KABARBURSA.COM - Pada tahun pertama pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto, pemerintah merencanakan pembiayaan utang sebesar Rp775,9 triliun untuk tahun depan. Angka ini mengalami peningkatan signifikan sebesar Rp222,8 triliun atau 40,27 persen dibandingkan dengan outlook pembiayaan utang tahun ini yang sebesar Rp553,1 triliun. Rencana tersebut tercantum dalam Buku II Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.
Sebagian besar pembiayaan utang ini akan dipenuhi melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan total rencana Rp642,5 triliun, yang merupakan peningkatan 42,2 persen dari outlook APBN 2024 sebesar Rp451,8 triliun. Pemerintah akan memprioritaskan penerbitan SBN dalam mata uang rupiah dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kebijakan pengelolaan utang, risiko pasar, preferensi investor, dan kapasitas daya serap pasar.
Selain SBN, pembiayaan utang juga akan dilakukan melalui pinjaman, yang direncanakan sebesar Rp133,3 triliun pada 2025. Ini termasuk pinjaman dalam negeri sebesar Rp5,2 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp128,1 triliun, dengan peningkatan 31,6 persen dari outlook pinjaman 2024.
Kemenkeu juga mencatat bahwa total utang pemerintah yang akan jatuh tempo selama masa jabatan Prabowo-Gibran (2025-2029) mencapai Rp3.748,24 triliun, atau sekitar 44 persen dari total utang pemerintah per akhir Mei 2024 yang sebesar Rp8.338,43 triliun. Jumlah utang jatuh tempo ini akan terus menurun setiap tahunnya, dimulai dari Rp800,33 triliun pada 2025 hingga Rp622,3 triliun pada akhir masa jabatan di 2029.
Untuk mencegah lonjakan utang pemerintah, penerapan aturan disiplin fiskal yang ketat sangatlah penting. Pemerintah diharapkan dapat menjaga defisit anggaran di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menghindari praktik monetisasi utang oleh bank sentral untuk alasan apa pun. Monetisasi utang, yang melibatkan pencetakan uang baru untuk membayar utang, dapat menyebabkan inflasi dan melemahkan nilai mata uang, sehingga berisiko memperburuk kondisi ekonomi.
Pelaksanaan batas defisit anggaran yang ketat berfungsi sebagai alat untuk menjaga disiplin fiskal dan menghindari potensi risiko yang dapat merusak stabilitas makroekonomi. Pelanggaran terhadap batas defisit anggaran ini berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi, mengancam kepercayaan investor, dan meningkatkan biaya pinjaman pemerintah.
Penetapan defisit anggaran untuk tahun 2025 sebesar 2,53 persen dari PDB, meskipun berada di bawah batas maksimum yang ditetapkan, tetap memicu kekhawatiran. Walaupun defisit ini tergolong dalam batas yang disarankan, adanya risiko bahwa defisit tersebut dapat mendekati batas 3 persen dalam kondisi tertentu berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi.
Dalam jangka pendek, ketidakstabilan ini sudah terlihat dari melemahnya nilai tukar Rupiah, yang dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap utang pemerintah yang tidak terkendali.
“Untuk mencegah lonjakan utang pemerintah, ke depan kita perlu menerapkan aturan disiplin fiskal secara ketat, tidak boleh ada defisit anggaran di atas 3 persen dari PDB dan tidak boleh ada monetisasi utang pemerintah oleh bank sentral, untuk alasan apa pun,” tegasnya.
Paradigma pro-kreditor yang mendominasi kebijakan fiskal saat ini sering mengabaikan kondisi debitur, menyebabkan prioritas pembayaran bunga utang mengalahkan kebutuhan untuk stimulus fiskal dan perlindungan sosial.
Dalam rangka mencegah time-inconsistency dan memastikan tanggung jawab fiskal setiap rezim, banyak negara menerapkan fiscal ruleuntuk menahan tingkat utang pemerintah.
Namun, Perppu No. 1/2020, yang kemudian disahkan menjadi UU No. 2/2020, telah memberikan escape clause yang memungkinkan pemerintah melanggar ketentuan fiskal tersebut. Langkah ini menambah kekhawatiran terkait dengan keberlanjutan kebijakan fiskal dan dampaknya terhadap ekonomi nasional.
Pemerintah diharapkan untuk mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari kebijakan fiskal yang diterapkan dan mengambil langkah-langkah untuk menjaga keseimbangan antara stimulus ekonomi dan disiplin fiskal.
“Dalam jangka pendek kita sudah melihat instabilitas ini pada nilai tukar rupiah yang terus melemah yang dipicu oleh kekhawatiran investor akan utang pemerintah yang tidak terkendali,” tukasnya.
Untuk mencegah lonjakan utang pemerintah, penerapan aturan disiplin fiskal yang ketat sangatlah penting. Pemerintah diharapkan dapat menjaga defisit anggaran di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menghindari praktik monetisasi utang oleh bank sentral untuk alasan apa pun. Monetisasi utang, yang melibatkan pencetakan uang baru untuk membayar utang, dapat menyebabkan inflasi dan melemahkan nilai mata uang, sehingga berisiko memperburuk kondisi ekonomi.
Pelaksanaan batas defisit anggaran yang ketat berfungsi sebagai alat untuk menjaga disiplin fiskal dan menghindari potensi risiko yang dapat merusak stabilitas makroekonomi. Pelanggaran terhadap batas defisit anggaran ini berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi, mengancam kepercayaan investor, dan meningkatkan biaya pinjaman pemerintah.
Penetapan defisit anggaran untuk tahun 2025 sebesar 2,53 persen dari PDB, meskipun berada di bawah batas maksimum yang ditetapkan, tetap memicu kekhawatiran. Walaupun defisit ini tergolong dalam batas yang disarankan, adanya risiko bahwa defisit tersebut dapat mendekati batas 3 persen dalam kondisi tertentu berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi.
Dalam jangka pendek, ketidakstabilan ini sudah terlihat dari melemahnya nilai tukar Rupiah, yang dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap utang pemerintah yang tidak terkendali.(*)