Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Aturan DMO Berpotensi Bias, Harga Migor Bakal Makin Tinggi?

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 20 August 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Aturan DMO Berpotensi Bias, Harga Migor Bakal Makin Tinggi?

KABARBURSA.COM - Peralihan kewajiban pasokan domestik atau domestic market obligation(DMO) dari minyak goreng curah ke Minyakita, menuai sorotan tajam.

Menurut Esther Sri Astuti Soeryaningrum Agustin, Direktur Program INDEF, langkah ini bisa memperlihatkan pergeseran posisi pemerintah dari sekadar regulator menjadi pemain aktif dalam industri minyak goreng. Akibatnya, kebijakan berpotensi bias dan memunculkan oligopoli.

Esther menegaskan, dalam konteks teori ekonomi, industri yang hanya didominasi segelintir pemain cenderung membentuk harga yang terkonsentrasi.

Dengan demikian, potensi oligopoli pun semakin nyata. "Dalam teori ekonomi, semakin sedikit pemain di industri, semakin terpusat harga yang terbentuk. Hal ini bisa memunculkan kartel. Solusinya, perbanyak pemain di industri minyak goreng agar persaingan lebih sehat," ungkapnya, Selasa 19 Agustus 2024 kemarin.

Lebih jauh, Esther menyoroti bahwa perubahan regulasi ini bisa mengindikasikan adanya upaya pemerintah untuk menguasai pasar secara langsung, padahal semestinya tugas tersebut diemban oleh BUMN yang memang ditugaskan untuk menjalankan fungsi sebagai agen pemerintah dalam penyediaan barang publik, sembari tetap meraup profit.

Bagi Esther, tanggung jawab dalam mengelola dan menguasai pasar seharusnya sepenuhnya berada di tangan BUMN, bukan pemerintah secara langsung. "Ini tanggung jawab BUMN, bukan pemerintah. Dalam teorinya saja sudah keliru, apalagi ketika regulator dan pemain berada di posisi yang sama, kebijakan bisa sangat bias," tegasnya.

Sebagai informasi, Kementerian Perdagangan telah resmi mengeluarkan Permendag No. 18/2024, yang mengatur tata kelola minyak goreng sawit dalam bentuk kemasan Minyakita. Regulasi ini mengubah DMO minyak goreng rakyat yang semula berbentuk minyak goreng curah menjadi Minyakita, dan mulai berlaku sejak 14 Agustus 2024.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Moga Simatupang, menyebutkan bahwa perubahan ini bertujuan untuk mendorong realisasi DMO yang tengah menurun, seiring dengan melemahnya permintaan ekspor produk turunan kelapa sawit serta naiknya harga CPO. "Ini langkah untuk menyesuaikan dengan dinamika pasar, termasuk harga CPO yang meningkat," ujarnya dalam konferensi pers, Senin 19 Agustus 2024.

Sebagai catatan, Minyakita adalah kelanjutan dari program Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR), dengan perbedaan utama pada kemasan. MGCR dibungkus dengan plastik tipis yang mudah bocor, sementara Minyakita dikemas lebih rapi dan tahan lama.

Tak hanya mengubah skema DMO, pemerintah juga menaikkan harga eceran tertinggi (HET) Minyakita dari Rp14.000/liter menjadi Rp15.700/liter. Menurut Moga, langkah ini diharapkan mampu mengoptimalkan distribusi minyak goreng rakyat dan memastikan penetapan harga sesuai ketercapaian di berbagai level distribusi. "Langkah ini juga untuk mengurangi potensi penyimpangan yang merugikan masyarakat," jelasnya.

Bagi eksportir produk turunan kelapa sawit, distribusi Minyak Goreng Rakyat dalam bentuk Minyakita kini menjadi prasyarat untuk mendapatkan hak ekspor. Pendistribusian harus dilaporkan melalui Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (Simirah), dan diakui sebagai hak ekspor jika sudah sampai di distributor utama BUMN pangan atau pengecer lainnya.

Produsen yang ingin memproduksi Minyakita juga harus mengantongi surat persetujuan penggunaan merek dari Dirjen Perdagangan Dalam Negeri melalui inatrade.kemendag.go.id.

Berdasarkan data Kemendag, harga minyak goreng sawit kemasan premium stabil di Rp21.100/liter, minyak goreng curah Rp16.000/liter, dan Minyakita tetap di Rp16.400/liter per 20 Agustus 2024. Namun, data Badan Pangan Nasional menunjukkan minyak goreng kemasan sederhana turun menjadi Rp18.020/liter, sementara minyak goreng curah naik tipis ke Rp16.100/liter.

Polemik Minyakita

Pada 2022 silam, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab kelangkaan Minyakita adalah penurunan realisasi suplai dalam negeri yang harus dipenuhi oleh perusahaan sebelum melakukan ekspor, atau domestic market obligation (DMO), sejak November lalu.

Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menyebutkan faktor lain. Ia mengungkapkan adanya "perubahan regulasi" yang memaksa produsen "mengalihkan produksi Minyakita ke minyak curah".

Menurut Sahat, produsen mengeluhkan biaya produksi yang lebih tinggi untuk Minyakita dibandingkan dengan minyak curah.

Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengumumkan peluncuran Golden Visa di Jakarta, sementara di tengah antrean BBM bersubsidi, wacana pembatasan BBM bersubsidi masih menjadi topik hangat.

Ahli ekonomi dari Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengemukakan bahwa penurunan minat pihak swasta dalam memproduksi Minyakita menunjukkan perlunya peran aktif Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Karena porsi BUMN dalam pasar minyak goreng kecil, hal ini menjadi permainan bagi oknum swasta. Kesalahan kebijakan minyak goreng adalah tidak melibatkan BUMN secara aktif," ujar Bhima.

Program biodiesel B35, yang meningkatkan penggunaan CPO—bahan baku minyak goreng—diduga turut mengurangi produksi Minyakita, meski hal ini dibantah oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Menurutnya, program B35 tidak akan mengganggu pasokan minyak goreng konsumsi, dan kelangkaan Minyakita disebabkan oleh lemahnya permintaan domestik.

Minyakita, dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000, dirilis pada 6 Juli 2022 untuk meredam kenaikan harga minyak yang pada saat itu mencapai Rp25.000 per liter. Minyakita diproduksi oleh perusahaan-perusahaan minyak goreng untuk memenuhi DMO sebagai syarat izin ekspor.

Namun, sejak akhir 2022, stok Minyakita mulai langka di pasaran. Di Bandung, Solo, dan Makassar, pedagang mengeluhkan kelangkaan yang disertai kenaikan harga. Di Pasar Kiaracondong, Bandung, kelangkaan mulai terjadi sejak Desember 2022, diikuti dengan kenaikan harga.

Seorang pedagang, Dean Rivana, terpaksa mencari Minyakita dari distributor besar karena agen-agen lokal mengaku kehabisan stok. Meskipun harga Minyakita sudah naik menjadi Rp16.000 per liter, tetap dianggap lebih murah dibandingkan dengan merek lain yang harganya mencapai Rp17.000 per liter.

Distributor mengeluhkan ketidaktersediaan Minyakita dari pabrik, yang diduga disebabkan oleh pembatasan produksi untuk menyelamatkan merek minyak lain.

Menanggapi kelangkaan dan kenaikan harga Minyakita, beberapa konsumen merasa terpaksa membeli meskipun harganya naik. Oneng, seorang nenek berusia 61 tahun, mengaku tidak punya pilihan selain membeli Minyakita meskipun harganya meningkat. Sementara Untari, seorang ibu rumah tangga, tetap membeli Minyakita karena tidak ingin beralih ke minyak goreng curah yang kualitasnya lebih rendah.

Di Makassar, pedagang juga mengalami kelangkaan Minyakita sejak seminggu lalu. Ririn, pedagang di Pasar Tradisional Pabaeng-Baeng, mengatakan bahwa meskipun ia hanya bisa membeli 10 hingga 15 dus Minyakita, harga jualnya tetap di bawah Rp14.000, berbeda dengan harga di pedagang lain yang bisa mencapai Rp17.000.

Menurut Menteri Zulkifli Hasan, untuk mengatasi kelangkaan, pemerintah berencana menambah suplai pasokan dalam negeri (DMO) dari 300.000 ton menjadi 450.000 ton per bulan. Namun, Bhima Yudhistira menilai bahwa pemerintah sebaiknya menegakkan aturan DMO yang ada dan memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang tidak patuh.

Bhima juga meminta pemerintah untuk menyelesaikan masalah perebutan ekspor dan biodiesel. Program B35, yang meningkatkan penggunaan CPO untuk biodiesel, harus dikaji ulang untuk memastikan prioritas pangan, terutama menjelang Ramadan dan Lebaran.

Menurut Bhima, kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng ini terjadi karena masalah struktural yang belum diatasi secara tuntas, dan penangkapan mafia tidak menyelesaikan akar permasalahan.  (*)