KABARBURSA.COM - Ekonom memprediksi bahwa Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang dijadwalkan pada Rabu, 21 Agustus 2024. Josua Pardede, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI), menjelaskan bahwa meskipun ada potensi penurunan BI Rate seiring dengan membaiknya kondisi pasar keuangan global dan inflasi domestik yang stabil, BI masih akan mempertimbangkan ketidakpastian global.
Menurut Josua, ketegangan geopolitik dan prospek pertumbuhan ekonomi global yang melambat masih menimbulkan risiko bagi pergerakan rupiah, meskipun kondisi ekonomi domestik Indonesia cukup kuat.
Perlambatan ekonomi global bisa memberikan tekanan pada sektor eksternal Indonesia, berpotensi memperlebar defisit neraca transaksi berjalan di tengah ekspansi defisit fiskal. Oleh karena itu, BI tidak akan terburu-buru dalam memangkas suku bunga yang saat ini berada di angka 6,25 persen sejak April 2024.
Josua menambahkan bahwa penurunan BI Rate mungkin baru akan terjadi setelah Federal Reserve (The Fed) secara definitif menurunkan Federal Funds Rate (FFR). Meskipun fundamental ekonomi Indonesia masih solid, sebagian besar tekanan berasal dari faktor eksternal, seperti ketegangan geopolitik, suku bunga kebijakan global, dan kondisi ekonomi global.
Selain mempertimbangkan penurunan BI Rate, BI juga mungkin akan mengkaji penerapan exit strategy dari kebijakan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dalam jangka pendek. Josua menilai bahwa ruang untuk pemangkasan BI Rate semakin terbuka di paruh kedua 2024 jika kondisi eksternal terus membaik, yang dapat mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, sebelumnya juga menekankan bahwa keputusan untuk mempertahankan suku bunga acuan disebabkan oleh kebutuhan untuk mengendalikan risiko global. Meskipun inflasi inti rendah dan diperkirakan tetap rendah di masa depan, penurunan BI Rate belum dapat dilakukan karena BI harus memitigasi risiko global terlebih dahulu.
Sementara itu, banyak pihak yang meramal BI akan memangkas suku bunga acuannya di sisa tahun ini. Peluang pemangkasan BI Rate semakin lebar tak kala kondisi makro ekonomi dalam negeri membaik.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat inflasi sebesar 2,13 persen secara tahun (year-on-year/yoy). Di sisi lain, BPS juga mencatat deflasi tiga bulan berturut-turut sebesar 0,18 persen (month-to-month/mtm) di bulan Juli 2024.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menuturkan, BI memiliki peluang memangkas suku bunganya di bulan ini. Hal itu dia ungkap menyusul data-data ekonomi makro dalam negeri.
Di samping itu, penguatan nilai tukar rupiah yang berada di level Rp15,545 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Senin, 19 Agustus 2024, membuka peluang pemangkasan suku bunga semakin lebar.
“Kalau dilihat dari inflasi dan nilai tukar, inflasi mengalami deflasi tiga bulan berturut-turut, sementara nilai tukar menguat kembali ke level Rp15,000an, BI punya peluang menurunkan suku bunga,” kata Piter saat dihubungi Kabar Bursa, Selasa, 21 Agustus 2024.
Akan tetapi, Piter mengingatkan, BI perlu menunggu keputusan Faderal Open Market Committee (FOMC) yang akan digelar pada Kamis, 22 Agustus 2024. Jika The Fed memangkas suku bunganya, peluang penurunan BI Rate juga akan semakin besar.
“Kalau BI meyakini The Fed akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat ini, BI bisa saja menurunkan suku bunga acuan pada bulan ini,” tutup Piter.
Diberitakan sebelumnya, Chief Economist Citibank Indonesia, Helmi Arman memprediksi, BI akan menurunkan suku bunga acuannya di sisa tahun 2024 ini. Hal itu dia ungkap mengacu pada SRBI 12 bulan yang mengalami penurunan dalam beberapa minggu terakhir dengan rata-rata 25 basis point dari sekitar 7,5 ke sekarang berada di kisaran 7,25.
“Dan perkiraan kami suku bunga kebijakan BI yang 7 hari atau BI rate ini juga akan mulai turun di bulan September tahun ini,” kata Helmi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Namun demikian, Helmi mengingatkan bahwa masih ada beberapa risiko ke depan yang perlu BI pantau. Pertama, meski inflow ke pasar keuangan, terutama ke pasar SBN, modal masuk keseluruh negara berkembang belum begitu kuat jika melihat data Global Fund Flows City.
“Jadi kami menduga ada indikasi bahwa inflow yang masuk ke Indonesia ini masih merupakan gejala atau akibat dari pergeseran posisi investor dalam portfolio-nya. Sementara portfolio-nya sendiri mungkin belum menerima inflow yang signifikan secara keseluruhan,” jelasnya.
Dengan demikian, kata Helmi, data tersebut berimplikasi pada keberlanjutan inflow ke Indonesia yang relatif lebih sensitif terhadap dinamika valuasi atau pergerakan harga-harga aset keuangan dalam negeri.
Kedua, risiko eksternal yang terus membayangi kondisi pasar keuangan domestik, di mana Pemilu di AS akan digelar pada akhir tahun 2024. Pasar keuangan dalam negeri masih memastikan perang perang babak baru antara AS dengan Tiongkok.
Ketiga, risiko bagi pasar keuangan domestik, mengenai posisi investor asing. Helmi menilai ada instrumen monitor jangka pendek di Indonesia yang dapat berbalik jika nanti suku bunga domestik itu bergerak turun.
Diketahui, posisi asing di instrumen uangan jangka pendek di Indonesia cukup signifikan. Sehingga, kalau itu berbalik, hal ini dapat menetralisasi dampak positif dari arus modal masuk yang sekarang mengalir ke pasar SBN.
“Sehingga secara keseluruhan perkiraan kami adalah bahwa kadar penurunan BI rate dalam siklus penurunan suku bunga kali ini yaitu hingga akhir 2025 perkiraan kami adalah bahwa kadar penurunan BI rate kemungkinan akan lebih lambat,” tutupnya.(*)