KABARBURSA.COM - Lembaga riset ekonomi Bright Institute merilis laporan terbaru yang menyoroti fenomena deindustrialisasi sebagai salah satu penyebab utama merosotnya kelas menengah di Indonesia. Lembaga ini menyatakan kurangnya perkembangan sektor industri selama pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjadi faktor kunci penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap perekonomian nasional.
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengatakan penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) serta lambatnya pertumbuhan industri menjadi indikator penting yang harus diperhatikan. Penurunan ini semakin diperparah oleh rendahnya penyerapan tenaga kerja dan tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di sektor manufaktur.
“Perkembangan PMI Manufaktur yang kerap melemah, menjadi indikator kegagalan pemerintahan dua periode terakhir dalam membangun sektor industri,” kata Andri dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com, Selasa, 1 Oktober 2024.
Bright Institute menilai sektor manufaktur sebagai fondasi yang esensial bagi pertumbuhan kelas menengah dan pembangunan sektor turunan lainnya. Dengan menurunnya sektor ini, banyak tenaga kerja yang terpaksa beralih ke sektor jasa bernilai rendah. Hal ini berdampak langsung pada stabilitas kelas menengah Indonesia yang kini menghadapi ancaman kemerosotan.
Andri menyatakan deindustrialisasi bukan semata-mata hasil dari kebijakan pemerintahan Jokowi, namun ia menyoroti bonus demografi selama masa kepemimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas sektor manufaktur. “Sayangnya, perencanaan dan implementasi kebijakan pemerintah gagal memprioritaskan aspek ini. Akibatnya, generasi mendatang jauh lebih sulit lagi untuk mencapai status kelas menengah,” katanya.
Paradigma hilirisasi, yang lebih mengutamakan investasi asing dalam subsektor tertentu, turut menjadi penghambat. Bright Institute menyebut hilirisasi tidak berdampak signifikan pada penyerapan tenaga kerja karena kebanyakan subsektor yang didorong tidak berbasis padat karya. Bahkan, subsektor yang tumbuh terbesar justru hanya melayani pasar domestik, bukan untuk ekspor.
Andri mengatakan tingginya ICOR dalam sektor manufaktur menunjukkan minimnya modal yang mengalir ke jenis industri pengolahan yang padat karya. Menurutnya, pengalihan modal justru lebih banyak terjadi pada sektor jasa yang bernilai tinggi, yang berujung pada ketimpangan di antara sektor-sektor ekonomi.
Sementara itu, Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky, menambahkan, pemerintah perlu melakukan reorientasi kebijakan yang lebih inklusif dan fokus pada penciptaan lapangan kerja berkualitas. Ia menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan industri nasional guna mencegah dampak lebih lanjut dari deindustrialisasi yang bisa memperparah struktur ekonomi dan sosial Indonesia.
“Pentingnya reorientasi kebijakan industri yang lebih inklusif dan berorientasi pada penciptaan lapangan kerja berkualitas untuk memperkuat kelas menengah Indonesia,” katanya.
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia menghadapi fenomena yang disebut dengan deindustrialisasi dini. Fenomena ini terjadi ketika kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB terus menurun, bahkan sebelum negara tersebut berhasil mencapai status berpenghasilan tinggi. Menurut catatan Direktur Program INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, Indonesia sebenarnya pernah menikmati masa keemasan industrialisasi pada era Orde Baru, namun tren tersebut tak bertahan lama.
“Era 1989-1996 sebagai pelajaran, terlihat bahwa pertumbuhan industri manufaktur terus meningkat. Pada 1989 dari 19 persen terus meningkat menjadi 25 persen, industri manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu,” kata Eisha dalam dokumen catatan hasil diskusi publik di Universitas Paramadina bertema “Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo, Mustahil Tumbuh 8 Persen Tanpa Industrialisasi”, dikutip Selasa, 24 September 2024.
Eisha menjelaskan pada 2023, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB hanya sebesar 18 persen, angka yang jauh lebih rendah dibandingkan capaian pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebutnya sebagai “tanda bahaya” bagi ekonomi Indonesia yang seharusnya masih mengandalkan pertumbuhan industri untuk mencapai target pembangunan ekonomi jangka panjang.
“Ini adalah gejala deindustrialisasi dini,” jelas Eisha. Negara-negara maju, dia melanjutkan, biasanya mengalami pergeseran dari industri manufaktur ke sektor jasa setelah mencapai tingkat penghasilan per kapita yang tinggi. Namun, di Indonesia, pergeseran tersebut terjadi lebih cepat, meskipun negara belum mencapai penghasilan per kapita setara dengan negara-negara maju.
Eisha juga menyoroti pertumbuhan sektor jasa di Indonesia masih didominasi oleh sektor informal, yang umumnya memiliki produktivitas dan stabilitas rendah. “Sektor jasa yang berkembang di Indonesia belum memberi nilai tambah tinggi, seperti layanan teknologi atau jasa keuangan yang bisa memperkuat perekonomian nasional,” katanya.
Salah satu upaya yang diandalkan pemerintah untuk memperbaiki situasi ini adalah hilirisasi. Hilirisasi diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri, khususnya di sektor komoditas. Namun, Eisha memaparkan hilirisasi masih menghadapi banyak tantangan di Indonesia. Produk manufaktur yang dihasilkan masih banyak yang berbasis komoditas dengan tingkat kompleksitas rendah.
“Ekspor kita didominasi oleh produk-produk berkompleksitas rendah seperti kelapa sawit dan batubara. Sementara produk-produk dengan kompleksitas tinggi, seperti elektronik atau produk teknologi menengah, masih sangat rendah penggunaannya,” katanya.
Data menunjukkan penggunaan teknologi manufaktur berteknologi menengah di Indonesia hanya mencapai 37,32 persen, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam.
Eisha menegaskan untuk mencapai pertumbuhan industri yang optimal, pemerintah harus fokus pada peningkatan produktivitas industri serta inovasi teknologi. Selain itu, masalah tenaga kerja dan infrastruktur industri juga harus segera diatasi. “Produktivitas industri manufaktur kita masih rendah, baik dari segi tenaga kerja maupun kapasitas sumber daya manusia. Ini menjadi tantangan besar untuk mencapai target industrialisasi yang kita inginkan,” katanya.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.