KABARBURSA.COM - Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen terhitung mulai 1 Januari 2025 memicu kontroversi di masyarakat.
Rencana kenaikan tarif PPN diyakini akan mendongkrak harga-harga kebutuhan pokok yang ada akhirnya semakin membebani masyarakat.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, secara tegas mengatakan bahwa langkah pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan menaikkan tarif PPN adalah langkah yang keliru.
"Masyarakat dikenakan pajak terus, tapi korporasi yang segelintir enggak dipajakin," kata Faisal Basri dalam Workshop Ulasan RAPBN 2025 Rabu, 21 Agustus 2024 kemarin.
Jika merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), terdapat sejumlah barang dan jasa tidak akan terdampak oleh kenaikan tarif PPN.
Disebutkan bahwa barang-barang kebutuhan pokok seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi tidak akan dikenakan PPN meskipun tarifnya naik tahun depan.
Dalam konteks perpajakan, terdapat istilah Barang Kena Pajak (BKP), yaitu segala jenis barang yang dapat dikenakan PPN berdasarkan hukum, baik barang berwujud yang bergerak maupun tidak bergerak, serta barang tidak berwujud.
Namun, dalam UU PPN, cakupan BKP diatur dengan pendekatan negative list, yang berarti semua barang pada dasarnya dianggap sebagai BKP dan dikenakan PPN, kecuali barang-barang tertentu yang secara eksplisit dikecualikan.
Sementara itu, Jasa Kena Pajak (JKP) mencakup semua bentuk layanan yang dilakukan berdasarkan perjanjian atau tindakan hukum yang menyediakan barang, fasilitas, kemudahan, atau hak untuk digunakan.
Ini juga mencakup jasa yang diberikan untuk memproduksi barang sesuai pesanan atau permintaan yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Seperti BKP, cakupan JKP juga menggunakan prinsip negative list.
Pendekatan negative list dalam pengaturan BKP dan JKP ini dirancang untuk memastikan bahwa sebanyak mungkin jenis barang dan jasa termasuk dalam cakupan objek pajak, dengan tujuan memperluas basis penerimaan negara dari PPN.
Berikut daftar barang yang tidak dikenakan PPN atau termasuk dalam kategori non-BKP:
Sedangkan jasa yang tidak dikenai PPN atau termasuk dalam kategori non-JKP antara lain:
Pengaturan ini memberikan kejelasan mengenai barang dan jasa yang dikenakan atau dikecualikan dari PPN, sehingga pelaku usaha dan masyarakat dapat memahami kewajiban perpajakan mereka dengan lebih baik serta berkontribusi terhadap penerimaan negara dengan cara yang lebih transparan dan akuntabel.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani sempat menegaskan daftar sejumlah barang dan jasa yang tidak terkena PPN itu di antaranya berada di sektor barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, hingga transportasi.
"Jadi kalau membayangkan, PPN kemarin 10 persen ke 11 persen, dan di UU HPP akan menjadi 12 persen, barang-barang itu tidak terkena PPN. Jadi itu memproteksi," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengakui, PPN yang dibebaskan terhadap sejumlah barang dan jasa tersebut jarang diketahui masyarakat. Namun ia menekankan, penikmatnya banyak kelas menengah ke atas, karena kelas bawah telah mendapatkan bantuan sosial (bansos).
"Jadi banyak masyarakat yang menganggap semua barang jasa kena PPN, tapi sebenarnya UU HPP sangat jelas mengatakan bahwa, barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, transportasi, itu tidak kena PPN," jelas Sri Mulyani. (*)