KABARBURSA.COM - Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, menilai wajar jika para hakim saat ini meminta kenaikan gaji pokok mereka. Kewajaran itu berdasar pada dua hal yaitu dari sisi hukum dan ekonomi.
Menurut Tadjuddin, para hakim perlu mendapat upah yang layak. Hal ini untuk memastikan independensi dan kualitas pengadil terhadap keputusan dari suatu produk hukum.
"Hakim harus dibayar dengan layak. Jika tidak, keputusan mereka bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Kesejahteraan mereka sangat penting untuk menjaga integritas dalam sistem peradilan," jelasnya kepada Kabarbursa.com, Rabu, 9 Oktober 2024.
Meskipun saat ini tuntutan yang dilayangkan oleh Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) masih dikaji oleh pemerintah, Tadjuddin menyebut kenaikan gaji hakim masih logis guna menyesuaikan kondisi perekonomian dan inflasi saat ini. Pasalnya, daya beli hakim mengalami penurunan hingga 24 persen dengan gaji terkini.
"Kalau rata-rata inflasi mencapai 2 persen per tahun, maka selama 12 tahun, nilai gaji mereka sudah turun sebesar 24 persen. Dengan demikian, sangat wajar jika hakim menuntut kenaikan gaji," kata Tadjuddin.
Hakim golongan tertinggi yaitu IV E dengan masa kerja 32 tahun menerima gaji pokok mencapai Rp4,9 juta. Namun, mereka juga menerima tunjangan bervariasi yang antara lain tergantung daerah tempat bekerja.
Sayangnya, Tadjuddin menyoroti bahwa tunjangan ini tidak merata. “Tunjangan itu sangat bergantung pada lokasi, padahal tanggung jawab mereka sama, yaitu memutuskan perkara penting," ujarnya.
Terkait lokasi, seperti contoh para hakim di Jakarta dan Papua akan menerima gaji berbeda. Seharusnya, lanjut dia, hal ini tidak menjadi dasar utama dalam menentukan besaran tunjangan para pengadil.
"Mungkin kasus di Jakarta lebih banyak, tapi secara prinsip, tanggung jawab mereka sama. Idealnya, tunjangan hakim dihitung berdasarkan jumlah atau kompleksitas kasus yang ditangani, bukan berdasarkan daerah tempat mereka bertugas." tambahnya.
Di samping itu, secara lebih luas, Tadjuddin menerangkan pentingnya pemerintah memiliki sistem pengupahan nasional yang adil bagi semua pekerja. Selain hakim, para pekerja sektor lain juga belum mendapatkan prioritas.
"Kita masih belum memiliki sistem penggajian nasional yang konsisten. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan penghasilan yang tidak selalu adil di berbagai sektor dan daerah," jelasnya.
Oleh karena itu, kenaikan gaji hakim ini diharapkan dapat mencerminkan komitmen pemerintah terhadap kesejahteraan seluruh pekerja, bukan hanya pada profesi tertentu, tetapi juga bagi profesi yang belum mendapat perhatian penuh dalam kebijakan penggajian nasional.
Koordinator SHI Rangga Desnata Lukita sebelumnya meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera membahas kenaikan gaji pokok dan tunjangan hakim sebesar 142 persen. “Kepada wakil rakyat, kami wakil Tuhan memohon kepada wakil rakyat agar gaji pokok kami dan tunjangan jabatan kami naik 142 persen,” kata Rangga.
Rangga menyebut, usul kenaikan gaji dan tunjangan hakim tidak semuluk upaya Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang hendak memperjuangkan kenaikan 300 persen bagi pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan. Menurutnya, 142 persen adalah angka yang masuk akal untuk menunjang kerja hakim.
Di sisi lain, Rangga juga meminta DPR RI untuk segera melakukan perancangan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012. Dia juga meminta agar Presiden terpilih, Prabowo Subianto, dapat menandatangani revisi PP tersebut.
“Apabila berkenan itu ditandatangani oleh Presiden terpilih, karena yang kami rasakan beliau sangat paham mengenai nasib kami dan beliau sangat paham mengenai peran kami sebagai Guardian of Justice, penegak keadilan di muka bumi ini,” ungkapnya.
Lebih jauh, Rangga juga meminta DPR RI untuk mengusulkan penambahan anggaran bagi Mahkamah Agung. Dia menyebut, kenaikan anggaran perlu untuk menunjang kesejahteraan para hakim.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012, memuat besaran gaji seorang hakim. Adapun peraturan tersebut masuk dalam Pasal 2 tentang hak keuangan dan fasilitas bagi hakim, yakni gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun, dan tunjangan lain.
Berdasarkan PP tersebut, gaji pokok hakim sendiri dibagi menjadi beberapa golongan. Untuk hakim Golongan III dengan masa kerja 0-1 sebesar Rp2.064.200 hingga Rp2.337.300. Sementara untuk Golongan IV dengan masa kerja 0-1 sebesar Rp2.435.100 hingga Rp2.758.500.
Adapun hakim Golongan III akan mengalami kenaikan gaji secara bertahap sesuai dengan masa kerjanya. Pada hakim Golongan III dengan masa kerja 32 besaran gaji yang diterima sebesar Rp3.929.700 hingga Rp4.294.100. Begitu juga dengan hakim Golongan IV masa kerja 32, mengalami kenaikan menjadi Rp4.422.900 hingga Rp4.978.000.
Sementara tunjangan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer, hakim tingkat banding menerima besaran yang jauh lebih tinggi. Adapun rinciannya, ketua/kepala hakim tingkat banding Rp40.200.000, wakil ketua/wakil kepala Rp36.500.000, hakim utama/mayjen/lakada/marsda TNI Rp33.300.000, Hakim Utama Muda/Brigjen/Laksma/Marsma TNI Rp31.100.000, Hakim Madya Utama/Kolonel Rp29.100,000, Hakim Madya Muda/Letnan Kolonel Rp27.200.000. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.