Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Tiga Warisan Berat Jokowi ke Pemerintahan Prabowo

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 07 October 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Tiga Warisan Berat Jokowi ke Pemerintahan Prabowo

KABARBURSA.COM - Masa jabatan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang tak sampai sebulan lagi menyisakan sejumlah pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Pada 20 Oktober 2024, Prabowo resmi dilantik sebagai Presiden RI, mengambil alih tidak hanya kekuasaan, tetapi juga berbagai program dan kebijakan yang belum tuntas selama dua periode pemerintahan Jokowi.

Selama 10 tahun menjabat, Jokowi telah meninggalkan banyak pencapaian, termasuk pembangunan infrastruktur dan regulasi yang mempermudah masuknya investasi asing.

Namun, tak semua hal yang diwariskan merupakan kabar baik. Di antara beban yang harus dilanjutkan oleh Prabowo dan wakilnya, Gibran Rakabuming, adalah proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), utang negara yang besar, serta kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan cukai rokok.

1. IKN

Salah satu warisan besar yang harus ditangani Prabowo adalah kelanjutan pembangunan IKN di Kalimantan Timur. Jokowi menyebut, keputusan terkait pemindahan ibu kota ke IKN harus ditandatangani oleh presiden yang baru. "Sepatutnya yang meneken Keppres adalah Presiden yang baru, Pak Prabowo," ujar Jokowi saat menghadiri agenda Nusantara Tentara Nasional Indonesia (TNI) Fun Run 2024 di IKN, Ahad, 6 Oktober 2024.

Jokowi menjelaskan pembangunan fisik dan ekosistem di IKN harus berjalan seiring, tidak hanya sekadar memindahkan bangunan. "Memindahkan Ibu Kota itu bukan hanya fisiknya saja, tetapi juga membangun ekosistemnya. Rumah sakit, pendidikan, dan fasilitas publik lainnya harus siap saat dibutuhkan," katanya.

2. Jatuh Tempo Utang Pemerintah

Tantangan lain yang diwariskan Jokowi adalah utang pemerintah yang cukup besar. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah per 31 Agustus 2024 mencapai Rp8.461,93 triliun, setara dengan 38,49 persen dari PDB. Jumlah ini menurun dibandingkan bulan sebelumnya, namun masih menyisakan utang jatuh tempo sebesar Rp800,3 triliun pada 2025 yang harus dilunasi oleh pemerintahan Prabowo.

Berbagai fraksi di DPR, termasuk PDIP, PKS, dan PKB, telah memperingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam mengelola utang yang berpotensi membebani APBN di masa mendatang. Adisatrya Suryo Sulisto, perwakilan PDIP, mengingatkan bahwa defisit anggaran sebesar 2,53 persen pada RAPBN 2025 harus ditutup dengan pembiayaan utang yang optimal. "Pemerintah harus dapat mengantisipasi beban utang jatuh tempo pada tahun 2025," katanya.

Sementara itu, Dewan Pakar PAN, Dradjad H. Wibowo, yang juga anggota tim ekonomi Prabowo-Gibran, menyebut pemerintahan Prabowo akan menghadapi tantangan besar dalam mengatasi beban utang ini. "Kalau kita tidak mampu melakukan terobosan di bidang penerimaan negara, utang kita akan membengkak," ujarnya.

Dradjad menyarankan agar pemerintah menggali potensi penerimaan tambahan, seperti melalui pajak yang sudah inkracht dan perbaikan sistem teknologi informasi untuk penarikan PPN.

Kenaikan PPN 12 Persen

Kementerian Keuangan memastikan tarif cukai rokok tidak akan naik pada tahun 2025. Namun, keputusan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen masih menunggu keputusan pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih, Prabowo Subianto.

Wakil Menteri Keuangan II, Thomas Djiwandono, mengatakan bahwa rencana kenaikan PPN akan diputuskan oleh pemerintahan Prabowo yang mulai menjabat pada 2025. "Sekali lagi, PPN biarlah Pak Prabowo menjadi presiden dahulu ya. Pastilah nanti akan ada penjelasan lebih lanjut kalau sudah ada kabinet yang terbentuk,” kata Thomas dalam Media Gathering APBN 2025, Rabu, 25 September 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnyamenegaskan keputusan tersebut akan berada di tangan Prabowo, yang nantinya akan membahas kenaikan tarif pajak dengan DPR. "(Soal PPN 12 persen) Saya menyerahkan kepada pemerintahan baru untuk memutuskannya," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada akhir Juni lalu.

Sebagai informasi, APBN 2025 yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pekan lalu masih menggunakan asumsi PPN 11 persen. Angka ini belum sesuai dengan mandat UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang mewajibkan PPN sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Drajad Wibowo, memperingatkan kenaikan PPN menjadi 12 persen berisiko menekan perekonomian nasional. “Kenaikan ini bisa membebani ekonomi karena konsumsi berpotensi tertekan. Terlebih, jumlah kelas menengah Indonesia terus turun dan daya beli kian anjlok,” katanya.

Kementerian Baru

Sementara Prabowo menghadapi tantangan besar dalam mewarisi kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi, beban anggaran negara di bawah kepemimpinannya juga diprediksi akan semakin berat. Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah potensi tekanan terhadap APBN akibat penambahan personel di kabinet baru yang dipimpin oleh Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka. Hal ini disampaikan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.

Kata Bhima, alokasi belanja operasional birokrasi pemerintahan yang besar hingga Rp691 triliun di tahun 2025 akan semakin terbebani dengan penambahan kementerian baru. Sementara total belanja pegawai kementerian dan lembaga sendiri sebesar Rp285,8 triliun dengan belanja barang Rp405,2 triliun.

“Bisa dibayangkan penambahan nomenklatur kementerian baru bisa buat APBN tertekan,” kata Bhima kepada KabarBursa.com, Minggu, 15 September 2024.

Di sisi lain, Bhima menilai, penambahan APBN akan menjadi ancaman bagi program prioritas yang ditetapkan Prabowo ke depan. Menurutnya, akan lebih baik melakukan peleburan kementerian dan lembaga yang memiliki tupoksi serupa.

“Banyak program seperti makan siang gratis, melanjutkan mega proyek bisa tidak jalan. Buat apa menambah kementerian baru? Harusnya kan menggabungkan kementerian yang ada, agar hemat belanja birokrasinya,” katanya.(*)