Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Bukti Kegagalan Jokowi Membangun Sektor Industri

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 02 October 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Bukti Kegagalan Jokowi Membangun Sektor Industri

KABARBURSA.COM - Lembaga ekonomi Bright Institute merilis hasil studi terbaru yang mengungkap fenomena deindustrialisasi dini sebagai salah satu penyebab utama penurunan kelas menengah di Indonesia.

Bright Institute menilai bahwa pemerintahan era Joko Widodo (Jokowi) telah gagal membangun sektor industri dalam satu dekade terakhir.

Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengatakan berbagai indikator menunjukkan penurunan di sektor industri manufaktur. Mulai dari turunnya porsi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), rendahnya pertumbuhan sektor industri dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata, minimnya serapan tenaga kerja di sektor ini, tingginya nilai ICOR, hingga melemahnya indeks PMI (Purchasing Managers Index) Manufaktur atau Indeks Manajer Pembelian (IMP).

“Ini menjadi bukti kegagalan pemerintahan dua periode terakhir dalam mengembangkan sektor industri,” kata Andri dalam keterangan resmi, Rabu 2 Oktober 2024.

Dia menekankan, kematangan sektor industri manufaktur sangat penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia menuju status negara maju.

Sektor ini menjadi fondasi bagi lahirnya kelas menengah serta pengembangan sektor-sektor turunannya. Jika sektor industri melemah sebelum pendapatan masyarakat meningkat, tenaga kerja akan beralih ke sektor jasa bernilai rendah, yang sudah mulai terlihat saat ini.

“Evaluasi ini tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintahan Jokowi atas deindustrialisasi yang terjadi," lanjut Andri.

Namun, menurut dia yang patut disoroti adalah kegagalan memanfaatkan bonus demografi untuk menciptakan struktur ketenagakerjaan yang kuat dan melahirkan kelas menengah dengan produktivitas tinggi, terutama melalui pengembangan sektor manufaktur.

“Kebijakan yang tidak memprioritaskan hal ini membuat generasi mendatang akan semakin sulit mencapai status kelas menengah,” ujarnya.

Menurut Andri, kegagalan ini disebabkan oleh paradigma ‘hilirisasi’ yang terlalu fokus pada keuntungan modal, terutama modal asing, pada subsektor tertentu yang tidak padat karya dan lebih diarahkan untuk kepentingan ekspor.

Akibatnya, sektor ini tidak menciptakan banyak lapangan kerja yang mampu melahirkan kelas menengah.

“Padahal, selama sepuluh tahun terakhir, subsektor manufaktur yang paling berkontribusi terhadap PDB adalah industri pengolahan yang melayani pasar domestik, bukan ekspor,” jelasnya.

Andri juga menyoroti tingginya nilai ICOR di sektor manufaktur yang melebihi sektor lain, kecuali jasa bernilai tinggi. Ini menunjukkan bahwa sedikit modal yang masuk ke industri pengolahan, terutama yang tidak didukung oleh investasi asing, memiliki dampak negatif pada penyerapan tenaga kerja.

Selain itu, industri yang bergantung pada produk impor dan manufaktur produk konsumsi sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat dan kepentingan industri bermodal besar.

Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menambahkan bahwa fenomena ini menekankan pentingnya reorientasi kebijakan industri yang lebih inklusif dan berfokus pada penciptaan lapangan kerja berkualitas.

“Reorientasi ini penting untuk memperkuat kelas menengah di Indonesia,” kata Awalil.

Awalil juga menggarisbawahi perlunya evaluasi mendalam terhadap strategi industrialisasi nasional guna mencegah dampak lebih lanjut dari deindustrialisasi dini terhadap struktur ekonomi dan sosial di Indonesia.

Diketahui, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di Indonesia kini mencapai angka 6,5.  Angka ICOR ini terbilang cukup tinggi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengungkapkan kekhawatirannya terhadap tingginya ICOR tersebut dapat menjadi hambatan serius untuk mencapai pertumbuhan ekonomi.

Mengingat untuk mencara pertumbuhan setinggi itu Indonesia memerlukan investasi yang sangat besar, yaitu sekitar Rp12.480 triliun, atau setara dengan 52 persen dari Produk Domestik Bruto (GDP).

Jumlah ini, menurutnya, hampir mustahil dicapai dalam jangka pendek mengingat kondisi ekonomi yang ada saat ini.

“Untuk tumbuh di atas 8 persen itu sangat berat bagi Indonesia, karena memiliki hambatan ekonomi yang boros modal. Untuk tumbuh tinggi tentunya membutuhkan investasi, tetapi ICOR Indonesia cenderung bertumbuh yaitu 6,5,” katanya dalam dalam diskusi publik ‘Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo’, Senin 23 September 2024.

Sebagai informasi, ICOR adalah indikator yang menunjukkan seberapa efisien investasi digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi ICOR, semakin rendah efisiensi modal dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

Ini berarti, perekonomian Indonesia saat ini membutuhkan investasi yang lebih besar untuk mencapai pertumbuhan yang diharapkan, tetapi dengan hasil yang relatif kecil, sehingga dapat dianggap sebagai ukuran dari inefisiensi penggunaan modal.

Wijayanto menyoroti beberapa penyebab utama tingginya ICOR di Indonesia, mulai dari investasi yang tidak efisien hingga biaya tinggi dalam menjalankan perekonomian. Faktor-faktor lain yang turut memperburuk situasi ini antara lain korupsi, ketidakpastian regulasi, markup, serta perencanaan proyek yang buruk. Artinya, jika Indonesia ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, masalah-masalah ini harus segera diatasi.

“Meningkatkan investasi memang penting, tetapi menekan ICOR juga tidak kalah pentingnya,” katanya. (*)