KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia telah merencanakan perubahan besar dalam skema penyaluran subsidi untuk layanan kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek yang akan mulai berlaku pada tahun 2025.
Subsidi ini akan dialihkan berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK), sebuah langkah yang diharapkan dapat memperberat beban finansial bagi kelas menengah dan aspirasi menengah di Indonesia.
Kelas menengah yang telah mengalami tekanan daya beli selama lebih dari setahun, kini berpotensi menghadapi dampak lebih berat dari kebijakan ini.
Rencana perubahan skema subsidi ini telah memicu spekulasi mengenai kemungkinan kenaikan tarif transportasi publik KRL.
PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), yang juga dikenal sebagai KAI Commuterline, sebelumnya telah mengajukan usulan kenaikan tarif kepada Kementerian Perhubungan. Kenaikan tarif ini berpotensi menjadi beban tambahan, terutama di tengah rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) serta meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM), seperti Pertamax.
Jika usulan ini terwujud, kombinasi dari faktor-faktor ini dapat memperburuk tekanan pada daya beli kelas menengah, yang merupakan kelompok konsumen terbesar di Indonesia.
Berdasarkan data PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), jumlah penumpang KRL Jabodetabek mencapai 290,89 juta pada tahun 2023, mengalami peningkatan sebesar 35 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Meskipun angka ini menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, jumlah penumpang masih berada di bawah tingkat sebelum pandemi. Setiap hari, hampir satu juta orang di kawasan Jabodetabek bergantung pada moda transportasi ini untuk mobilitas mereka.
Pengeluaran untuk transportasi oleh kelas menengah kini mencapai 8,7 persen dari total pengeluaran, meningkat dari 5,1 persen di awal tahun 2023.
Pada saat yang sama, pengeluaran untuk kebutuhan primer seperti makanan melonjak 49 persen pada Mei 2024 dibandingkan dengan 36,7 persen pada tahun sebelumnya.
Kenaikan dalam pengeluaran dasar ini mempersempit alokasi untuk barang-barang tahan lama, menjadikan kenaikan tarif pajak, BBM, dan transportasi publik semakin menekan keuangan masyarakat, khususnya kelas menengah.
Kelas menengah di Indonesia menghadapi situasi yang semakin sulit—terlalu kaya untuk menerima bantuan sosial, namun terlalu miskin untuk mendapatkan keringanan pajak yang diberikan kepada kelas atas.
Kajian dari LPEM UI menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan kelas menengah menurun sejak tahun 2018, dengan kontribusi konsumsi mereka terhadap total konsumsi rumah tangga turun dari 41,9 persen pada 2018 menjadi 36,8 persen pada 2023. Penurunan ini mencerminkan semakin beratnya beban finansial yang harus mereka tanggung.
Dalam Buku II Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, total subsidi nonenergi untuk kewajiban pelayanan publik (PSO) dipatok sebesar Rp7,96 triliun, meningkat 0,9 persen dari outlook Tahun Anggaran 2024 yang sebesar Rp7,88 triliun.
Dari total tersebut, subsidi PSO untuk PT Kereta Api Indonesia (KAI) mencakup Rp4,79 triliun untuk berbagai layanan, termasuk KRL Jabodetabek.
Namun, dokumen tersebut belum menguraikan secara rinci kriteria pemegang NIK yang berhak mendapatkan tarif tiket bersubsidi untuk layanan KRL Jabodetabek. Rencana penerapan tiket elektronik berbasis NIK masih dalam tahap pengembangan.
Direktur Operasi dan Pemasaran PT KAI Commuter, Broer Rizal, mengonfirmasi bahwa usulan kenaikan tarif KRL Jabodetabek telah disampaikan kepada Kementerian Perhubungan, namun keputusan akhir masih menunggu.
Dalam pernyataan terbaru dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA), dinyatakan bahwa belum ada penyesuaian tarif KRL Jabodetabek dalam waktu dekat dan skema tarif berbasis NIK belum akan diberlakukan segera.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Dari 57,33 juta orang pada 2019, jumlah ini turun menjadi 47,85 juta orang pada tahun ini.
BPS mendefinisikan kelas menengah sebagai mereka yang memiliki pengeluaran antara 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia. Sedangkan kelas menuju menengah memiliki pengeluaran 1,5 hingga 3,3 kali garis kemiskinan.
Dengan rata-rata pengeluaran kelas menengah mendekati batas bawah, yaitu Rp2.056.494 per kapita per bulan, perubahan skema subsidi dan kenaikan tarif dapat memperberat beban finansial dan mempercepat penurunan kelas menengah di Indonesia.
Kombinasi kebijakan ini dapat berpotensi mengubah dinamika sosial-ekonomi negara, menciptakan tantangan lebih lanjut bagi masyarakat kelas menengah.
Ekonom senior Chatib Basri mengungkapkan bahwa penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia telah berlangsung konsisten sejak 2019.
Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2018, proporsi kelas menengah mencapai 23 persen dari total populasi. Namun, pada tahun 2019, angka ini menyusut menjadi 21 persen, sementara kelompok kelas menengah bawah, atau aspirasi kelas menengah (AMC), mengalami peningkatan dari 47 persen menjadi 48 persen.
Tren ini terus berlanjut tanpa henti. Pada tahun 2023, proporsi kelas menengah turun menjadi 17 persen, sementara kelompok aspirasi kelas menengah (AMC) meningkat menjadi 49 persen, dan kelompok rentan melonjak menjadi 23 persen.
Ini menunjukkan bahwa sejak 2019, sejumlah individu dari kelas menengah telah berpindah ke AMC, sementara AMC telah terdegradasi ke dalam kategori kelompok rentan, ujar Chatib Basri, dikutip Jumat 30 Agustus 2024.
Dengan garis kemiskinan yang diperkirakan sekitar Rp550.000 pada tahun 2024, Chatib menjelaskan bahwa individu dengan pengeluaran bulanan antara Rp1,9 juta hingga Rp9,3 juta dikategorikan sebagai kelas menengah.
AMC, di sisi lain, mencakup mereka dengan pengeluaran 1,5 hingga 3,5 kali garis kemiskinan, yaitu antara Rp825.000 hingga Rp1,9 juta. Sedangkan kelompok rentan miskin adalah mereka yang mengeluarkan antara Rp550.000 hingga Rp825.000 per bulan, atau 1 hingga 1,5 kali garis kemiskinan. (*)