KABARBURSA.COM - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) merespons reshuffle Kabinet Indonesia Maju yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang akhir masa jabatannya. Pada Senin, 19 Agustus 2024, Jokowi melantik tiga menteri baru: Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rosan P. Roeslani sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM, dan Supratman Andi Agtas sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).
Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, menyatakan bahwa pihaknya tidak berharap adanya perubahan regulasi yang ambisius mengingat masa jabatan yang singkat bagi para menteri baru hingga akhir periode Jokowi. Namun, dia menekankan bahwa reshuffle ini bertujuan untuk memastikan transisi kepemimpinan yang mulus dan kesinambungan program pembangunan Jokowi, yang penting bagi stabilitas iklim usaha dan investasi di Indonesia.
Shinta juga menyebut bahwa reshuffle ini merupakan hak prerogatif presiden untuk menunjuk orang-orang yang dianggap mampu menyelesaikan program kerja. Selain ketiga menteri baru, Presiden Jokowi juga melantik sejumlah pejabat lainnya untuk mendukung transisi pemerintahan, termasuk Dadan Hindayana sebagai Kepala Badan Gizi dan Hasan Nasbi sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan.
Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, menjelaskan bahwa pelantikan ini bertujuan untuk mempersiapkan transisi pemerintahan baru agar berjalan dengan baik dan efektif.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkritik reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya. Ekonom senior Indef, Faisal Basri, menilai reshuffle ini tidak efektif dalam aspek ekonomi dan tidak memberikan dampak positif bagi kepastian hukum dan dunia usaha. Faisal menilai reshuffle ini lebih kepada konsolidasi kekuasaan dan melibatkan tokoh-tokoh yang dekat dengan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, yang bisa mempercepat proses transisi.
Faisal juga menyoroti peralihan posisi Bahlil Lahadalia dari Kepala BKPM ke Menteri ESDM. Dia mempertanyakan dampaknya terhadap penguasaan tambang dan potensi pergeseran kebijakan. Faisal khawatir bahwa langkah ini mungkin lebih berfokus pada politik daripada kebijakan ekonomi yang berdampak positif.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menambahkan bahwa reshuffle ini menunjukkan ketidakstabilan dan ketidakpastian dalam pengelolaan pemerintahan. Menurutnya, pergantian menteri yang mendadak dan tanpa analisis mendalam bisa memberikan kesan negatif bagi dunia usaha dan investasi. Ia menyoroti pentingnya pergantian Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, yang akan memimpin program makan bergizi gratis sebagai langkah dengan dampak konkrit dan jangka panjang.
Ekonom senior Indef lainnya, Didin S. Damanhuri, berpendapat bahwa reshuffle ini lebih bersifat politis dan bertujuan untuk mengamankan kekuatan politik serta masyarakat. Dia mengkhawatirkan bahwa reshuffle ini memperkuat kontrol politik dan berpotensi membangun sebuah pemerintahan yang lebih otoriter.
Meskipun kritik terhadap reshuffle ini ada, Didin berharap bahwa Prabowo Subianto sebagai Presiden Terpilih dapat memperbaiki situasi dan tidak melanjutkan tradisi kepemimpinan yang dianggap memiliki banyak kerusakan. Jika Prabowo menghadapi krisis besar dalam pemerintahannya, dia akan mewarisi legasi yang buruk, yang menjadi tantangan besar bagi kepemimpinannya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, mengungkapkan bahwa produk impor yang masuk ke Indonesia semakin mengancam pasar produk lokal. Meskipun persentase impor barang jadi tidak besar, dampaknya cukup signifikan.
Shinta menjelaskan bahwa mayoritas impor terdiri dari bahan baku dan bahan penolong yang mencapai sekitar 75 persen, sementara impor barang jadi hanya sekitar 20 persen.
“Kalau kita lihat trennya ini sekarang yang semua lagi heboh adalah masuknya impor bahan jadi. Bahan jadi itu, itu tuh less than 20 persen, cuma 20 persen, sekarang,” kata Shinta dalam Kajian Tengah Tahun INDEF 2024 bertajuk ‘Presiden Baru, Persoalan Lama’, Selasa 25 Juni 2024
Tantangan utama, menurut Shinta, adalah harga jual produk impor yang lebih murah dengan kualitas yang hampir setara dengan produk lokal. Jadi, meskipun kualitas produk lokal baik, harga yang lebih murah dari produk impor membuatnya kalah bersaing.
“Cuma yang jadi permasalahan itu harganya dan kualitasnya,” bebernya.
Karena harga yang lebih murah, banyak pelanggan beralih ke produk impor, sehingga permintaan produk impor di Indonesia meningkat. Shinta menekankan bahwa permasalahan ini perlu menjadi perhatian serius, terutama bagi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
“Ini yang sesuatu yang menurut saya perlu diperhatikan karena kalau kita lihat apakah kita siap, mungkin industri dalam negeri ktia siap tapi dia tetap perlu produksi dengan bahan baku dari luar. Kita belum bisa nih sendiri,” sebutnya.(*)