KABARBURSA.COM - Laboratorium 45 menyebut bahwa tata kelola pemerintah Indonesia masih berada di ambang batas buruk. Berdasarkan Worldwide Governance Indicators (WGI) 2024, diketahui tata kelola pemerintahan Indonesia sendiri berada di peringkat 107 dari total 214 negara.
“Indonesia masih berada diambang batas buruk (berdasarkan tata kelola pemerintahan),” kata Analis Ekonomi Politik Laboratorium 45, Indah Lestari, dalam sesi diskusi berjudul Evaluasi Kebijakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo: Bidang Politik Keamanan, Ekonomi, dan Media, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa, 8 Oktober 2024.
Indah menilai, banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan pemerintahan mendatang. Adapun hal yang perlu diperbaiki diantaranya, akuntabilitas dan kebebasan, supremasi hukum, kualitas regulasi, efektivitas pemerintah, hingga stabilitas politik dan keamanan.
Pada titik tertentu, rendahnya tata kelola pemerintah Indonesia akan menimbulkan keraguan bagi para investor asing yang hendak menanamkan modalnya di dalam negeri. Adapun posisi investasi bagi Indonesia sendiri penting untuk menunjang pertumbuhan ke depan.
“Kenapa ini harus diperbaiki? Karena ini akan berkaitan erat dengan bagaimana investor luar itu percaya menyimpan capital ke Indonesia yang mana kita sangat butuhkan untuk menjadi modal kita ke depan,” tegasnya.
Sementara itu, Indah juga menyebut kompleksitas ekonomi Indonesia cenderung mengalami stagnasi terhitung dari tahun 2020 hingga 2021 yang berada di kisaran 50 sampai 60. Jika dibandingkan dengan Korea Selatan dengan starting point yang sama, Indonesia cenderung fokus pada komoditas ekspor mineral dan agrikultur.
“Kita mungkin sedih ya melihat bahwa sekarang kita cenderung masih fokus pada mineral dan agrikultur, sementara Korea Selatan sekarang yang sudah menjadi negara maju, itu sudah lebih cenderung mengandalkan (ekspor) elektronik dan mesinnya,” tegasnya.
Jika Indonesia ingin memacu pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan untuk tenaga kerja kelas menengah, tutur Indah, pemerintah perlu mempertimbangkan sektor ekonomi dengan kompleksitas yang jauh lebih tinggi.
“Ini bisa menjadi refleksi kita ke depan, jika Indonesia ingin maju ke depan, ingin supaya kelas menengahnya mendapatkan pekerjaan yang layak, ini kita juga harus memulai memikirkan untuk bisa lebih berfokus kepada kegiatan ekonomi yang memiliki kompleksitas tinggi dengan nilai value edit yang lebih tinggi,” tutupnya.
Kelas Menengah Tulang Punggung Pertumbuhan Ekonomi
Dalam kesempatan yang sama, Analis Utama Ekonomi Politik Laboratorium 45, Radhityana Muhammad menyebut, kelas menengah merupakan punggung perekonomian Indonesia.
Berdasarkan sajian data Laboratorium 45, kontribusi kelas menengah bagi perekonomian Indonesia sendiri dibagi menjadi dua. Pertama, kontribusi kelas menengah terhadap pajak sendiri menyentuh angka 50,7 persen dan calon kelas menengah sebesar 34,5 persen pada kuartal II tahun 2024.
Sementara pada komponen variabel produk domestik bruto (PDB) Indonesia di kuartal II 2024, 55,86 persen berasal dari konsumsi rumah tangga. Radhityana menyebut, dari konsumsi rumah tangga juga didominasi oleh konsumsi kelas menengah, yakni sebesar 82 persen.
“Kelas menengah Indonesia menjadi tulang punggung perekonomian nasional,” kata Radhityana dalam paparannya.
Radhityana menuturkan, pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga. Seandainya kelas menengah tidak mengalami hambatan ekonomi, dia menilai, Indonesia dapat memastikan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,5 persen.
“Untuk mempertahankannya, jangan terlalu banyak ngutak-ngutik atau kebijakan yang malah memberatkan kelas menengah,” tegasnya.
Penyebab Investor Asing Kabur
Diberitakan sebelumnya, Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana mengungkap, salah satu penyebab kaburnya investor asing dari Indonesia, yaitu abainya pemerintah dan DPR dalam menyikapi isu perubahan iklim.
Menurut penilaiannya, salah satu isu penting yang luput dari perhatian DPR periode 2019-2024 adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Iklim. Dia pun mengingatkan pada DPR periode 2024-2029 agar tidak mengabaikan kembali.
“Setelah kemarin dilantik, DPR terpilih tentunya telah memiliki gambaran apa yang akan mereka kerjakan selama lima tahun ke depan. Yang cukup terabaikan, padahal sebenarnya penting adalah mengenai RUU Perubahan Iklim,” kata Andri kepada Kabar Bursa, Kamis, 3 Oktober 2024.
Padahal, Andri menyebut, isu perubahan iklim kerap dibahas dalam forum investasi, bahkan menjadi topik debat capres/cawapres Pilpres kemarin.
“Isu perubahan iklim sering dibahas dalam forum investasi internasional, bahkan muncul di debat capres/cawapres kemarin. Tapi anehnya, di parlemen terkesan menutup mata dan telinga terhadap isu ini,” ujarnya.
Andri memaparkan, salah satu alasan biaya modal di Indonesia tetap tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya yaitu karena industri di Tanah Air tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi. Dampaknya, terasa langsung pada utang negara dan swasta yang membengkak, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang tersenda.
“Industri Indonesia secara struktural dianggap masih tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi ketika urgensi perubahan iklim semakin dirasakan,” ucap Andri.
Menurut dia, jika Indonesia tidak segera merubah regulasi terkait dengan keberlanjutan, maka aliran modal asing akan terus beralih ke negara-negara yang lebih progresif dalam menangani isu lingkungan. Dan, ini berpotensi membuat Indonesia semakin tertinggal.
“Ini harus dirombak secara nasional melalui reulasi UU karena sifatnya struktural, terutama dalam momentum pemerintahan baru agar perencanaan pembangunan ke depan tidak semakin bergerak ke belakang dalam isu keberlanjutan,” jelas Andri.
Kata Andri lagi, masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat sekarang ini, seperti mahalnya biaya listrik, ketergantungan pada BBM, serta ketergantungan pada industri tambang dan ekspor komoditas, semuanya berakar dari kebijakan pembangunan yang abai terhadap keberlanjutan.
“Ketergantungan terhadap industri pertambangan, perusakan lingkungan, dan strategi hilirisasi yang mengabaikan kesejahteraan kelas pekerja adalah bukti nyata kegagalan kebijakan kita,” tuturnya.
“Jadi, RUU Perubahan Iklim inilah yang menjadi salah satu wacana yang harus lebih diperhatikan dan dituntaskan,” pungkas Andri.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.