KABARBURSA.COM - Fenomena deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut di Indonesia kian menjadi perhatian para ekonom. Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Permana, mengatakan deflasi ini secara jelas mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat, terutama bagi kelas pekerja dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Dari survei penjualan eceran terakhir yang dirilis Bank Indonesia (BI), kinerja penjualan kembali terkontraksi 7,2 persen dari bulan sebelumnya," ujar Andri kepada KabarBursa.com, Rabu, 2 Oktober 2024.
Dia juga mengungkapkan penjualan kategori seperti Peralatan Informasi dan Komunikasi, Perlengkapan Rumah Tangga, dan Barang Budaya dan Rekreasi bahkan lebih buruk dari kondisi yang terjadi pada 2010.
Andri menambahkan, ekspektasi terhadap penjualan tiga hingga enam bulan ke depan menunjukkan semakin tingginya pesimisme. Jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaannya tahun ini pun diperkirakan lebih besar daripada data yang tercatat oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker).
Hingga Agustus 2024, BPJS Ketenagakerjaan mencatat klaim Jaminan Hari Tua (JHT) mencapai 2,07 juta kasus, dengan 29,93 persen di antaranya berasal dari pekerja yang di-PHK dan 57,91 persen dari pekerja yang mengundurkan diri.
"Jumlahnya sangat jauh dari 46.000 yang terdata di Kemnaker, dan masih banyak lagi mereka yang kehilangan pekerjaannya tanpa bisa klaim JHT ke BPJS Ketenagakerjaan," kata Andri.
Deflasi ini, menurut Andri, bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Selama pandemi COVID-19, Indonesia juga mengalami deflasi serupa. Namun yang berbeda, kali ini penurunan harga disebabkan oleh faktor struktural kebijakan. Tingginya suku bunga dan proses deindustrialisasi dini menjadi penyebab utama penurunan daya beli.
"Tenaga kerja terhimpun ke sektor informal dan jasa yang memiliki nilai tambah yang rendah (low value-adding services). Ini disebabkan lapangan kerja pada sektor sekunder sudah terlanjur meredup sebelum dapat menghasilkan lapangan kerja di sektor turunan yang memberikan nilai tambah yang tinggi," jelasnya.
Andri memandang pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto harus segera mengevaluasi kebijakan yang telah menyebabkan masalah struktural ini. "Pemerintahan Prabowo mau tidak mau harus mengevaluasi kembali kebijakan selama ini yang sudah menimbulkan masalah struktural yang saya sebutkan di atas," kata Andri.
Sepanjang lima bulan terakhir, deflasi yang terjadi di Indonesia terus berlanjut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan pada September 2024. Indeks Harga Konsumen (IHK) turun dari 106,06 pada Agustus menjadi 105,93 pada September.
"Deflasi ini lebih dalam dibandingkan bulan sebelumnya dan merupakan yang kelima berturut-turut sepanjang 2024," kata Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam keterangan resmi, Selasa, 1 Oktober 2024.
Menurut Amalia, deflasi beruntun terakhir kali terjadi pada tahun 1999, pasca krisis finansial Asia, yang berlangsung selama tujuh bulan. Pada periode tersebut, deflasi dipicu oleh penurunan harga barang-barang setelah lonjakan inflasi yang tinggi.
Selain itu, Indonesia juga pernah mengalami deflasi selama tiga bulan berturut-turut pada akhir 2008 hingga awal 2009 akibat penurunan harga minyak dunia. Peristiwa serupa terjadi saat pandemi COVID-19 pada 2020, ketika deflasi berlangsung dari Juli hingga September.
Dalam konteks saat ini, deflasi lima bulan berturut-turut menjadi yang terpanjang sejak 1999. Meski begitu, Amalia menekankan bahwa perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menilai hubungan antara deflasi dan daya beli masyarakat.
"Untuk mengaitkan fenomena ini dengan penurunan daya beli masyarakat, perlu ada penelitian lebih mendalam," ujar Amalia
Ia juga menjelaskan inflasi atau deflasi tidak sepenuhnya dapat dijadikan indikator daya beli masyarakat karena banyak faktor lain yang mempengaruhi. Menurutnya, mekanisme pembentukan harga di pasar sangat dipengaruhi oleh sisi penawaran.
"Harga yang diterima konsumen biasanya turun karena adanya peningkatan pasokan atau penurunan ongkos produksi, seperti yang terjadi akibat panen raya," katanya.
Namun, untuk menyimpulkan apakah deflasi saat ini mencerminkan daya beli masyarakat yang menurun, perlu kajian lebih mendalam. "Penurunan daya beli tidak bisa hanya dilihat dari inflasi. Ini harus dikaji lebih lanjut," kata Amalia.
Menurut Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, deflasi yang berulang selama lima bulan ini mencerminkan ketahanan pasokan domestik, khususnya di sektor pangan. Peningkatan produksi menjadi faktor utama yang mendorong turunnya harga berbagai komoditas.
Meski begitu, Andry mencatat deflasi ini masih bersifat sektoral, dengan penurunan harga paling signifikan di sektor makanan dan transportasi.
Ia memprediksi stabilitas harga energi global serta kebijakan subsidi bahan bakar domestik yang tidak mengalami perubahan signifikan akan menjaga inflasi tetap terkendali hingga akhir tahun. Namun, Andry mengingatkan adanya potensi peningkatan tekanan inflasi di penghujung tahun.
“Tekanan inflasi bisa meningkat menjelang akhir tahun karena adanya pemilihan kepala daerah serta faktor musiman, yang dapat mendorong peningkatan pengeluaran untuk barang dan jasa impor,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa, 1 Oktober 2024.
Andry juga mencatat sejumlah bank sentral telah menurunkan suku bunga sebagai bentuk dukungan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat. Langkah Federal Reserve (The Fed) yang baru-baru ini memangkas Fed Funds Rate (FFR) sebesar 50 basis poin, dan sinyal penurunan lebih lanjut, memberikan sentimen positif yang turut memperkuat nilai tukar rupiah.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga telah menurunkan suku bunga acuannya, didukung oleh meningkatnya kepercayaan pasar keuangan global serta stabilitas rupiah.
“Dengan adanya perkembangan ini, kami memperkirakan dampak dari imported inflation akan semakin berkurang. Secara keseluruhan, kami merevisi turun proyeksi inflasi domestik menjadi 2,57 persen [YoY] untuk tahun ini, lebih rendah dari perkiraan awal kami,” kata Andry.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.