Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Terungkap, Penyebab Investor Asing Kabur dari Indonesia

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 03 October 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Terungkap, Penyebab Investor Asing Kabur dari Indonesia

KABARBURSA.COM - Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengungkapkan salah satu penyebab kaburnya investor asing dari Indonesia, yaitu abainya pemerintah dan DPR dalam menyikapi isu perubahan iklim.

Menurut penilaiannya, salah satu isu penting yang luput dari perhatian DPR periode 2019-2024 adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Iklim. Dia pun mengingatkan pada DPR periode 2024-2029 agar tidak mengabaikan kembali.

“Setelah kemarin dilantik, DPR terpilih tentunya telah memiliki gambaran apa yang akan mereka kerjakan selama lima tahun ke depan. Yang cukup terabaikan, padahal sebenarnya penting adalah mengenai RUU Perubahan Iklim,” kata Andri kepada Kabar Bursa, Kamis, 3 Oktober 2024.

Padahal, Andri menyebut, isu perubahan iklim kerap dibahas dalam forum investasi, bahkan menjadi topik debat capres/cawapres Pilpres kemarin.

“Isu perubahan iklim sering dibahas dalam forum investasi internasional, bahkan muncul di debat capres/cawapres kemarin. Tapi anehnya, di parlemen terkesan menutup mata dan telinga terhadap isu ini,” ujarnya.

Andri memaparkan, salah satu alasan biaya modal di Indonesia tetap tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya yaitu karena industri di Tanah Air tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi. Dampaknya, terasa langsung pada utang negara dan swasta yang membengkak, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang tersenda.

“Industri Indonesia secara struktural dianggap masih tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi ketika urgensi perubahan iklim semakin dirasakan,” ucap Andri.

Menurut dia, jika Indonesia tidak segera merubah regulasi terkait dengan keberlanjutan, maka aliran modal asing akan terus beralih ke negara-negara yang lebih progresif dalam menangani isu lingkungan. Dan, ini berpotensi membuat Indonesia semakin tertinggal.

“Ini harus dirombak secara nasional melalui reulasi UU karena sifatnya struktural, terutama dalam momentum pemerintahan baru agar perencanaan pembangunan ke depan tidak semakin bergerak ke belakang dalam isu keberlanjutan,” jelas Andri.

Kata Andri lagi, masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat sekarang ini, seperti mahalnya biaya listrik, ketergantungan pada BBM, serta ketergantungan pada industri tambang dan ekspor komoditas, semuanya berakar dari kebijakan pembangunan yang abai terhadap keberlanjutan.

“Ketergantungan terhadap industri pertambangan, perusakan lingkungan, dan strategi hilirisasi yang mengabaikan kesejahteraan kelas pekerja adalah bukti nyata kegagalan kebijakan kita,” tuturnya.

“Jadi, RUU Perubahan Iklim inilah yang menjadi salah satu wacana yang harus lebih diperhatikan dan dituntaskan,” pungkas Andri.

BBM Indonesia Terkotor se-ASEAN, Sumber Polusi Udara

Laporan dari Clean Air Asia tahun 2024 mengungkapkan bahwa kualitas bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).

Menurut data dalam laporan tersebut, BBM yang paling umum digunakan di Indonesia memiliki kandungan sulfur sebesar 500 ppm (EURO 2), yang jauh melebihi standar internasional yang hanya 50 ppm (EURO 4).

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Budi Haryanto mengatakan bahwa buruknya kualitas BBM di Indonesia berkontribusi pada penurunan kualitas udara, yang pada gilirannya berdampak langsung pada kesehatan masyarakat.

Ia menjelaskan bahwa polusi udara tidak hanya berasal dari BBM, tetapi juga dari berbagai sumber lainnya.

“Efek kesehatan yang dialami adalah hasil dari akumulasi polusi udara secara keseluruhan,” ujar Budi dalam keterangan yang dikutip pada Rabu, 2 Oktober 2024.

Lebih lanjut, Budi menambahkan bahwa polusi udara dari BBM berkadar sulfur tinggi menyumbang sekitar 43 persen dari total polutan di Jakarta. Dengan kata lain, perbaikan kualitas BBM dapat mengurangi polusi udara secara signifikan.

“Segera mengganti BBM berkualitas rendah yang masih di bawah standar EURO 2 (maksimal 500 ppm) dengan BBM yang lebih baik sesuai standar EURO 4 (maksimal 50 ppm) atau yang lebih tinggi, secara cepat dan menyeluruh,” tegasnya.

Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Dampak Polusi Udara Kementerian Kesehatan Agus Dwi Susanto menjelaskan bahwa gas hasil pembakaran BBM, seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida, dan partikel halus (PM2.5), merupakan zat iritan yang dapat menyebabkan penyakit pernapasan akut.

“Gejala dari iritasi tersebut dapat berlanjut dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA),” jelas Agus.

Ia juga menekankan bahwa polusi udara dari BBM berkadar sulfur tinggi berkontribusi secara signifikan terhadap meningkatnya jumlah kunjungan pasien di rumah sakit karena serangan asma dan penyakit paru kronis.

Oleh karena itu, Agus menekankan pentingnya regulasi pemerintah untuk mempercepat penyediaan BBM rendah sulfur, meningkatkan transportasi umum yang ramah lingkungan, serta menerapkan aturan ketat terkait emisi industri untuk mengurangi polusi.

“Beberapa langkah yang dapat dilakukan termasuk mengatur kendaraan yang beroperasi, beralih ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, dan menerapkan regulasi pemerintah untuk membatasi jumlah kendaraan di jalan,” pungkasnya. (*)