KABARBURSA.COM - Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai deflasi beruntun yang terjadi sejak Mei hingga September 2024 mengindikasikan pelemahan daya beli masyarakat. Tidak hanya itu, menurut dia, situasi ini berdampak pada menurunnya tabungan dan peningkatan kredit bermasalah di sektor jasa keuangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi sebesar 0,12 persen pada September 2024 dibanding bulan sebelumnya. Ini menandakan deflasi telah terjadi selama lima bulan berturut-turut. "Deflasi ini merupakan indikasi kuat terjadinya pelemahan daya beli," kata Samirin saat dihubungi KabarBursa.com, Senin, 7 Oktober 2024.
Samirin menambahkan, data Purchasing Managers' Index (PMI) turut memperkuat indikasi lemahnya daya beli, seiring dengan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi belakangan. Kondisi tersebut, menurutnya, juga mencerminkan pesimisme di sektor industri.
"Menggambarkan produsen pun merasa pesimis dengan prospek bisnisnya. Saat konsumen dan produsen tidak optimis, penurunan ekonomi merupakan konsekuensi yang harus dihadapi," ujarnya.
Deflasi pada September 2024 merupakan yang kelima berturut-turut di tahun ini. Indeks harga konsumen turun dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024. Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, deflasi tahun ini merupakan yang terparah sejak 1999.
Namun, Samirin menilai situasi ekonomi saat ini masih relatif lebih baik dibandingkan dengan kondisi krisis 1999. Saat itu, rupiah kehilangan nilai, kredit macet perbankan menggunung, terjadi bank rush yang menyebabkan collapse, hingga ekonomi regional yang bermasalah.
"Saat ini, banyak dari faktor-faktor tersebut tidak terjadi, sehingga kita tidak perlu khawatir secara berlebihan," kata Samirin.
Tanggapan Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bicara soal kondisi deflasi yang terjadi di Indonesia selama lima bulan berturut-turut. Menurut dia, deflasi bisa terjadi karena dua hal, pertama penurunan harga yang terjadi karena pasokan dan distribusi bahan pokok yang baik. Dan, kedua, deflasi juga bisa terjadi karena adanya daya beli yang berkurang.
Dia menekankan, harus dicari tahu di antara dua hal tersebut mana yang jadi penyebab deflasi untuk melihat apakah deflasi menjadi alarm bahaya atau justru keuntungan buat masyarakat.
“Coba dicek betul deflasi itu karena penurunan harga-harga barang, karena pasokannya baik, karena distribusinya baik, karena transportasi enggak ada hambatan. Atau karena memang ada daya beli yang berkurang,” kata Jokowi di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Minggu, 6 Oktober 2024.
Namun dia menekankan, pengendalian harga, baik deflasi maupun inflasi harus bisa dikendalikan dengan baik. Hal ini dilakukan agar semua pihak tetap mendapatkan keuntungan. Di sisi produsen dan distributor tetap bisa mendapatkan untung usaha, di sisi konsumen bisa mendapatkan suatu barang dengan harga terjangkau.
“Apapun yang namanya deflasi maupun inflasi itu memang dua-duanya harus dikendalikan, sehingga harga stabil tidak merugikan produsen, petani, nelayan, UMKM, dan pabrikan. Tapi harganya terjangkau oleh konsumen, tidak naik,” ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, secara tahunan Indonesia masih mengalami inflasi 1,8 persen, artinya harga di pasar tetap terjaga dengan seimbang. Menurutnya, pengendalian keseimbangan harga memang menjadi pekerjaan rumah pemerintah saat ini, dan hal itu tidak mudah untuk dilakukan. “Menjaga keseimbangan itu yang tidak mudah dan kita akan berusaha terus,” Katanga.
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Permana, mengatakan deflasi ini secara jelas mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat, terutama bagi kelas pekerja dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
“Dari survei penjualan eceran terakhir yang dirilis Bank Indonesia (BI), kinerja penjualan kembali terkontraksi 7,2 persen dari bulan sebelumnya,” ujar Andri kepada KabarBursa.com, Rabu, 2 Oktober 2024.
Dia juga mengungkapkan penjualan kategori seperti Peralatan Informasi dan Komunikasi, Perlengkapan Rumah Tangga, dan Barang Budaya dan Rekreasi bahkan lebih buruk dari kondisi yang terjadi pada 2010.
Andri menambahkan, ekspektasi terhadap penjualan tiga hingga enam bulan ke depan menunjukkan semakin tingginya pesimisme. Jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaannya tahun ini pun diperkirakan lebih besar daripada data yang tercatat oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker).
Hingga Agustus 2024, BPJS Ketenagakerjaan mencatat klaim Jaminan Hari Tua (JHT) mencapai 2,07 juta kasus, dengan 29,93 persen di antaranya berasal dari pekerja yang di-PHK dan 57,91 persen dari pekerja yang mengundurkan diri.
“Jumlahnya sangat jauh dari 46.000 yang terdata di Kemnaker, dan masih banyak lagi mereka yang kehilangan pekerjaannya tanpa bisa klaim JHT ke BPJS Ketenagakerjaan,” kata Andri.
Deflasi ini, menurut Andri, bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Selama pandemi COVID-19, Indonesia juga mengalami deflasi serupa. Namun yang berbeda, kali ini penurunan harga disebabkan oleh faktor struktural kebijakan. Tingginya suku bunga dan proses deindustrialisasi dini menjadi penyebab utama penurunan daya beli.
“Tenaga kerja terhimpun ke sektor informal dan jasa yang memiliki nilai tambah yang rendah (low value-adding services). Ini disebabkan lapangan kerja pada sektor sekunder sudah terlanjur meredup sebelum dapat menghasilkan lapangan kerja di sektor turunan yang memberikan nilai tambah yang tinggi,” jelasnya.
Andri memandang pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto harus segera mengevaluasikebijakan yang telah menyebabkan masalah struktural ini. “Pemerintahan Prabowo mau tidak mau harus mengevaluasi kembali kebijakan selama ini yang sudah menimbulkan masalah struktural yang saya sebutkan di atas,” kata Andri.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.