KABARBURSA.COM - Sebanyak 28 platform pinjaman daring alias pinjaman online (pinjol) dinyatakan tidak mampu memenuhi batas modal sesuai yang ditentukan.
Untuk diketahui, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10 Tahun 2022 Pasal 50 mengatur penyelenggaraan Peer to Peer (P2) Lending wajib memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.
Hingga satu tahun sejak aturan tersebut diundangkan, P2P lending diwajibkan memiliki paling sedikit modal Rp2,5 miliar.
Selanjutnya, pada tahun kedua, naik menjadi Rp7,5 miliar. Sementara, sejak aturan diberlakukan, ekuitas P2P lending paling sedikit Rp12,5 miliar.
Kegagalan ini mencerminkan tangan yang dihadapi industri fintech mempertahankan bisnisnya.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan kesulitan yang dialami 28 platform tersebut untuk mencapai ekuitas yang ditetapkan oleh OJK tidak hanya soal ketidakmampuan finansial, tetapi juga mencerminkan kesalahan mendasar dalam model bisnis mereka.
“Niat OJK baik, yaitu mengatur besaran bunga agar tidak memberatkan nasabah. Tetapi, di sisi lain, hal ini berdampak kepada keberlangsungan bisnis P2P Lending sendiri,” kata Nailul, Senin, 19 Agustus 2024.
OJK telah mengeluarkan regulasi tentang bunga pinjaman P2P Lending, dengan tingkat bunga pendanaan untuk sektor produktif ditetapkan sebesar 0,1 persen per hari, dan untuk sektor konsumtif 0,3 persen per hari.
Menurut Nailul, model bisnis P2P Lending sangat berbeda dengan institusi keuangan lainnya. Dengan adanya lender (investor) individu atau institusi yang tertarik pada imbal hasil, tekanan untuk tetap kompetitif dalam industri ini semakin kuat.
Namun, jika bunga pinjaman ditekankan terlalu rendah, hal ini bisa berdampak buruk, tak hanya bagi bisnis P2P Lending itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat luas.
“Kalau bunganya terlalu rendah, bisnis ini tidak bisa berkembang dan akan berdampak buruk pada konsumen. Pada akhirnya, masyarakat yang sedang membutuhkan pinjaman dana bisa terjebak platform pinjaman ilegal yang rentan dengan penipuan dan praktik penagihan yang menyengsarakan konsumen,” tuturnya.
Dia berpendapat, pengaturan bunga konsumtif dan produktif di angka 0,3 persen dengan transparansi biaya bisa menjadi win win solution bagi platform dan nasabah.
“Pinjaman online biasanya bersifat tenor pendek, tidak seperti pinjaman konvensional yang tenornya panjang,” ujar Nailul.
OJK, menurut Nailul, harus menyeimbangkan regulasi dengan kebutuhan industri. Aturan bunga konsumtif dan produktif di angka 0,3 persen, jika diterapkan dengan transparansi biaya, bisa menjadi solusi bagi semua pihak.
Penerapan bunga 0,3 persen bisa menjadi solusi supaya platform legal tetap tumbuh, dan OJK tetap bisa mengatur sehingga masyarakat terhindar dari pinjaman online ilegal.
Kredit macet dalam pinjaman online atau fintech lending mendapat perhatian serius dari OJK. Hingga Juni 2024, OJK mencatat masih tingginya tingkat kredit macet di beberapa penyelenggara layanan pendanaan berbasis teknologi, yang menjadi indikasi bahwa industri ini masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga kualitas pendanaan.
Pinjol merupakan layanan peminjaman uang yang bertujuan untuk meningkatkan modal melalui pendanaan dari pihak ketiga. Namun, meski menawarkan kemudahan akses, sektor ini juga tidak lepas dari risiko tinggi kredit macet.
Menurut data yang dirilis OJK, hingga Juni 2024, terdapat 19 Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) yang mencatatkan Tingkat Wan Prestasi dalam 90 hari (TWP90) di atas 5 persen.
Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK mengatakan banyaknya TWP90 yang mencatatkan tingginya angka kredit macet tetap menjadi perhatian serius OJK.
Untuk itu, pihak OJK telah mengeluarkan surat peringatan kepada penyelenggara LPBBTI yang memiliki TWP90 tinggi, meminta mereka untuk segera membuat rencana aksi guna memperbaiki kualitas pendanaan mereka.
“Terhadap Penyelenggara tersebut, OJK memberikan surat peringatan dan meminta Penyelenggara membuat action plan untuk memperbaiki kualitas pendanaannya,” kata Agusman, Sabtu 10 Agustus 2024.
Selain itu, OJK juga terus memantau perkembangan kualitas pendanaan dan akan memberikan sanksi administratif jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku.
“OJK juga terus melakukan monitoring terhadap kualitas pendanaan LPBBTI dan akan melakukan tindakan pengawasan termasuk pemberian sanksi administratif dalam hal ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan,” ujar Agusman.
TWP90 merupakan indikator penting yang mengukur rasio gagal bayar dalam periode 90 hari, dan tingginya angka ini menunjukkan bahwa banyak peminjam yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban mereka tepat waktu.
Meskipun secara umum dia mengatakan TWP90 sejak Mei 2024 tersebut masih berada di batas aman ketentuan OJK, yakni tidak melebihi 5 persen.
Dia menyebutkan, pada Juni 2024 jumlah TWP90 pada Juni 2024 sebesar 2,79 persen, turun jika dibandingkan dengan periode yang sama setahun lalu yang sebesar 3,29 persen.
Capaian TWP90 Juni 2024 ini juga terbilang menurun, jika dibandingkan dengan posisi Mei 2024 yang sebesar 2,91 persen
“Pada industri fintech P2P Lending, outstanding pembiayaan di Juni 2024 terus meningkat menjadi 26,73 persen year on year (yoy) dibandingkan pada bulan Mei 2024 yang sebesar 25,44 persen yoy, dengan nominal sebesar Rp66,79 triliun,” terangnya. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.