Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

KSP: Indonesia Sudah Alami Deindustrialisasi Sejak 24 Tahun yang Lalu

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 03 October 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
KSP: Indonesia Sudah Alami Deindustrialisasi Sejak 24 Tahun yang Lalu

KABARBURSA.COM - Deputi III Bidang Perekonomian Kantor Staf Presiden (KSP), Edy Priyono, mengungkapkan Indonesia telah lama menghadapi deindustrialisasi dini. Menurutnya, sektor manufaktur Tanah Air sudah kehilangan daya saing sebelum mencapai puncak potensinya. Hal ini disampaikan Edy dalam Seminar Nasional Indef bertajuk “Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi” yang digelar di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024. Edy hadir sebagai perwakilan Kepala Staf Presiden, Moeldoko.

Edy menekankan tantangan besar yang dihadapi ekonomi Indonesia, terutama mengenai sektor manufaktur yang mengalami stagnasi. Ia mengungkapkan deindustrialisasi dini sudah mulai sejak 2001. Hampir 24 tahun, Indonesia berjuang melawan penurunan kontribusi sektor manufaktur, yang dalam satu dekade terakhir selalu tumbuh lebih lambat dibanding ekonomi secara keseluruhan.

Sayangnya, perlambatan sektor manufaktur ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan signifikan di sektor lain, seperti jasa, sehingga Indonesia terjebak dalam deindustrialisasi dini. "Yang dipersoalkan bukan deindustrialisasinya karena kalau ekonomi semakin maju itu makin besar peranan dari sektor jasa. Nah, di kita, deindustrialisasi terlalu dini, sebelum mencapai level mature industri kita sudah tidak kompetitif lagi," kata Edy.

Secara alami, transformasi ekonomi biasanya terjadi dari sektor pertanian ke industri, dan kemudian beralih ke sektor jasa. Negara-negara maju pun melalui proses ini. Namun, meski sektor jasa berkembang, peran industri manufaktur tetap kuat di negara maju.

Di Indonesia, sebaliknya, kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) justru terus menurun karena kinerja industri yang tidak stabil. Bahkan, Edy menyoroti data Purchasing Managers' Index atau PMI manufaktur yang dalam tiga bulan terakhir berada di zona kontraksi, dengan angka terakhir September 2024 di 49,2. ‘Sektor jasa yang berkembang itu jasa-jasa yang, kalau boleh dikatakan, tidak menjamin kesejahteraan. Ini juga menjadi tantangan tersendiri," kata Edy.

Gagal Pertahankan Pertumbuhan Industri

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia menghadapi fenomena yang disebut dengan deindustrialisasi dini. Fenomena ini terjadi ketika kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB terus menurun, bahkan sebelum negara tersebut berhasil mencapai status berpenghasilan tinggi. Menurut catatan Direktur Program Indef, Eisha Maghfiruha Rachbini, Indonesia sebenarnya pernah menikmati masa keemasan industrialisasi pada era Orde Baru, namun tren tersebut tak bertahan lama.

“Era 1989-1996 sebagai pelajaran, terlihat bahwa pertumbuhan industri manufaktur terus meningkat. Pada 1989 dari 19 persen terus meningkat menjadi 25 persen, industri manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu,” kata Eisha dalam dokumen catatan hasil diskusi publik di Universitas Paramadina bertema “Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo, Mustahil Tumbuh 8 Persen Tanpa Industrialisasi”, dikutip Selasa, 24 September 2024.

Eisha menjelaskan pada 2023, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB hanya sebesar 18 persen, angka yang jauh lebih rendah dibandingkan capaian pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebutnya sebagai “tanda bahaya” bagi ekonomi Indonesia yang seharusnya masih mengandalkan pertumbuhan industri untuk mencapai target pembangunan ekonomi jangka panjang.

“Ini adalah gejala deindustrialisasi dini,” jelas Eisha. Negara-negara maju, dia melanjutkan, biasanya mengalami pergeseran dari industri manufaktur ke sektor jasa setelah mencapai tingkat penghasilan per kapita yang tinggi. Namun, di Indonesia, pergeseran tersebut terjadi lebih cepat, meskipun negara belum mencapai penghasilan per kapita setara dengan negara-negara maju.

Eisha juga menyoroti pertumbuhan sektor jasa di Indonesia masih didominasi oleh sektor informal, yang umumnya memiliki produktivitas dan stabilitas rendah. “Sektor jasa yang berkembang di Indonesia belum memberi nilai tambah tinggi, seperti layanan teknologi atau jasa keuangan yang bisa memperkuat perekonomian nasional,” katanya.

Tantangan Menuju Hilirisasi yang Optimal

Salah satu upaya yang diandalkan pemerintah untuk memperbaiki situasi ini adalah hilirisasi. Hilirisasi diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri, khususnya di sektor komoditas. Namun, Eisha memaparkan hilirisasi masih menghadapi banyak tantangan di Indonesia. Produk manufaktur yang dihasilkan masih banyak yang berbasis komoditas dengan tingkat kompleksitas rendah.

“Ekspor kita didominasi oleh produk-produk berkompleksitas rendah seperti kelapa sawit dan batubara. Sementara produk-produk dengan kompleksitas tinggi, seperti elektronik atau produk teknologi menengah, masih sangat rendah penggunaannya,” katanya.

Data menunjukkan penggunaan teknologi manufaktur berteknologi menengah di Indonesia hanya mencapai 37,32 persen, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam.

Eisha menegaskan untuk mencapai pertumbuhan industri yang optimal, pemerintah harus fokus pada peningkatan produktivitas industri serta inovasi teknologi. Selain itu, masalah tenaga kerja dan infrastruktur industri juga harus segera diatasi. “Produktivitas industri manufaktur kita masih rendah, baik dari segi tenaga kerja maupun kapasitas sumber daya manusia. Ini menjadi tantangan besar untuk mencapai target industrialisasi yang kita inginkan,” katanya.

Tingkat Produktivitas Masih Rendah

Produktivitas tenaga kerja di sektor manufaktur menjadi salah satu sorotan penting dalam catatan Eisha. Dia menyebutkan produktivitas tenaga kerja Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand, China, dan Jepang. Ini menunjukkan sektor industri di Indonesia masih menghadapi masalah mendasar dalam hal efisiensi dan kemampuan tenaga kerja.

“Produktivitas tenaga kerja Indonesia masih rendah, bahkan lebih rendah dari Thailand,” kata Eisha. Menurutnya, ini disebabkan oleh kurangnya tenaga kerja terampil serta minimnya adopsi teknologi dalam proses produksi.

Di samping itu, Eisha juga menyinggung masalah daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar global. “Ekspor manufaktur Indonesia terhadap total ekspor masih jauh di bawah negara-negara seperti Vietnam dan Malaysia. Ini menunjukkan kita masih bergantung pada komoditas dan belum mampu meningkatkan kompleksitas produk kita,” katanya.(*)