Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pesona Obligasi Indonesia Memikat Asing, Apa yang Menjadi Daya Tarik?

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 28 August 2024 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Redaksi
Pesona Obligasi Indonesia Memikat Asing, Apa yang Menjadi Daya Tarik?

KABARBURSA.COM - Arus masuk dana asing ke obligasi Indonesia menunjukkan tren positif pada Agustus ini, dengan pengelola dana global menginvestasikan USD2,2 miliar—jumlah terbesar sejak Januari 2023. Meskipun begitu, kepemilikan investor asing atas surat utang Indonesia masih berada di bawah level historis dan lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Pengelola reksa dana dari pasar negara berkembang (emerging markets) berbondong-bondong membeli obligasi Asia, didorong oleh prospek penurunan suku bunga Federal Reserve bulan depan. Penguatan mata uang mereka terhadap dolar AS juga memberikan keuntungan tambahan. Untuk obligasi Indonesia, peningkatan keuangan pemerintah dan imbal hasil yang lebih tinggi menjadi daya tarik tambahan.

Mark Nash, ahli strategi return obligasi di Jupiter Asset Management, London, menyatakan bahwa dia telah membeli obligasi pemerintah Indonesia berdenominasi rupiah dengan tenor 10 tahun.

“Jika dolar tidak lagi begitu dominan, seharusnya akan lebih mudah dan murah bagi pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mendapatkan dana,” kata Mark Nash, Jumat, 28 Agustus 2024.

Saat ini, pengelola dana global memegang 14,4 persen dari obligasi pemerintah Indonesia yang beredar di pasar domestik, menurun dari 15,4 persen tahun lalu, dan jauh di bawah 39 persen sebelum pandemi COVID-19 pada awal 2020. Dibandingkan negara-negara tetangga, Indonesia mengalami arus keluar asing bersih sebesar USD9,3 miliar sejak Maret 2020, sementara Thailand dan Malaysia masing-masing mengalami arus masuk sekitar USD13 miliar.

“Investor obligasi lokal di pasar negara berkembang mungkin masih kurang memperhatikan obligasi Indonesia dibandingkan indeksnya, dan memiliki ruang signifikan untuk membangun kembali risiko jika kondisi mengharuskannya,” tulis para ahli strategi Goldman Sachs Group Inc., termasuk Kamakshya Trivedi dan Danny Suwanapruti, dalam catatannya akhir pekan lalu, 23 Agustus 2024.

Optimisme terhadap obligasi Indonesia tampak jelas, terutama setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan target defisit anggaran 2025 sebesar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)—angka ini lebih rendah dari perkiraan defisit 2,7 persen untuk tahun ini dan jauh di bawah batas undang-undang 3 persen.

Penawaran obligasi konvensional pada 21 Agustus menerima tawaran kumulatif sebesar Rp104 triliun (USD6,7 miliar), tertinggi sejak lelang Agustus 2021. Pemerintah juga menjual obligasi rupiah 40 tahun untuk pertama kalinya melalui penempatan swasta dan berencana untuk menawarkannya pada lelang reguler.

Permintaan untuk obligasi dolar Indonesia juga kuat. Selisih imbal hasil obligasi dolar Indonesia terhadap US Treasury turun menjadi 73 basis poin pada Selasa, terendah sejak 10 Juni. Minat beli obligasi Indonesia dapat terus meningkat, mengingat hasil investasi yang sangat besar. Indeks untuk obligasi Indonesia menawarkan imbal hasil sebesar 6,7 persen kepada investor berbasis dolar tanpa lindung nilai pada Agustus ini, tertinggi di Asia Emerging Markets (EM). Dalam tujuh bulan pertama tahun ini, imbal hasil obligasi rupiah lebih rendah dibandingkan semua pasar EM Asia kecuali Korea Selatan dan Taiwan.

Pada Juni lalu, terdapat kekhawatiran mengenai rencana pemerintah di bawah Prabowo Subianto untuk meningkatkan rasio utang terhadap PDB hingga mencapai 50 persen guna mendukung janji kampanye pemilu. Namun, sejak saat itu, pejabat pemerintah telah menjanjikan keberlanjutan fiskal.

“Alokasi kami untuk obligasi negara Indonesia dalam mata uang lokal sedikit lebih besar dibandingkan dengan kepemilikan kami pada pasar negara berkembang dalam mata uang lokal,” kata Rajeev De Mello, kepala investasi di Gama Asset Management SA.

“Kejelasan yang lebih baik mengenai anggaran negara dan strategi utang akan menjadi krusial dalam menentukan alokasi di masa mendatang,” tambahnya.

Diberitakan sebelumnya, lima pasar obligasi emerging Asia, yaitu Korea Selatan, Thailand, Indonesia, India, dan Malaysia, akhirnya mencatatkan arus masuk bersih untuk pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir. Ini menandakan bahwa investor semakin percaya diri terhadap prospek kelas aset ini.

Menurut data terbaru, para pengelola dana internasional telah mulai meningkatkan kepemilikan surat utang di lima negara tersebut sejak awal Juli. Jika tren positif ini berlanjut hingga akhir September, akan disaksikan pencapaian triwulanan yang belum pernah terjadi sejak pertengahan 2021.

“Banyak investor global yang sebelumnya menghindari obligasi Asia dengan imbal hasil rendah akan mulai menyeimbangkan portofolio mereka seiring dengan semakin jelasnya kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve,” kata Charlie Robertson, Kepala Strategi Makro di FIM Partners.

“Melemahnya dolar AS juga membuka peluang untuk pemangkasan suku bunga di pasar obligasi emerging Asia,” lanjut Robertson.

Arus masuk yang signifikan ini menunjukkan bahwa investor semakin optimis terhadap pasar obligasi emerging, terutama dengan Fed yang mendekati keputusan untuk memangkas suku bunga.

Tren ini sangat kontras dengan kinerja obligasi negara berkembang yang sebelumnya tertekan oleh biaya pinjaman yang lebih tinggi dari bank sentral AS. Meskipun banyak negara emerging di Asia diperkirakan akan mengikuti jejak Fed dalam memangkas suku bunga, tingkat pelonggaran yang diharapkan akan lebih rendah dibandingkan dengan AS.(*)