat paham mengenai nasib kami dan beliau sangat paham mengenai peran kami sebagai Guardian of Justice, penegak keadilan di muka bumi ini,” ungkapnya.
Lebih jauh, Rangga juga meminta DPR RI untuk mengusulkan penambahan anggaran bagi Mahkamah Agung. Dia menyebut, kenaikan anggaran perlu untuk menunjang kesejahteraan para hakim. (*)