KABARBURSA.COM - Selama dua hari berturut-turut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengajak Wakil Menkeu II yang juga keponakan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Thomas Djiwandono, rapat dengan DPR RI.
Tidak hanya mengajak saja, Sri Mulyani juga memperkenalkan Thomas Djiwandono kepada anggota DPR RI.
Bahkan, saat rapat dengan Komisi XI DPR, Sri Mulyani memberi kode bahwa Tomy, panggilan akrab Thomas Djiwandono, akan menggantikan dirinya sebagai Menkeu.
“Titip Wakil Menteri saya ini pak. Ini yang akan meneruskan,” kata Sri Mulyani jelang selesai rapat dengan Komisi XI DPR yang membahas Laporan Keuangan APBN 2023, Rabu, 21 Agustus 2024.
Awalnya, eks Direktur Bank Dunia (World Bank) itu memperkenalkan Thomas yang duduk di sebelah kanannya sebagai Wakil Menkeu II.
“Ini Wamenkeu yang baru, Thomas Djiwandono. Kami ingin memperkenalkan beliau kepada Komisi XI.nantiakan getting familiar dengan Pak Tomy,” ucap Sri Mulyani.
Namun, hingga rapat berakhir, Sri Mulyani tidak menyebutkan secara jelas arti dari “penerus” dirinya. Apakah Thomas yang akan menggantikannya sebagai Menkeu di masa pemerintahan Prabowo Subianto?
Menanggapi pernyataan Sri Mulyani itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri, mengaku tidak terlaku terkejut mendengarnya.
Menurut dia, belum pasti Thomas Djiwandono akan menjadi Menkeu. Justru, Faisal Basri menilai, Thomas lebih pantas berada posisinya sekarang, yaitu menjadi Wakil Menkeu.
“Saya enggak tahu apakah Thomas bakal menjadi Menkeu. Tapi untuk jadi Wamenkeu bisa,” kata Faisal Basri di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu 21 Agustus 2024.
Belum tentunya Thomas menjadi Menkeu karena faktor Prabowo terlalu banyak berkomitmen atau menjanjikan memberi jabatan menteri kepada partai-partai yang mendukungnya pada Pilpres 2024.
“Persoalannya, Prabowo sudah berkomitmen dengan memberikan portofolio menteri kepada partai-partai. Partai yang terlibat banyak,” ujarnya.
Meski begitu, meyakini Prabowo akan menempatkan orang-orangnya sendiri di posisi strategis, agar tetap bisa memegang kendali pemerintah. Jika tidak, Prabowo akan terjepit dengan gemuknya koalisi.
Kata Faisal Basri, Prabowo akan seperti Jokowi yaitu menempatkan orang-orang kepercayaannya di posisi strategis, salah satunya di Kantor Staf Kepresidenan (KSP).
“Buat apa jadi Presiden kalau kendalinya tidak di tangan dia. Kalau zamannya Jokowi, menemparkan di KSP,” tuturnya.
Baginya, penempatan Thomas Djiwandono pada posisi Wakil Menkeu, untuk memberikan Prabowo keleluasaan lebih dalam ketika memulai tugasnya sebagai Presiden RI pada Oktober 2024 mendatang.
“Karena ini transisi,” terang Faisal Bari.
Faisal menekankan betapa pentingnya peran Menkeu sebagai ‘rem’ dalam mengendalikan perekonomian negara. Katanya, Menkeu adalah pintu utama bagi kementerian-kementerian lain untuk mengajukan anggaran.
Karena, lanjut Faisal Basri, Prabowo memerlukan sosok Menkeu yang dapat mengatur dan membatasi aliran dana yang diberikan kepada kementerian lainnya.
“Menteri Keuangan harus berfungsi sebagai rem. Kalau remnya pakem, selamat, kita tidak akan masuk jurang. Kalau Menkeunya ngegas, kita bakal cepat masuk jurang. Logikanya begitu,” pungkas.
Sebelumnya, Faisal Basri berbicara soal utang Pemerintah Indonesia. Katanya, pada tahun pertama Prabowo-Gibran, utang pemerintah bisa tembus ke angka Rp10.000.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa total utang pemerintah telah mencapai Rp8.502,7 triliun per akhir Juli 2024. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga akhir tahun, dengan proyeksi pembiayaan anggaran melalui utang sebesar Rp553,1 triliun.
Hingga Juli 2024, penarikan utang baru mencapai Rp253 triliun.
“Jika kita lihat rencana berutang yang mencapai Rp8,7 kuadriliun hingga akhir tahun ini, dan dengan proyeksi pembiayaan utang Rp775,9 triliun pada 2025, utang pemerintah bisa saja melampaui Rp10.000 triliun,” kata Faisal Basri.
Dia mengingatkan, di masa kepemimpinan Prabowo, pemerintah akan memilih untuk menarik utang lebih besar guna mempercepat belanja prioritas.
“Kemungkinan utang pemerintah bisa mencapai Rp10 kuadriliun, itu bisa saja terjadi jika pemerintah memutuskan untuk mempercepat program-program tertentu,” tuturnya.
Faisal juga menyoroti lonjakan utang pemerintah yang telah meningkat lebih dari tiga kali lipat selama satu dekade terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Meskipun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih dalam batas aman, yakni sekitar 38 persen dari PDB, beban utang yang berat menyebabkan pengeluaran untuk bunga dan cicilan utang meningkat drastis.
Porsi belanja untuk bunga dan cicilan utang kini mencapai 20,3 persen dari total anggaran belanja pemerintah, hampir dua kali lipat dibandingkan 11,1 persen pada tahun 2014.
“Ruang fiskal semakin menyusut, dan kemampuan untuk melakukan belanja yang berdampak langsung kepada masyarakat, seperti belanja modal dan bantuan sosial, semakin berkurang,” ujar Faisal. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.