KABARBURSA.COM – Ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan bahwa smelter di tambang nikel tidak menguntungkan Indonesia tapi justru membuat minus atau merugikan negara.
“Boro-boro menguntungkan, justru membuntungkan Indonesia,” kata Faisal Basri dalam diskusi publik Jejak Bahlil dan Kepentingan Istana dalam Pusaran Korupsi Tambang Nikel AGK, Rabu, 21 Agustus 2024.
Terkait dengan klaim pemerintah yang menyatakan ada pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara, kata Faisal, adalah penyesatan publik yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ia mengaku jika dirinya pernah salah karena menyatakan bahwa Indonesia diuntungkan kurang dari 10 persen berkat adanya smelter di pertambangan nikel. Oleh karena itu, ia ingin mengklarifikasi jika Indonesia justru merugi karena ada smelter.
“Saya belum menghitung subsidi yang diberikan pemerintah atas nama DMO atau domestic market obligation yang harganya ditentukan,” ujarnya.
Faisal mengungkapkan bahwa perusahaan pengelola smelter semuanya berasal dari dalam negeri, namun perusahaan tersebut sebenarnya dimiliki China. Ia mencoba meluruskan klaim pemerintah yang menyatakan berkat adanya smelter, ada nilai tambah dari nikel.
Ia mengakui memang ada nilai tambah yang terjadi. Ia mencontohkan jika harga nikel itu 10, maka setelah ada smelter harga feronikel menjadi 25 sehingga nilai tambahnya menjadi 15.
“Betul itu terjadi, tapi pertanyaannya adalah nilai tambah tersebut tidak dinikmati Indonesia,” tegasnya.
Terkait dengan pihak pengelola perusahaan smelter, kata dia, 100 persen berasal dari Tiongkok. Oleh karena itu, 100 persen keuntungannya bukan untuk Indonesia tapi justru dibawa ke China.
Jika perusahaan umumnya membayar corporate income tax, perusahaan-perusahaan smelter China yang beroperasi di Indonesia mendapat tax holiday. Sementara Indonesia tidak mendapat apa-apa karena perusahaan tersebut ternyata tidak membayar BPN dan pajak ekspor.
Ia juga membantah klaim pemerintah jika adanya smelter nikel dapat menguntungkan dari sisi tenaga kerja. Menurutnya, perusahaan-perusahaan ini bisa mendatangkan tenaga kerja murah asal Tiongkok. Tenaga kerja tersebut, kata Faisal, tidak memiliki visa kerja dan segala kebutuhan para pekerja ini didatangkan dari China.
“Kebutuhan mereka (tenaga kerja) bisa diimpor dari China tanpa bea masuk. Jadi kita dapat nol,” tegasnya.
Indonesia juga kembali dirugikan karena teknologi yang digunakan di smelter tersebut semuanya milik China. Sehingga fee dari paten juga kembali ke China, bukan Indonesia.
Bahkan perusahaan pembiayaan yang mengongkosi produksi smelter di tambang nikel pun berasal dari sejumlah bank di China. Sehingga bunga yang dibebankan dari pinjaman itu dinikmati oleh bank di China.
“Perusahaan smelter itu dibiayai oleh bank dari China dan tidak satu pun dari Indonesia, jadi bayar bunganya di China. Sementara Indonesia dapat kerusakan lingkungan. Itu tidak terperikan kerugiannya,” katanya.
Faisal juga mengungkapkan bahwa kerugian Indonesia dengan adanya perusahaan smelter di tambang nikel adalah karena semua operasional smelter tersebut menggunakan batu bara dari Indonesia.
Keputusan menjual batu bara ke perusahaan smelter ini, lanjut dia, adalah kerugian terbesar yang dialami Indonesia. Menurutnya, pada tahun 2022, harga batu bara yang dijual ke luar negeri bisa mencapai 145 dolar. Namun, jika batu bara dijual ke perusahaan smelter di tambang nikel dengan harga 70 dolar.
Menjual batu bara dengan harga tersebut sangat merugikan negara. Menurutnya, harga yang diberikan ke smelter sama saja dengan memberikan subsidi kepada perusahaan yang justru merugikan negara. Di sisi lain, Indonesia juga dirugikan dengan opportunity cost batu bara sebesar 245 dolar per ton.
“Jadi selain mereka bebas bayar pajak saking murah hatinya kita keluarkan kocek secara tidak langsung atau subsidi. Kalau subsidi buat PLN hasilnya dinikmati rakyat, ini buat pembangkit listrik atau smelter mereka. Oleh karena itu tidak benar yang saya sampaikan sebelumnya Indonesia dapat 90 persen dan Indonesia kurang dari 10 persen. itu saya salah. Belum lagi beban lingkungan dan kerusakan sosial. Kita ini dapat minus. Itu pemerintah tidak menyanggah,” ujarnya.
Menurutnya, banyak dari pihak pemerintah yang setuju dengan apa yang ia sampaikan terkait dengan kerugian negara akibat model bisnis smelter nikel.
“Saya beberapa kali bicara ini dengan orang Prabowo mereka setuju jika bisnis model untuk smelter nikel ini ngaco. Kami ingin presiden yang akan datang, mengubah secara total pendekatannya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat bukan investor,” pungkasnya. (*)