KABARBURSA.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) rendah sulfur dapat menekan emisi demi menjaga kualitas udara yang lebih baik.
ESDM menyatakan BBM rendah sulfur saat ini adalah sebuah kebutuhan di tengah buruknya kualitas udara. “Salah satu penyebabnya adalah BBM dengan kandungan sulfur tinggi," kata Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi, dalam keterangannya, Jumat, 4 Oktober 2024.
Ia menyebut sektor transportasi sebagai kunci dalam menurunkan emisi. Berbagai langkah telah dilakukan pemerintah guna mengurangi dampak buruk perubahan iklim dan mencegah situasi semakin memburuk.
Langkah ini merupakan wujud komitmen pemerintah dalam mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060.
"Mengingat BBM dengan sulfur tinggi menjadi salah satu kontributor emisi, menggantinya dengan BBM rendah sulfur menjadi suatu keharusan agar kualitas udara tidak semakin memburuk," ujar Agus.
Agus menambahkan, pemerintah telah menyiapkan peta jalan atau roadmap untuk pelaksanaan pendistribusian BBM rendah sulfur, yang akan menjadi panduan dalam pelaksanaannya. "Roadmap pemanfaatan BBM rendah sulfur sudah tersedia, dan pelaksanaannya akan mengikuti roadmap tersebut," katanya.
Indonesia juga berkomitmen mengurangi emisi sebagai bagian dari upaya menjaga kenaikan suhu global, dengan menaikkan target pengurangan emisi karbon dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) menjadi 32 persen atau setara 912 juta ton CO2 pada 2030, dari target sebelumnya sebesar 29 persen atau setara 835 juta ton CO2.
Penggunaan BBM rendah sulfur menjadi salah satu langkah pemerintah dalam mengurangi emisi yang memicu kenaikan suhu global.
Berdasarkan peta jalan yang ada, distribusi BBM rendah sulfur jenis minyak solar akan dimulai dari Jakarta, Cikampek, dan Balongan, sebelum dilanjutkan ke Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Maluku.
Sementara itu, pendistribusian bensin rendah sulfur tahap awal akan dimulai di wilayah Sumatera bagian utara, dilanjutkan ke Sumatera bagian selatan, Banten, dan Jawa Tengah bagian utara, sebelum menyasar Kalimantan Barat.
Upaya untuk menekan emisi dan menjaga kualitas udara tak hanya dilakukan melalui penggunaan BBM rendah sulfur, tetapi juga dengan inovasi teknologi yang lebih canggih. Salah satu terobosan yang kini mulai dipersiapkan adalah teknologi penangkapan, transportasi, dan penyimpanan karbon. Langkah ini diambil oleh berbagai sektor, termasuk industri energi, sebagai komitmen menuju net zero emission pada 2060.
Sejalan dengan upaya tersebut, PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) telah menyatakan kesiapannya dalam mengimplementasikan teknologi tersebut sebagai bagian dari kontribusi mereka dalam menurunkan emisi karbon di Indonesia.
Keseriusan ini semakin nyata setelah PHE ONWJ menandatangani Perjanjian Studi Bersama (Joint Study Agreement/JSA) dengan Posco International di sela-sela Forum Keberlanjutan Internasional Indonesia (ISF) 2024.
“Penandatanganan JSA ini diharapkan memperkuat langkah PT Pertamina (Persero) dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus mencapai target emisi nol bersih,” ujar General Manager PHE ONWJ, Muzwir Wiratama, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, 11 September 2024.
Cakupan dari JSA ini mencakup studi yang akan dilakukan oleh Posco International guna mengidentifikasi lokasi penyimpanan CO2 di area lepas pantai ONWJ. Lokasi penyimpanan ini terletak di saline aquifer atau lapisan yang mengandung air asin, dengan potensi pengembangan ke area reservoir yang telah berhenti beroperasi.
Pemilihan wilayah kerja PHE ONWJ sebagai lokasi penyimpanan karbon didasarkan pada kedekatan geografisnya dengan fasilitas Posco International di Cilegon, Banten.
Dalam periode JSA yang berlangsung selama dua tahun, dijabarkan rencana transportasi CO2 dari sumber emisi ke lokasi penyimpanan menggunakan berbagai metode. Studi juga melibatkan teknologi penangkapan karbon yang relevan dan kebutuhan infrastruktur pendukung lainnya.
Selain PHE ONWJ, perjanjian ini juga melibatkan Pertamina Hulu Energi (PHE), PT Pertamina International Shipping (PIS), PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN), dan PT Pertamina Power Indonesia (PPI).
Merujuk pada laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB pada 2021, saat ini bumi mengalami suhu terpanas sepanjang sejarah. Kondisi iniberdampak buruk pada keseimbangan ekologis di berbagai wilayah. Seba itu, diperlukan langkah global bersama untuk menekan emisi gas rumah kaca serta beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Sebagai komitmen, PT Pertamina (Persero) secara konsisten menerapkan strategi pertumbuhan ganda. Di satu sisi, perusahaan tetap mendukung ketahanan energi nasional, sementara di sisi lain, perseroan juga bertanggung jawab mengembangkan energi baru dan terbarukan yang rendah emisi karbon.
Regional Jawa Subholding Upstream Pertamina, anak usaha PT Pertamina Hulu Energi, mengelola operasional di wilayah kerja minyak dan gas, termasuk PHE ONWJ, PHE OSES, dan Pertamina EP Jawa Barat, dengan cakupan wilayah Provinsi DKI Jakarta, Banten, Lampung, Bangka Belitung, serta Jawa Barat.
Pemerintah Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 912 juta ton CO2, atau sekitar 32 persen, pada tahun 2030 melalui Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC). Dalam sektor energi, pemerintah menetapkan pengurangan emisi hingga 358 juta ton CO2 pada tahun yang sama.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, menjelaskan sejumlah strategi pemerintah untuk mencapai target tersebut. Salah satu langkahnya adalah melalui perdagangan karbon di sektor ESDM, yang telah dimulai sejak awal tahun ini.
“Indonesia sudah membentuk pasar perdagangan karbon, regulasinya sudah rampung, transaksi sudah berjalan,” ujarnya dalam acara Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024 di Jakarta, Jumat, 15 Desember 2023 lalu.
Selain itu, Dadan mengatakan pemerintah tengah menyelesaikan Peraturan Presiden terkait teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization Storage (CCUS). Saat ini, terdapat 15 proyek CCS/CCUS yang sedang dalam tahap persiapan, dengan delapan di antaranya ditargetkan beroperasi sebelum 2030. Indonesia dinilai memimpin di Asia Tenggara dalam pengelolaan karbon di industri minyak dan gas, dengan potensi kapasitas penyimpanan CO2 mencapai 570 gigaton di 20 cekungan migas.
“ESDM akan memimpin di tingkat ASEAN dalam teknologi CCS untuk sektor migas karena kita memiliki potensi dan regulasi yang mendukung,” kata Dadan.
Pemerintah juga telah memulai hilirisasi blue ammonia, sebagai bagian dari transisi energi menuju emisi rendah. Uji coba pemanfaatan ammonia sebagai cofiring di PLTU sudah dilakukan, dan produksi hidrogen juga telah dimulai di PLTGU Muara Karang.
Dadan menekankan pemerintah juga memantau perkembangan hilirisasi mineral, khususnya dalam menyelesaikan pembangunan smelter yang merupakan kunci dalam penyimpanan energi. Pemerintah juga mendorong pertumbuhan kendaraan listrik melalui insentif, termasuk pengurangan PPN 10 persen untuk mobil listrik dan subsidi Rp10 juta untuk konversi sepeda motor listrik.(*)