KABARBURSA.COM - Harga minyak kelapa sawit (CPO) berjangka di Malaysia mengalami penguatan selama lima hari berturut-turut pada Selasa, 27 Agustus 2024, mempertahankan reli terpanjangnya dalam enam pekan terakhir. Penguatan ini didorong oleh prospek pengetatan pasokan dan rencana Indonesia untuk menaikkan tingkat pencampuran biodiesel.
Harga CPO untuk kontrak pengiriman November di Bursa Malaysia Derivatives Exchange naik 0,71 persen menjadi 3.952 ringgit (USD908,92) per metrik ton pada jeda tengah hari. Menurut laporan dari Reuters di Singapura, penguatan harga ini dipengaruhi oleh estimasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang memperkirakan produksi CPO Indonesia pada 2024 akan turun menjadi 52 juta hingga 53 juta ton dari 54,84 juta ton pada tahun sebelumnya.
Presiden terpilih Indonesia, Prabowo Subianto, berencana untuk mengimplementasikan kebijakan pencampuran biodiesel berbasis CPO sebesar 50 persen pada awal 2025. Kebijakan ini diharapkan dapat memangkas impor bahan bakar hingga USD20 miliar per tahun. Selain itu, pemerintah Indonesia juga sedang mempertimbangkan penyesuaian pajak ekspor CPO agar lebih kompetitif di tengah melemahnya permintaan global, menurut Isy Karim, Dirjen Perdagangan Luar Negeri di Kementerian Perdagangan.
Di pasar lain, kontrak minyak kedelai (soyoil) di Dalian yang paling aktif melonjak 1,87 persen, dan kontrak minyak kelapa sawitnya naik 1,56 persen. Namun, harga minyak kedelai di Chicago Board of Trade turun 0,42 persen. Harga minyak kelapa sawit sering mengikuti pergerakan harga minyak nabati lainnya karena persaingan di pasar minyak nabati global.
Ringgit Malaysia, mata uang yang digunakan dalam perdagangan CPO, terdepresiasi 0,14 persen terhadap dolar AS, membuat minyak kelapa sawit lebih menarik bagi pemegang mata uang lain. Analis teknis Reuters, Wang Tao, menyebut bahwa minyak kelapa sawit dapat menguji ulang resistance di level 3.985 ringgit, dan jika berhasil menembusnya, harga diprediksi akan mencapai kisaran target 4.003-4.032 ringgit.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indonesia sedang mempertimbangkan penyesuaian besaran bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE). Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Isy Karim, mengungkapkan bahwa pemerintah sedang mengevaluasi usulan penyesuaian tersebut, yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing minyak sawit di pasar internasional.
“Proses pengkajian sedang berlangsung di kementerian dan lembaga terkait untuk menentukan penyesuaian besaran BK dan penurunan tarif PE,” jelas Isy Karim, seperti dikutip pada Minggu, 25 Agustus 2024.
Penyesuaian ini diharapkan dapat memastikan program replanting sawit rakyat serta pencapaian target B35 berjalan dengan baik.
Isy juga menambahkan bahwa Kemendag mendukung penetapan BK dan PE yang lebih dinamis, menyesuaikan dengan harga CPO dan minyak nabati di pasar global.
“Ketika harga CPO lebih tinggi daripada minyak nabati lain, kita akan menurunkan BK dan PE. Sebaliknya, jika harga CPO lebih rendah, penyesuaian tarif akan diperlukan,” katanya.
Selain itu, penaikan harga eceran tertinggi (HET) untuk Minyakita dari Rp14.000 menjadi Rp15.700 per liter dalam Permendag No.18/2024 diharapkan dapat mengurangi biaya ekspor.
“Penyesuaian HET ini dapat membantu meringankan biaya ekspor, karena setiap ekspor memerlukan DMO Minyakita,” imbuh Isy.
Namun, situasi global yang belum stabil telah mempengaruhi permintaan minyak sawit, seperti diungkapkan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono. Eddy mengakui bahwa persaingan harga yang semakin ketat dengan minyak nabati lainnya, seperti minyak biji bunga matahari yang kini lebih murah, telah menekan harga CPO Indonesia.
“Kondisi ini membuat beberapa konsumen, yang sebelumnya menjadi importir terbesar CPO Indonesia, beralih ke minyak nabati lain,” kata Eddy.
Untuk mengatasi tantangan ini, Eddy mengusulkan beberapa strategi kepada pemerintah, termasuk penyesuaian PE, BK, dan DMO.
“Dengan penyesuaian ini, harga minyak sawit Indonesia akan lebih kompetitif di pasar global,” ujarnya.
Saat ini, pemerintah menetapkan harga referensi CPO pada Agustus 2024 sebesar USD820,11 per ton, dengan besaran PE USD85 per ton dan BK USD33 per ton. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai ekspor CPO pada Juli 2024 mengalami penurunan, baik secara bulanan maupun tahunan.
Nilai ekspor turun 36,37 persen dari Juni 2024 dan 39,22 persen dibandingkan Juli 2023. Total volume ekspor CPO dan turunannya juga menurun menjadi 1,62 juta ton dari 2,67 juta ton pada bulan sebelumnya. Sementara itu, harga CPO global pada Juli 2024 mengalami sedikit peningkatan menjadi USD856,66 per ton dari USD814,93 per ton pada bulan sebelumnya.(*)