KABARBURSA.COM - Direktur Riset di Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyoroti keputusan pemerintah yang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tengah kondisi ekonomi yang sedang tak menentu.
Menurutnya, ini menunjukkan keberanian pemerintah untuk menambah beban pajak pada kelas menengah dan bawah, namun ketidakberanian yang sama tidak ditunjukkan terhadap kelas atas.
"(pemerintah) pada dasarnya sangat berani untuk menambah beban pajak kepada kelas menengah dan bawah namun tak bernyali untuk memajaki kelas atas," terang dia kepada Kabarbursa.com, Senin 7 Oktober 2024.
Dia mengatakan PPN ini memang secara sekilas terlihat proporsional, terutama jika dibandingkan dengan pengeluaran tiap orang. Namun jika dibandingkan dengan pendapatan, PPN ini jauh bersifat regresif atau jauh lebih berat bebannya terhadap masyarakat kelas bawah dan menengah.
Bagi masyarakat yang hidupnya pas-pasan, kenaikan PPN menjadi pukulan telak. Dengan persentase 12 persen, mereka tidak hanya akan mengurangi konsumsi tetapi juga tabungan yang makin tergerus.
"Beban PPN bagi kelas atas, hampir tidak ada rasanya jika dibandingkan dengan pendapatan mereka," ujar dia.
Padahal, selama ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) terutama didorong oleh konsumsi. Andri menunjukkan bahwa tabungan masyarakat kelas bawah dan menengah sudah menurun drastis sejak tahun lalu.
Merujuk pada data Mandiri Institute kemarin, indeks tabungan kelas menengah turun di kisaran 100 di awal 2023 menjadi level j94,8 per Juli 2024.
Mandiri Institute kemarin, indeks tabungan kelas menengah turun dari kisaran 100 di awal 2023 menjadi 94,8 pada Juli 2024. Sedangkan kondisi kelas atas naik dari kisaran 90 di awal 2023 menjadi 106,2 di Juli 2024.
"Di kelas bawah, kondisinya jauh lebih parah, dari kisaran 90 di awal 2023 menjadi 47,9 di Juli 2024," ungkap dia.
Andri pun mempertanyakan keberanian pemerintah yang lebih memilih menaikkan PPN daripada memberlakukan pajak pada kelas atas.
Pasalnya, jika pemerintah berani memungut pajak sebesar 1 persen saja dari 50 orang terkaya di Indonesia, hasilnya akan mencapai Rp40,78 triliun. Itu lebih besar dari seluruh pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun 2023 yang hanya Rp33,27 triliun
"Dengan kondisi seperti ini, pemerintah masih lebih berani untuk menaikkan PPN dibandingkan mencoba mencari pajak dari kelas teratas yang jika memungut 1 persen saja harta dari 50 orang terkaya Indonesia," tutur dia.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang disahkan dalam Rapat Paripurna pekan lalu, 19 September 2024, masih menggunakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tahun depan seharusnya menjadi PPN 12 persen.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Wahyu Utomo, menjelaskan alasan mengapa PPN 12 persen belum diterapkan dalam perhitungan APBN 2025. Ia mengatakan, pemerintah sebenarnya menjalankan mandat UU tersebut, tetapi tetap perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat sebelum menerapkan kebijakan kenaikan PPN.
“PPN menjadi 12 persen memang sudah diatur dalam UU HPP. Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah juga harus mempertimbangkan kondisi masyarakat, termasuk daya beli dan situasi ekonomi,” ujarnya saat Media Gathering APBN 2025, Rabu, 25 September 2024.
Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, sebelumnya mengonfirmasi bahwa target penerimaan pajak tahun 2025 belum mencakup PPN 12 persen. Menurutnya, baik pemerintah maupun DPR belum sepakat untuk menaikkan PPN sebesar 1 persen pada tahun depan.
“Rp2.490 triliun pendapatan negara (dari pajak dan bea cukai), di antaranya belum termasuk PPN 12 persen,” ujar Said usai Rapat Paripurna, Kamis, 19 September 2024.
Said menerangkan wacana pembahasan kenaikan PPN ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menaikkan penerimaan negara. “Asumsinya bukan pakai 11 atau 12 persen. Bahwa ada best effort yang harus dilakukan pemerintah, dalam hal ini penerimaan pajak sebesar Rp2.490 triliun. Kemudian dari cukai masuk dan bea keluar sekitar Rp300 triliun something, Rp2.190 triliun. Itu dari pajak,” katanya.
Keputusan perihal kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 kini berada di tangan pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto. Hal ini ditegaskan oleh Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono, yang menyebutkan keputusan tersebut akan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan yang akan datang.
“Kenaikan PPN ini biarlah Pak Prabowo menjadi presiden terlebih dahulu. Nanti setelah kabinet terbentuk, baru ada penjelasan lebih lanjut,” kata Thomas dalam acara yang sama.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, juga pernah menyampaikan kenaikan PPN yang direncanakan untuk tahun depan merupakan tanggung jawab pemerintahan baru. Nantinya, keputusan ini akan dibahas bersama DPR, khususnya Komisi XI.
“Keputusan mengenai PPN 12 persen saya serahkan kepada pemerintahan baru,” kata Sri Mulyani.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.