KABARBURSA.COM - Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, diminta untuk membentuk kementerian yang khusus mengurusi persoalan perumahan, terutama perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Alasan perlu dibentuknya kementerian khusus perumahan itu karena peran vitalnya dalam menangani masalah perumahan rakyat yang selama ini sering kali tertutupi oleh urusan infrastruktur.
Selama satu dekade atau 10 tahun pemerintahan Jokowi, urusan perumahan rakyat digabungkan dengan infrastruktur yang dianggap banyak pihak justru jadi penghambat.
Untuk dapat mencapai target membangun tiga juta rumah per tahun, kehadiran kementerian khusus perumahan dinilai menjadi solusi yang tidak bisa ditawar lagi.
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, menekankan bahwa target pembangunan tiga juta rumah yang diusung Prabowo-Gibran bukanlah hal sepele. Program ini memerlukan dukungan penuh dari segi anggaran dan kebijakan.
“Program ini tidak akan berjalan tanpa adanya desk khusus yang fokus menangani perumahan,” kata Joko kepada Kabar Bursa, Senin, 26 Agustus 2024.
Joko menambahkan, desk khusus ini diperlukan untuk mengatasi berbagai regulasi di sektor perumahan yang selama ini justru menjadi penghambat perkembangan industri.
Tak hanya terkesan menghalang-halangi penyediaan perumahan untuk rakyat, Jokowi menilai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat ini juga tidak sejalan dengan kebutuhan dunia usaha yang terkait.
"Banyak ketentuan dan regulasi di sektor perumahan yang selama ini kontra produktif, bahkan tidak bersahabat dengan dunia usaha, sehingga menghambat penyediaan perumahan," tegasnya.
Lanjut Joko, jika pemerintahan Prabowo-Gibran serius ingin merealisasikan program tiga juta rumah, maka kementerian khusus yang menangani masalah perumahan harus dibentuk.
Kementerian ini, lanjut Joko, memiliki tugas sebagai pengatur koordinasi lintas sektoral, perencana program, dan eksekutor.
“Ketiga fungsi tersebut harus ada, karena program ini merupakan pekerjaan khusus yang menjadi prioritas Prabowo-Gibran,” ujar Joko.
Usulan senada juga dilontarkan Sekjen DPP Asosiasi Pengembangan Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Daniel Djumali. Dia menilai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selama ini kurang fokus pada masalah perumahan, karena lebih banyak berkutat pada urusan infrastruktur.
“Untuk itu, agar program pembangunan tiga juta rumah Prabowo-Gibran terealisasi diperlukan kementerian khusus perumahan dan badan khusus yang menangani masalah ini,” kata Daniel.
Kemudian dia menyoroti masalah kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk rumah subsidi yang habis pada Agustus 2024, sebagai contoh ketidakfokusan pemerintah dalam menangani isu perumahan.
Daniel menegaskan bahwa kuota rumah subsidi yang terbatas akan berdampak besar, mengingat perumahan memiliki efek domino yang luas terhadap sektor lainnya.
"Kuota rumah subsidi yang terbatas akan berdampak besar, karena perumahan punya efek yang luas ke sektor lain," tukasnya.
Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto, menyatakan terjadi ketidakselarasan antara pelaksanaan program pemberian Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan jumlah masyarakat yang belum memiliki rumah (blacklog).
Kondisi ini dipersulit karena tidak adanya data yang valid tentang berapa penduduk Indonesia yang belum memiliki rumah.
“Kalau bicarakan PR (pekerjaan rumah) terbesar kita adalah, kita enggak punya data yang pasti, berapa rumah yang tidak layak huni, dan siapa atau kelompok mana yang berhak memperoleh ini (FLPP),” kata Iwan di acara Proptech Convention and Expo di Jakarta, Jumat, 23 Agustus 2024.
Meski ada indikasi yang menyebutkan ada indikasi penurunan backlog dari sekitar 12,7 juta pada tahun 2021 menjadi 9,9 juta, namun data riil mengenai kondisi masyarakat yang termasuk dalam backlog hingga kini belum diperoleh secara detail seperti nama dan alamatnya.
“Kita belum mendapatkan data riil sampai by name, by adress kondisi masyarakat yang memang bagian dari backlog itu,” ujar dia.
Diakuinya, meski program FLPP ini telah diluncurkan, fakta di lapangan ternyata tidak semua bantuan tepat sasaran.
Sebagai informasi, di tahun 2024, kuota bantuan FLPP sekitar 150.000 unit rumah, dan sudah tersalurkan.
Kata Iwan, saat ini Kementerian PUPR masih menunggu kebijakan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) agar dana tambahan dapat dikucurkan kembali pada bulan Desember 2024 mendatang.
“Tapi sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah agar bantuan investasi itu harus tepat sasaran,” imbuhnya.
Saat ini, Iwan menyebut banyak perumahan yang mendapatkan bantuan FLPP dan KPR tapi dibiarkan kosong oleh pemiliknya. Bahkan di beberapa provinsi, tingkat kekosongan ini bahkan mencapai 60 persen hingga 80 persen.
“Saya masih melihat, beberapa perumahan yang mendapatkan FLPP KPR dan sebagainya dibiarkan kosong,” ujar dia.
Oleh karena itu, Iwan memastikan pihaknya akan mempelajari masalah ini lebih detail.
Ditegaskannya, bantuan FLPP seharusnya diberikan kepada kelompok yang benar-benar membutuhkan rumah, bukan hanya berdasarkan kelayakan administratif saja.
“Hal ini perlu menjadi perhatian, seharusnya FLPP ini diberikan kepada kelompok yang urgent, mendesak untuk kebutuhan rumah ini,” katanya.
Temuan lainnya, lanjut Iwan, yaitu pengalihan rumah yang seharusnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang didapatkan melalui program FLPP kepada pihak-pihak yang sebenarnya tidak berhak.
“Beberapa waktu lalu ditemukan pengalihan rumah-rumah MBR kepada pihak lain yang tidak berhak memperoleh itu. Ini menjadi perhatian kami,” tegas Iwan.
Lanjut Iwan, pada dasarnya pemerintah mendukung penambahan bantuan ini, tetapi akurasi dalam penyaluran bantuan harus menjadi prioritas untuk membangun akuntabilitas yang lebih baik.
“Jadi pemerintah mendukung untuk diberikan penambahan, tetapi akurasi dari ketepatan sasaran menjadi sebuah keharusan. Ini jadi bagian dari akuntabilitas,” terang dia.
Iwan menduga, salah satu penyebab utama ketidaktepatan sasaran karena kurangnya pemanfaatan teknologi yang efektif dalam penyalurannya. Sehingga sering kali bantuan yang diberikan diterima oleh individu atau kelompok yang seharusnya tidak layak menerima.(*)