KABARBURSA.COM - Target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen yang ditetapkan di awal pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) gagal dicapai. Istana Kepresidenan memberi klarifikasi.
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Bidang Perekonomian Edy Priyono mengatakan, terlepas dari target tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tetap menunjukkan performa yang baik, kecuali selama masa pandemi COVID-19.
“Orang mengkritik pemerintah tidak mencapai target, 7 persen. Pak Jokowi kan memang seperti itu, selalu pasang target tinggi,” kata Edy Priyono dalam Seminar Nasional ‘1 Dekade Pemerintahan Jokowi’ di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024.
Di awal periode pertamanya, 2014, Jokowi menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7 persen.
Kini, di akhir masa jabatan periode kedua atau 10 tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5 persen.
Pada 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,79 persen turun, turun dari 5,02 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Di rentang waktu 2016-2018, perekonomian Indonesia sempat mengalami peningkatan sedikit, yaitu 5,03 persen (2016), dan kembali meningkat di tahun 2017 menjadi 5,07 persen. Setahun kemudian, naik (2018) kembali menjadi 5,17 persen.
Di tahun 2019, berbarengan dengan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan menjadi 5,02 persen.
Di periode kedua, tepatnya tahun 2020, seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia, dihantam pandemi COVID-19, sehingga berdampak pada perekonomian Indonesia. Saat itu, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi -2,07 persen.
Setahun kemudian, 2021, perekonomian Indonesia naik ke angka 3,9 persen. Dan, di tahun 2022 tumbuh hingga 5,31 persen.
Pada 2023, perekonomian Indonesia kembali mengalami kemunduran, anjlok ke angka 5,05 persen.
Di tahun terakhir pemerintahannya, 2024, Jokowi memasang target di kisaran 5,1-5,2 persen, di bawah pertumbuhan tahun 2022.
Jadi, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kepemimpinan Jokowi hanya mencapai 4,23 persen, jauh dari target yang diawal Jokowi berkuasa, yakni 7 persen.
Menanggapi itu, Edy mengatakan, dengan menargetkan angka tinggi, seperti 7 persen, maka diharapkan dapat memacu semangat kerja dan kinerja ekonomi agar lebih optimal. Karena, jika ditargetkan hanya 5 persen, kemungkinan yang tercapai 3 persen saja.
“Pak Jokowi selalu set target tinggi. Karena beliau, mungkin merasa kita semuanya terlalu santai. Jadi, kalau ditargetkan 5 persen, mungkin 3 persen yang tercapai. Dengan begitu beliau pasang target 7 persen,” tuturnya.
Sementara, jika berpegangan pada janji kampanye Presiden-Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, Edy menduga menerapkan strategi seperti Jokowi.
“Mungkin saja beliau (Prabowo Subianto) juga berpikir seperti pak Jokowi. Tapi saya enggak tahu ya,” ujarnya berseloroh.
Kendati demikian, Edy menyatakan, jika berdasarkan capaiann target 7 persen, pertumbuhan ekonomi RI masih terbilang rendah. Namun, jika dilihat dari pencapaian nyata, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5 persen saat ini terbilang memuaskan dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia yang mengalami kesulitan ekonomi.
“Tapi kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain dalam situasi yang sulit dan sebagainya, pertumbuhan ekonomi kita oke kok. Sekitar 5 persen, lebih-lebih sedikit itu oke,” pungkasnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (Asprindo) Jose Rizal menilai selama satu dekade kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi), pemerintah terkesan mengabaikan pengusaha pribumi.
Menurut dia, pemerintahan Jokowi lebih berpihak pada pengusaha besar dan membiarkan pengusaha pribumi berharap pada ketidakpastian.
“Artinya, dalam kurun waktu satu dekade terakhir, pengusaha lokal seolah-olah hanya menjadi penonton dalam pertumbuhan ekonomi yang dikendalikan oleh kelompok elit,” kata Jose Rizal dalam acara Seminar Nasional bertema ‘Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi’ di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024.
“Kami dari Asprindo tidak merasakan adanya keberpihakan pada pengusaha pribumi selama pemerintahan Jokowi. Pemerintah hanya berpihak pada pengusaha besar,” sambungnya.
Dia pun berharap, pemerintah ke depan di bawah kendali Presiden terpilih, Prabowo Subianto, diberi tempat dan peran yang lebih signifikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
“Dalam pemerintahan Prabowo kelak, pengusaha pribumi harus menjadi pelaku ekonomi yang dipertimbangkan dan diperhatikan oleh pemerintah,” ujar Jose.
Jose pun menegaskan bahwa Asprindo siap untuk mendukung program-program ekonomi Prabowo, salah satunya program Makan Bergizi Gratis yang menurutnya bisa diintegrasikan dengan inisiatif Kampung Industri Asprindo.
“Jika diberi kesempatan, kami siap berpartisipasi untuk menyiapkan kebutuhan program Makan Bergizi Gratis. Yang penting pemerintah membuka peluang bagi UMKM, membuka pintu pada pengusaha kecil, bukannya hanya membuka peluang bagi pengusaha yang sudah berskala raksasa,” tuturnya.
Di acara yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti berpendapat, telah banyak capaian yang dicapai pemerintahan Jokowi. Namun, tegasnya, masih banyak hal yang perlu dibenahi.
“Seperti kita lihat, pertumbuhan ekonomi 5 persen, nyatanya tidak bisa bisa mendorong Indonesia keluar dari perangkap negara berpendapat menengah (middle income trap),” kata Esther.
Masalah lainnya selama pemerintahan Jokowi adalah terjadinya ketimpangan, bahkan cenderung melebar.
Kata dia, modal dan kekayaan masih terkonsentrasi pada beberapa kelompok orang saja. Jose pun menyinggung dana investasi yang masuk ke Indonesia tidak dapat mendorong terciptanya lapangan pekerjaan.
“Semua itu menimbulkan kekawatiran, dan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Indonesia harus keluar dari middle income trap,” ucap Esther. (*)