KABARBURSA.COM - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengaku akan melakukan penataan di sektor perizinan. Tujuannya, untuk mendongkrak investasi di sektor hulu minyak dan gas (migas).
Bahlil mengungkapkan, perizinan yang ada saat ini cukup banyak, yaitu sekitar 300-an. Oleh karena itu dia berencana akan memangkas jumlah perizinan untuk memuluskan investasi sektor hulu migas.
“Dalam rangka meningkatkan investasi di sektor hulu migas, kami sedang merumuskan langkah komprehensif dan terukur, khususnya regulasi dan perizinan yang saat ini ada sekitar 300-an,” kata Bahli di Jakarta, Rabu, 11 September 2024.
Selain itu, lanjut Bahlil, pemerintah juga akan berdiskusi dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) mengenai persoalan yang ada selama ini.
“Dan akan menyiapkan “sweetener” untuk para investor,” tuturnya.
Kata Bahlil, banyak negara di dunia berlomba-lomba mendatangkan investor asing di sektor hulu migas. Jika ini dapat dilakukan, maka pendapatan negara bisa meningkat.
“Negara-negara di dunia sekarang berlomba mencari FDI (investor asing) sektor hulu migas. Kalau ini bisa dilakukan, tentu dapat meningkatkan pendapatan kita,” ujar Bahlil.
“Karena, dari 600.000 barel per day lifting minyak sama dengan pendapatan negara kurang lebih USD12 miliar per tahun,” sambungnya.
Efek positif lainnya yang didapat adalah akan berkurangnya ketergantungan terhadap impor energi dan terciptanya lapangan kerja, yang pada akhirnya menciptakan kemandirian energi.
“Kalau kita mampu meningkatkan lifting, maka otomatis pendapatan negara akan naik, mengurangi impor, menciptakan lapangan kerja, dan perlahan-lahan kita akan menuju apa yang disebut kemandirian energi,” pungkas Bahlil.
Dalam satu dekade terakhir, kontribusi sektor minyak dan gas bumi (migas) terhadap pendapatan negara terus mengalami penurunan. Hal ini dinilai menjadi salah satu faktor yang membuat Indonesia semakin bergantung pada utang untuk menutup defisit anggaran.
Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia Salamudin Daeng menilai sektor yang dulu menjadi andalan Indonesia kini hanya menyumbang porsi kecil bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kontribusi migas dalam pendapatan negara kini tinggal secuil. Pada 2023, kontribusinya hanya 4,75 persen. Padahal pada 2014 masih mencapai 14,19 persen, dan lebih jauh lagi pada era 70-an hingga 80-an, migas bisa menyumbang hingga 70-75 persen terhadap APBN,” ujar Salamudin dalam keterangan tertulis kepada Kabar Bursa, Senin, 9 September 2024.
Menurut Salamudin, menurunnya kontribusi migas tersebut tidak lepas dari penurunan produksi, turunnya kualitas sumur-sumur minyak, hingga ketidakmampuan pejabat terkait dalam mengelola sektor ini dengan baik. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan bahwa pendapatan negara dari sektor migas pada 2013 masih sebesar Rp 204 triliun, namun terus menurun hingga Rp 117 triliun pada 2023.
“Ini sangat menyedihkan, terutama di tengah tingginya konsumsi energi domestik dan jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat. Bukannya sektor migas semakin memberikan manfaat, justru yang terjadi sebaliknya. Negara malah harus terus menambah utang dan memungut pajak dari masyarakat untuk menutup defisit anggaran,” ungkapnya.
Salamudin juga mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai kurang transparan dan tidak patriotik dalam mengelola sumber daya migas. Menurut dia, jika sektor migas dikelola dengan lebih baik dan jujur, Indonesia tidak perlu menggantungkan pendapatan negara dari pajak yang membebani masyarakat.
“Seharusnya kita bisa belajar dari pengalaman negara-negara yang berhasil mengelola sumber daya alamnya dengan baik, sehingga rakyatnya tidak perlu membayar pajak yang memberatkan,” katanya.
Penurunan kontribusi sektor migas ini juga terlihat dari data ekspor migas. Berdasarkan data Bank Indonesia, ekspor migas sebagai persentase dari total ekspor Indonesia pada 2013 masih sebesar 15,31 persen, namun terus menurun hingga hanya 3,75 persen pada 2023. Tren penurunan ini menunjukkan semakin kecilnya peran sektor migas dalam perekonomian nasional, di tengah meningkatnya ketergantungan negara pada sektor non-migas untuk menopang APBN.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM, kontribusi sektor migas terhadap APBN terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, seiring dengan beragam dinamika yang mempengaruhi harga dan produksi migas baik di tingkat domestik maupun global.
Pada tahun 2013, pendapatan negara mencapai Rp1.438 triliun, dengan sektor migas memberikan kontribusi sebesar Rp204 triliun, atau sekitar 14,19 persen dari total penerimaan negara. Namun, pada tahun 2014, meskipun total pendapatan negara meningkat menjadi Rp1.551 triliun, kontribusi dari sektor migas hanya sedikit turun menjadi Rp217 triliun atau sekitar 13,99 persen.
Penurunan signifikan terlihat pada tahun 2015, ketika penerimaan negara dari migas hanya tercatat Rp78 triliun, dengan kontribusi terhadap pendapatan negara anjlok menjadi 5,18 persen dari total Rp1.505 triliun. Tahun 2016 pun mencatat penurunan yang lebih jauh, dengan pendapatan migas hanya sebesar Rp44 triliun atau 2,84 persen dari total penerimaan negara Rp1.555 triliun.
Meski sempat mengalami sedikit pemulihan pada 2017 dengan pendapatan migas mencapai Rp82 triliun atau4,91 persen dari total Rp1.666 triliun, sektor ini kembali berfluktuasi pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2018, pendapatan migas meningkat menjadi Rp143 triliun atau sekitar 7,38 persen dari total pendapatan negara Rp1.942 triliun. Namun, angka ini kembali turun pada 2019 menjadi Rp127 triliun, dengan kontribusi terhadap penerimaan negara sebesar 6,49 persen dari total Rp1.959 triliun.
Tahun 2020, dampak pandemi Covid-19 memperparah penurunan sektor migas, dengan penerimaan hanya sebesar Rp69 triliun atau 4,07 persen dari total penerimaan negara Rp1.699 triliun. Tahun berikutnya, pendapatan dari sektor migas naik menjadi Rp95 triliun atau 5,47 persen dari total penerimaan negara Rp1.736 triliun pada 2021.
Tahun 2022 memperlihatkan peningkatan kontribusi migas menjadi Rp149 triliun, dengan persentase kontribusi terhadap pendapatan negara naik menjadi 8,05 persen dari total penerimaan Rp1.846 triliun. Namun, pada 2023, pendapatan migas kembali menurun menjadi Rp117 triliun, yang hanya menyumbang sekitar 4,75 persen dari total penerimaan negara yang mencapai Rp2.462 triliun. (*)