Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Istana Akui Indonesia Alami Deindustrialisasi Dini

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 05 October 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Istana Akui Indonesia Alami Deindustrialisasi Dini

KABARBURSA.COM - Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Bidang Perekonomian, Edy Priyono, mengungkapkan gejala deindustrialisasi dini di Indonesia memang nyata terjadi. Salah satu penyebabnya, menurut Edy, adalah masalah pada sektor produksi pangan, khususnya beras.

"Kita punya masalah dalam produksi pangan dan khususnya beras. Ini yang sering disampaikan oleh para akademisi, teman-teman dari pengamat, kritikus, dan sebagainya. Dan memang ada, yaitu gejala deindustrialisasi dini,," ujar Edy dalam Seminar Nasional Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi, di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024.

Edy menjelaskan, deindustrialisasi biasanya merupakan bagian dari transformasi ekonomi, di mana dominasi sektor pertanian beralih ke industri dan akhirnya dikuasai oleh sektor jasa. Namun, di Indonesia, peran sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menurun lebih cepat dari yang seharusnya.

Edy menjelaskan deindustrialisasi dini biasanya merupakan bagian dari transformasi ekonomi yang terjadi secara alami. Proses ini umumnya dimulai dengan dominasi sektor pertanian, lalu beralih ke sektor industri, dan akhirnya didominasi oleh sektor jasa. Namun, menurut Edy, di Indonesia, proses tersebut tidak berjalan sesuai pola yang ideal, karena yang terjadi bukanlah peningkatan sektor jasa, melainkan penurunan sektor industri.

"Biasanya dominasi sektor jasa itu terjadi karena share sektor jasa itu makin naik. Kalau di kita enggak gitu kan, Industri nya ini turun," ujarnya.

Di Indonesia, peran sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan sebelum mencapai tingkat optimal yang seharusnya. Edy menegaskan bahwa deindustrialisasi sebenarnya merupakan proses yang wajar dalam perekonomian yang semakin maju, di mana peran sektor jasa semakin besar.

"Deindustrialisasi itu kan proses yang alamiah. Karena pada akhirnya perekonomian yang semakin maju itu makin besar peranan dari sektor jasa," katanya.

Namun, di Indonesia, deindustrialisasi terjadi lebih cepat dari yang seharusnya. Industri kehilangan daya saing sebelum mencapai potensi maksimalnya, sementara sektor jasa yang berkembang tidak sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Nah di kita, deindustrialisasi nya terlalu dini. Sebelum mencapai level major, industri kita sudah tidak kompetitif lagi. Sementara sektor jasa yang berkembang itu jasa-jasa yang kalau boleh dikatakan tidak menjamin kesejahteraan. Nah ini juga menjadi tantangan tersendiri," ungkap dia.

Deindustrialisasi dan Masalah Pasar Kerja

Edy juga menyoroti dampak deindustrialisasi terhadap kondisi pasar kerja. Indeks Manufaktur Indonesia (PMI) yang berada di zona kontraktif di bawah 50 menjadi sinyal adanya masalah serius di sektor industri.

Meski sebelumnya disebutkan bahwa lapangan kerja yang tercipta setiap tahun hanya sekitar 2 juta, ia menjelaskan bahwa angka tersebut tidak sepenuhnya akurat, mengingat setiap tahun terdapat rata-rata 2,5 juta angkatan kerja baru yang mencari pekerjaan.

"Apalagi PMI manufaktur kita belakangan berada di zona kontraktif di bawah 50. Jadi kita punya masalah dengan sektor industri. Dan ini juga terkait dengan apa yang terjadi di pasar kerja," ujar dia.

Dia menjelaskan masalah pasar kerja di Indonesia tidak hanya atau tidak selalu tercermin dalam angka pengangguran saja, meskipun angka pengangguran saat ini terlihat baik-baik saja.

"Masalah di Indonesia itu tidak hanya atau tidak selalu tercermin di dalam angka pengangguran. Karena kalau angka pengangguran kita baik-baik saja," ungkapnya.

Dia menekankan masalah lebih terlihat pada dominasi sektor informal, di mana sekitar 60 persen pekerja di Indonesia bekerja di sektor tersebut dengan penghasilan yang sangat terbatas.  "Memang ada ada pekerja informal yang sejahtera? ya ada. Tapi kebanyakan yang penghasilannya terbatas, rata-rata ya," terangnya.

Dia menjelaskan pekerja informal mencakup orang-orang yang berusaha sendiri, mereka yang dibantu oleh buruh tidak tetap, pekerja lepasan, serta pekerja keluarga yang tidak dibayar. Dia mengungkapkan proporsi 60 persen pekerja informal dengan rata-rata penghasilan hanya sekitar 1,7 juta per bulan menjadi masalah yang signifikan.

"60 persen dari pekerja kita adalah pekerja informal dengan rata-rata penghasilan hanya sekitar 1,7 juta per bulan. Dan ini memang masalah. ini juga penting," katanya.

Gagal Pertahankan Pertumbuhan Industri

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia menghadapi fenomena yang disebut dengan deindustrialisasi dini. Fenomena ini terjadi ketika kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB terus menurun, bahkan sebelum negara tersebut berhasil mencapai status berpenghasilan tinggi. Menurut catatan Direktur Program Indef, Eisha Maghfiruha Rachbini, Indonesia sebenarnya pernah menikmati masa keemasan industrialisasi pada era Orde Baru, namun tren tersebut tak bertahan lama.

“Era 1989-1996 sebagai pelajaran, terlihat bahwa pertumbuhan industri manufaktur terus meningkat. Pada 1989 dari 19 persen terus meningkat menjadi 25 persen, industri manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu,” kata Eisha dalam dokumen catatan hasil diskusi publik di Universitas Paramadina bertema “Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo, Mustahil Tumbuh 8 Persen Tanpa Industrialisasi”, dikutip Selasa, 24 September 2024.

Eisha menjelaskan pada 2023, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB hanya sebesar 18 persen, angka yang jauh lebih rendah dibandingkan capaian pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebutnya sebagai “tanda bahaya” bagi ekonomi Indonesia yang seharusnya masih mengandalkan pertumbuhan industri untuk mencapai target pembangunan ekonomi jangka panjang.

“Ini adalah gejala deindustrialisasi dini,” jelas Eisha. Negara-negara maju, dia melanjutkan, biasanya mengalami pergeseran dari industri manufaktur ke sektor jasa setelah mencapai tingkat penghasilan per kapita yang tinggi. Namun, di Indonesia, pergeseran tersebut terjadi lebih cepat, meskipun negara belum mencapai penghasilan per kapita setara dengan negara-negara maju.

Eisha juga menyoroti pertumbuhan sektor jasa di Indonesia masih didominasi oleh sektor informal, yang umumnya memiliki produktivitas dan stabilitas rendah. “Sektor jasa yang berkembang di Indonesia belum memberi nilai tambah tinggi, seperti layanan teknologi atau jasa keuangan yang bisa memperkuat perekonomian nasional,” katanya.(*)