KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa defisit anggaran tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp616,2 triliun atau setara dengan 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah ini disusun untuk menjaga keseimbangan antara kesinambungan program prioritas negara dan memberikan ruang bagi pemerintahan baru untuk mewujudkan janji politiknya.
Sri Mulyani mengungkapkan hal ini saat memberikan tanggapan pemerintah terhadap pandangan umum Fraksi DPR RI terkait RUU RAPBN 2025 pada rapat paripurna DPR RI, Selasa, 27 Agustus 2024.
"Defisit ini diproyeksikan untuk menjaga dua hal: keberlanjutan program-program prioritas pemerintah yang sudah berjalan dan juga memberikan kesempatan kepada pemerintahan baru untuk menjalankan program yang sesuai dengan janji politiknya," jelasnya.
Menkeu menambahkan bahwa desain defisit tersebut diharapkan dapat mempertahankan stabilitas fiskal Indonesia dalam jangka menengah hingga panjang.
Terkait pembiayaan defisit, Sri Mulyani menegaskan bahwa pengelolaan utang akan tetap dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menjaga rasio utang pada level aman, "dan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain."
Ia juga menegaskan bahwa pemerintah akan terus fokus pada investasi yang efektif di BUMN dan Badan Layanan Umum (BLU), serta mendorong skema kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Pemerintah juga berupaya memperkuat pengelolaan investasi dan special mission vehicle (SMV).
Langkah-langkah tersebut, menurut Sri Mulyani, bertujuan untuk meningkatkan pembiayaan pembangunan dan memperluas partisipasi masyarakat. Selain itu, pemerintah berencana membuka akses yang lebih besar kepada UMKM dan masyarakat berpendapatan rendah untuk mendapatkan permodalan.
"Pemerintah menghargai dukungan dari fraksi PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP yang terus mengingatkan pentingnya pengelolaan keseimbangan primer dan defisit APBN secara hati-hati dan berkelanjutan," tegas Sri Mulyani.
Sebagai informasi tambahan, target defisit dalam RAPBN 2025 memang lebih besar dibandingkan tahun 2024 yang sebesar 2,29 persen PDB. Keseimbangan primer juga diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp63,3 triliun, lebih dalam dibandingkan proyeksi defisit tahun 2024 yang sebesar minus Rp25,5 triliun.
Sementara itu, pembiayaan utang tahun 2025 diperkirakan mencapai Rp775,9 triliun, meningkat Rp222,8 triliun atau sekitar 40,27 persen dari proyeksi pembiayaan utang tahun 2024 sebesar Rp553,1 triliun.
Defisit anggaran yang tercantum dalam RAPBN 2025 ditetapkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sebesar Rp616,18 triliun atau 2,53 persen dari PDB. Beberapa kalangan menganggap ini sebagai defisit terbesar sepanjang sejarah transisi kekuasaan di Indonesia.
Suminto, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, menjelaskan bahwa sebenarnya defisit RAPBN 2025 atau APBN pertama di bawah Presiden Terpilih Prabowo Subianto terbilang moderat.
Menurutnya, penetapan rentang defisit 2,29 persen hingga 2,82 persen PDB dalam penyusunan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) telah memperhitungkan kondisi ekonomi global saat ini. Perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama Indonesia dan kebijakan suku bunga tinggi yang masih dipertahankan oleh bank sentral turut menjadi pertimbangan.
"Ini berada pada level moderat, artinya APBN harus memainkan peran optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global," kata Suminto, Selasa 20 Agustus 2024 lalu.
Suminto menegaskan bahwa desain defisit yang mencapai Rp600 triliun ini bertujuan agar APBN dapat berperan sebagai perisai dalam menahan dampak pelemahan ekonomi global terhadap aktivitas ekonomi di dalam negeri. Pemerintah akan mendorong belanja negara yang bersifat ekspansif untuk menopang aktivitas ekonomi masyarakat.
"Peran APBN sebagai penyangga guncangan sangat penting. Dengan defisit sebesar 2,53 persen, saya kira itu masih berada di level moderat untuk mendukung belanja pemerintah. Kualitas pengeluaran pemerintah juga akan kami jaga dengan ketat," tegas Suminto.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Othniel Frederic Palit, berpendapat bahwa defisit APBN pada masa transisi dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto ini merupakan yang tertinggi.
"Defisitnya hampir mencapai 3 persen. Dengan angka minimal saja sudah Rp600 triliun. Setiap kali ada pergantian pemerintahan, selalu ada defisit. Namun, kali ini defisitnya adalah yang terbesar sepanjang sejarah transisi pemerintahan kita," ujar Dolfie dalam Rapat Badan Anggaran pada Juni lalu.
Sebagai perbandingan, pada RAPBN 2005, saat transisi dari pemerintahan Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), defisit APBN hanya sebesar 0,8 persen atau sekitar Rp16,9 triliun. Sementara pada 2015, saat transisi dari SBY ke Joko Widodo, defisit mencapai 2,32 persen atau Rp257,6 triliun.
"Presidennya belum mulai bekerja, tapi anggarannya sudah defisit lebih dari Rp600 triliun. Ini sebenarnya untuk membiayai program siapa?" tanya Dolfie dengan nada kritis. (*)