KABARBURSA.COM - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam waktu dekat akan menerapkan sistem administrasi pajak terbaru, Core Tax Administration System (CTAS).
Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, CTAS akan diluncurkan paling lambat pada awal tahun depan, tepatnya tanggal 1 Januari 2025.
"Insya Allah menjelang akhir tahun 2024 ini, kita sudah bisa mulai menggunakan sistem core tax. Paling tidak tanggal 1 Januari 2025," kata Suryo di acara konferensi pers APBN KiTa edisi September di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin, 23 September 2024.
Sebelum sistem ini benar-benar diterapkan, Suryo menyatakan pihaknya gencar mensosialisasikan, edukasi dan pelatihan, terutama kepada Wajib Pajak tertentu, terutama yang memiliki transaksi besar atau dikenal dengan istilah "Pajak Kelas Kakap".
"Pelatihan ini ditujukan untuk mempersiapkan mereka menghadapi perubahan sistem yang akan berdampak besar pada transaksi pajak mereka," jelas Suryo.
Suryo menyebutkan, fokus utama sosialisasi penerapan CTAS ini adalah pada 52.964 Wajib Pajak yang memiliki transaksi besar. Hal ini dilakukan karena kelompok ini akan menjadi pihak yang paling terdampak oleh implementasi sistem pajak baru tersebut.
"Kami memberikan pelatihan langsung, khususnya bagi wajib pajak dengan transaksi besar, karena mereka akan sangat terdampak oleh implementasi core tax. Ada sekitar 52.964 wajib pajak yang menjadi prioritas kami," ucap Suryo.
Suryo menjelaskan, pelatihan intensif ini dilakukan secara langsung, terutama bagi Wajib Pajak yang berada di Kantor Wilayah (Kanwil), Large Taxpayer Office (LTO), dan Kanwil khusus, dengan harapan mereka siap menjalankan kewajiban perpajakan melalui sistem CTAS ketika resmi diterapkan.
Sementara itu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CTAS) Fajry Akbar berpendapat, dengan diberlakukannya CTAS maka akan mereformasi administrasi perpajakan.
"Banyak sekali manfaatnya, termasuk mendorong penerimaan perpajakan," kata Fajry Akbar kepada Kabar Bursa, Senin, 24 September 2024.
Akan tetapi, lanjutnya, CTAS bukanlah solusi segala masalah perpajakan yang ada, terlebih kalau isunya adalah kebutuhan pendanaan yang besar dan instan.
Fajry menjelaskan bahwa CTAS dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara melalui proses pencocokan data yang lebih efektif menggunakan analitik big data. Selain itu, CTAS bertujuan untuk memperbaiki layanan kepada wajib pajak dengan prinsip kesederhanaan dan kemudahan administrasi.
"Kami berharap CTAS dapat menyederhanakan administrasi pemungutan pajak dan menyajikan data berkualitas tinggi bagi DJP dan wajib pajak," jelas Fajry.
Sebenarnya, ungkap Fajry, CTAS sudah diterapkan dalam sistem administrasi perpajakan, seperti menu prepopulated dalam bukti pemotongan pajak, namun implementasinya belum optimal.
Salah satu fitur utama CTAS adalah penggunaan NIK sebagai NPWP, yang memperluas cakupan wajib pajak dan diharapkan meningkatkan tingkat kepatuhan.
"Jadi, implementasi CTAS memang belum sepenuhnya optimal," pungkas Fajry.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menargetkan peningkatan signifikan dalam local taxing power atau kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan pajak, dari yang saat ini hanya 1,3 persen menjadi 300 persen.
Ini merupakan bagian dari upaya pemerintah pusat untuk memperkuat kinerja ekonomi daerah melalui kebijakan yang lebih terintegrasi antara pusat dan daerah.
Sri Mulyani menjelaskan, hampir sepertiga dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk Transfer ke Daerah (TKD). Namun, menurutnya, agar kebijakan tersebut efektif, diperlukan sinkronisasi aturan yang lebih baik antara pusat dan daerah.
Untuk itu, diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), yang bertujuan menciptakan harmonisasi belanja dan kebijakan fiskal antara kedua pihak.
Selama ini, menurut Sri Mulyani, Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih sangat terbatas. Ia berharap melalui UU HKPD, local taxing power dapat ditingkatkan dengan mengidentifikasi potensi pajak dan retribusi daerah, namun tetap menjaga iklim investasi agar tetap kondusif.
“Rasio dari local tax ini telah meningkat ke level 3 persen, namun kita berharap untuk mencapai 300 persen dari saat ini local taxing power yang baru pada level 1,3 persen,” kata Sri Mulyani Dalam rapat Koordinasi Nasional P2DD 2024 di Hotel Kempiski, Jakarta, Senin, 23 September 2024.
Mantan Direktur Bank dunia (World Bank) ini menegaskan bahwa peningkatan kewenangan pajak di daerah tidak boleh mengganggu investasi, melainkan harus mampu memperkuat penerimaan pemerintah daerah melalui tata kelola yang lebih baik.
Pemerintah pusat pun turut berperan dengan mengintervensi kebijakan pajak daerah melalui instrumen peningkatan tarif, objek pajak, serta opsi pajak kendaraan bermotor dan biaya balik nama kendaraan.
Ia juga menyoroti pentingnya modernisasi administrasi perpajakan di tingkat daerah. Banyak daerah yang administrasi pajaknya masih perlu diperkuat, sehingga digitalisasi dan modernisasi terus didorong oleh pemerintah.
“Kami terus mendorong modernisasi administrasi perpajakan oleh pemerintah daerah dan digitalisasi yang dilakukan hari ini merupakan bagian dari upaya tersebut,” ujarnya.
Sri Mulyani menjelaskan, dalam UU HKPD, pemerintah juga membangun Badan Akun Standar (BAS) dan platform digital untuk transparansi dan sinkronisasi fiskal antara pusat dan daerah.
BAS ini diharapkan dapat menciptakan laporan keuangan daerah dan nasional yang lebih konsolidatif dan selaras.
Menurutnya, sering kali terjadi ketidakselarasan antara pusat dan daerah dalam laporan keuangan, yang memicu berbagai interpretasi yang tidak akurat.
Dengan sinergi yang diciptakan BAS, kebijakan fiskal maupun sektoral antara pemerintah pusat dan daerah diharapkan dapat berjalan lebih sinkron dan konsolidatif.
“Saat ini kami sedang menyusun konsolidasi informasi keuangan antara pemerintah daerah secara nasional dengan standar yang sama,” ungkap Sri Mulyani. (*)