Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ketimpangan Pajak: Beban Rakyat Meningkat, Keringanan untuk Kaum Kaya

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 07 October 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Ketimpangan Pajak: Beban Rakyat Meningkat, Keringanan untuk Kaum Kaya

KABARBURSA.COM - Kebijakan perpajakan pemerintah kembali memicu kritik, terutama terkait ketimpangan dalam menarik pajak dari kelompok masyarakat yang paling mampu.

Direktur Riset di Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyoroti perbedaan proporsi antara pendapatan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh), yang mencerminkan ketidakmampuan pemerintah memaksimalkan potensi pajak dari kelompok kaya.

"Tingkat ketidakmampuan pemerintah untuk menarik pajak dari pendapatan mereka yang paling mampu juga dapat tercermin dari proporsi pendapatan pajak penghasilan (PPh) dibandingkan pajak PPN," katanya pada Kabarbursa.com, Senin 7 Oktober 2024.

Diketahui, pada tahun 2023, PPN yang memiliki tarif 11 persen tanpa menghitung PPN Ditanggung Pemerintah (DTP), berhasil menyumbang Rp737,6 triliun atau 34,2 persen dari total penerimaan pajak.

Namun, di sisi lain, PPh 21 yang tarifnya 15-35 persen hanya menghasilkan Rp200,8 triliun, atau 9,3 persen dari seluruh penerimaan perpajakan. "Lebih kecil dari Pendapatan Cukai yang mencapai Rp221,8 triliun," ungkap dia.

Yang lebih ironis, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), yang secara khusus ditargetkan pada orang kaya, hanya menyumbang Rp24,89 triliun atau sekitar 1 persen dari seluruh penerimaan pajak.

Padahal, menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) kontribusi pajak dari penghasilan pribadi di Indonesia hanya sekitar 13 persen, jauh di bawah rata-rata negara OECD yang mencapai 24 persen.

Namun, alih-alih menggali lebih dalam potensi pajak dari kelas atas, dia mengatakan pemerintah justru malah memberikan berbagai insentif fiskal yang lebih banyak dinikmati oleh kelompok kaya. Seperti insentif Pembelian Barang Mewah, PPN pembelian rumah yang ditanggung pemerintah (DTP), dan perpanjangan Tax Holiday menjadi contoh nyata.

Selain itu, penurunan tarif PPh Final dari 15 persen menjadi 10 persen juga lebih menguntungkan kelas pemodal, karena PPh Final ini menargetkan pendapatan dari bunga deposito, obligasi, hingga transaksi saham, semua instrumen keuangan kebanyak hanya dimiliki oleh kelompok atas.

"Begitu pula dengan penurunan pajak PPh Final dari 15 persen menjadi 10 persen, mayoritas nilainya dari kelas pemodal," kata dia.

Kondisi ini sangat kontras dengan kebijakan lain yang justru membebani kelas menengah dan bawah, seperti kenaikan PPN, kewajiban asuransi, pajak Tunjangan Hari Raya (THR), dan Tapera.

"Jadi sangat aneh ketika begitu banyak rencana kebijakan yang relatif paling membebani kelas menengah dan bawah. Ketika begitu banyak keringanan diberikan kepada kelas teratas. Kebijakan seperti ini yang seharusnya dibalik," pungkas dia.

Pajak Minimum Global 15 Persen

Indonesia akan mulai menerapkan prinsip pajak minimum global (global minimum tax/GMT) pada tahun 2025, dengan tarif yang ditetapkan sebesar 15 persen.

Kebijakan ini diusulkan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan bertujuan untuk memastikan bahwa semua hak pemajakan dari perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia dapat diterima oleh negara tersebut.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu menjelaskan bahwa penerapan GMT bertujuan untuk mencegah negara asal investor mengambil alih hak pemajakan yang seharusnya diperoleh Indonesia.

“Jika hak pemajakan ini tidak kita ambil, maka negara asal investor yang akan mengambilnya. Kami tidak ingin hal itu terjadi,” ujar Febrio kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2024.

Berdasarkan penjelasan Febrio, kesepakatan ini diambil oleh banyak negara untuk mencegah insentif pajak yang diberikan mengakibatkan hilangnya hak atas pajak penghasilan dari suatu perusahaan.

“Semua negara memahami pentingnya hal ini, sehingga mulai 2024 dan mayoritas di 2025, mereka akan mengimplementasikan pajak minimum, termasuk Indonesia,” tuturnya.

Di saat yang bersamaan, pemerintah juga merencanakan perubahan dalam kebijakan insentif fiskal, khususnya mengenai tax holiday atau pembebasan pajak penghasilan bagi perusahaan yang berinvestasi. Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan menghilangkan sepenuhnya pemberian tax holiday, melainkan akan diperpanjang dengan ketentuan yang ada.

“Dengan Menteri Investasi, kami memastikan tidak ada disrupsi. Kami akan memperpanjang sesuai dengan ketentuan yang ada, jadi tidak akan ada gangguan,” kata Febrio.

Ia menjelaskan bahwa tax holiday yang diberikan tidak akan sepenuhnya membebaskan pengenaan pajak penghasilan (PPh) sebesar 22 persen, karena ada kewajiban GMT sebesar 15 persen. Oleh karena itu, maksimum pengurangan tax holiday yang dapat diberikan adalah 7 persen.

“Semua negara juga akan menyesuaikan tax holiday mereka seiring dengan penerapan pajak minimum 15 persen. Untuk Indonesia, jika tarif PPh Badan adalah 22 persen, maka tax holiday maksimal adalah 15 persen, sehingga kita bisa memberikan pengurangan hingga 7 persen,” tegasnya.

Sebagai tambahan, negara-negara G20 dan OECD telah sepakat menerapkan prinsip pajak minimum global untuk mengatasi praktik perpajakan agresif dan pengalihan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah.

Terdapat dua mekanisme dalam pajak minimum global, yaitu tingkat pajak minimum dan pajak tambahan (top-up tax).

Tingkat pajak minimum telah disetujui dalam Pilar Dua OECD untuk mencegah perusahaan multinasional menghindari kewajiban pajak. Sementara itu, top-up tax akan dikenakan jika perusahaan membayar pajak di negara dengan tarif di bawah tingkat minimum yang telah disepakati.

Tarif pajak minimum global yang disepakati adalah 15 persen, dan aturan ini akan berlaku untuk perusahaan multinasional (MNE) yang memiliki penghasilan lebih dari 750 juta euro atau setara dengan Rp12,7 triliun dalam satu tahun fiskal. (*)