KABARBURSA.COM - Aliran dana dari pemodal asing terus mengalir deras ke pasar keuangan Indonesia, menyebabkan rupiah menguat hingga 5,3 persen sepanjang bulan Agustus ini.
Investor asing gencar membeli saham dan obligasi, didorong oleh sentimen mengenai kebijakan bunga acuan Federal Reserve yang akan memengaruhi tingkat bunga Bank Indonesia dalam waktu dekat.
Arus masuk modal asing yang stabil ini memberikan kabar baik untuk kinerja neraca pembayaran RI, meskipun defisit transaksi berjalan semakin melebar.
Namun, ketergantungan pada modal asing jangka pendek mungkin tidak cukup untuk memberikan stabilitas nilai tukar yang berkelanjutan, terutama jika kinerja ekspor tetap melorot dan memperparah defisit transaksi berjalan.
Modal asing telah memborong obligasi negara senilai minimal USD2,2 miliar selama Agustus, menjadikannya belanja terbesar oleh investor nonresiden sejak Januari 2023.
Bahkan pada 22 Agustus, investor asing membeli surat utang RI hingga Rp9,6 triliun, pembelian harian terbesar dalam lima tahun terakhir.
Nilai arus masuk ke pasar obligasi negara masih di bawah level historis dan lebih rendah dibandingkan arus modal asing di negara-negara tetangga.
Namun, hal ini menunjukkan adanya potensi lanjutan untuk modal asing, tidak hanya di pasar surat utang tetapi juga di saham dan sekuritas bank sentral. Pada perdagangan kemarin, ketika IHSG mencatatkan level all-time-high (ATH), investor asing membeli saham senilai Rp2,09 triliun.
Di SRBI, investor asing telah membeli sebanyak Rp43,5 triliun selama Juli saja, dan saat ini menguasai 27 persen dari nilai outstanding SRBI di pasar.
Dengan perkiraan penurunan suku bunga The Fed yang baru akan dilakukan pada 18 September mendatang, aksi beli di pasar surat utang domestik diperkirakan masih akan berlanjut.
"Sentimen pemotongan tingkat bunga The Fed akan melemahkan kekuatan dolar AS. Jika dolar AS tidak lagi dominan, maka pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, akan lebih mudah dan murah dalam mencari pendanaan," kata Mark Nash, fund manager di Jupiter Asset Management di London, yang mengaku telah memborong SUN-10Y.
Saat ini, investor asing menguasai 14,4 persen dari surat utang negara di pasar, menurun dari posisi 15,4 persen setahun lalu dan masih jauh di bawah level prapandemi yang mencapai 39 persen.
Dibandingkan negara tetangga, arus modal asing di SBN masih mencatat outflow USD9,3 miliar sejak Maret 2020, sementara Thailand dan Malaysia telah mencatat inflow masing-masing USD13 juta pada periode yang sama.
Analisis Goldman Sachs menilai bahwa investor obligasi emerging market mungkin masih belum terlalu memperhatikan obligasi Indonesia dibandingkan indeks. Dengan demikian, terdapat peluang untuk penambahan lebih banyak jika ada penurunan bunga The Fed lebih lanjut.
Dengan arus masuk modal asing yang terus berlanjut, rupiah menguat dengan pesat. Selama Agustus, rupiah telah menguat lebih dari 5 persen, menjadi penguatan terbesar di Asia.
Penguatan rupiah dapat semakin besar jika arus masuk modal terus membanjir. Arus modal asing ke RI di pasar surat utang telah pulih dari level terendah sejak 2007. "Hal ini mengindikasikan potensi upside substansial bagi rupiah jika arus masuk dana asing ke obligasi negara terus berlanjut dan kembali ke level prapandemi," kata Stephen Chiu dan Chunyu Zhang, analis.
Belum lagi dengan dukungan suplai dolar AS melalui instrumen Term Deposit Devisa Hasil Ekspor (TD DHE) yang diluncurkan sejak tahun lalu. Hingga Juli lalu, arus devisa dari eksportir mencapai USD797,5 juta, dengan 95 persen parkir di tenor tiga bulan.
Data terbaru hingga 22 Agustus menunjukkan bahwa instrumen ini telah menarik devisa senilai USD10,2 miliar dan USD429 juta deposito rollover.
Arus modal asing yang besar ke pasar domestik dapat mendukung Neraca Pembayaran RI, yang saat ini masih terbebani oleh pelebaran defisit transaksi berjalan akibat lonjakan impor sementara ekspor meredup.
Bank Indonesia melaporkan bahwa Neraca Pembayaran menunjukkan perbaikan, dengan defisit mengecil menjadi USD600 juta dari sebelumnya USD6 miliar pada kuartal II-2024. Namun, penyempitan defisit ini lebih disebabkan oleh surplus transaksi modal dan finansial yang menyentuh USD2,7 miliar.
Lonjakan impor yang melampaui ekspor telah menekan kinerja transaksi berjalan. Pada saat yang sama, transaksi berjalan RI, yang mencerminkan pasokan valas dari perdagangan barang/jasa atau pariwisata, mencatat defisit yang semakin besar, mencapai USD3,02 miliar. Angka ini melonjak dibandingkan kuartal 1-2024 yang sebesar USD2,40 miliar, dan direvisi lebih besar dari data sebelumnya USD2,16 miliar.
Defisit transaksi berjalan setara dengan 0,88 persen dari Produk Domestik Bruto. Jika dihitung selama 12 bulan berjalan, defisit transaksi berjalan RI mencapai 0,58 persen, menurut hitungan Mega Capital Sekuritas.
Defisit transaksi berjalan berisiko semakin melebar pada kisaran 1-1,1 persen dari PDB pada akhir tahun ini, terutama jika surplus perdagangan pada Juli tidak memenuhi target minimal sebesar USD6,5 miliar.
"Jika Indonesia gagal mencatat surplus perdagangan kumulatif tersebut pada Agustus, defisit transaksi berjalan kemungkinan akan melebihi kisaran target BI yaitu surplus 0,1 persen hingga defisit 0,9 persen dari PDB," kata Lionel Priyadi, Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital dalam catatannya.
Jika skenario tersebut terjadi, akan sulit bagi BI untuk memangkas bunga acuan sebanyak dua kali tahun ini masing-masing 25 bps. Analis mempertahankan prediksi bahwa BI hanya akan menurunkan BI rate sebanyak 25 bps di sisa tahun ini.
Sementara peluang BI memangkas bunga acuan hingga dua kali di sisa tahun ini masing-masing 25 bps, bisa terjadi jika, pertama, The Fed memangkas bunga acuan secara agresif sedikitnya 75 bps pada sisa tahun ini.
"Kedua, jika ada aliran masuk modal asing yang kuat ke Indonesia didorong oleh ekspektasi pasar terhadap penurunan Fed fund rate pada 2025 sebanyak 150-200 bps," tambah Lionel. (*)